Ikuti Kami

Kajian

Bolehkah Kita Menghakimi Orang dengan Sebutan Kafir?

Menghakimi Orang Sebutan Kafir
credit: Gettyimages.com

BincangMuslimah.Com – Takfîri biasanya dipahami sebagai sebuah pernyataan dari seseorang bahwa si Fulan telah kafir. Sehingga takfîri berkaitan erat dengan hukum kafir. Dalam hal ini, bolehkah kita menghakimi orang lain dengan sebutan kafir? Oleh karenanya, sebelum membahas lebih detail tentang takfîri, perlu kita pahami terlebih dahulu apa itu kafir.

Secara bahasa, kafir memiliki makna kebalikan dari iman. Ia juga memiliki makna lain seperti kufur nikmat, yang disebutkan  juga di beberapa kamus. Pelaku kufur nikmat ataupun orang yang tidak beriman tersebut lah yang dimaksud dengan kata kafir. 

Sedangkan secara istilah (menurut syariat), kafir merujuk kepada orang yang mengingkari ajaran-ajaran agama yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Ajaran yang dimaksud adalah hal-hal yang sifatnya dharûriy atau yang tidak boleh tidak. Seperti mengingkari keberadaan Tuhan yang menciptakan alam semesta, tidak mengakui kenabian Nabi Muhammad saw., menolak keharaman zina, dan lain-lain.

Imam al-Ghazali menuturkan, bahwa kafir adalah bagian dari hukum syar’i sebagaimana shalat, puasa, zakat, dan lain-lain. Oleh karena itu, untuk mengetahui hakikatnya tidak bisa dicapai melalui akal, melainkan harus dari nash-nash Alquran dan hadist, ijma’ atau pun qiyas. Sebab umat Islam terdiri dari berbagai mazhab, maka perbedaan pendapat terkait hukum kafir pun tak terelakkan. Yang jelas mereka bahwa sepakat bahwa hakikat kafir adalah mengingkari apa-apa yang disampaikan Nabi Muhammad saw.

Adapun Imam al-Qarafi mengatakan, “Hakikat kekafiran adalah tindakan-tindakan yang menghinakan kehormatan Allah Swt. Tidak mengakui keberadaan-Nya sebagai Pencipta alam, misalnya. Atau pun tidak mengakui sifat-sifat agung yang dinisbatkan ke Allah Swt., serta mengingkari dengan yakin ajaran-ajaran agama yang sifatnya dharûriy.”

Jika merujuk ke Surat an-Nisa ayat 48, kita akan mendapati satu poin penting tentang hukum kafir, yang barangkali selama ini kita luput tentang hal tersebut saat melihat fenomena takfîri yang acapkali keluar dari mulut sesama muslim sendiri. Ayat tersebut berarti, “Sesungguhnya Allah Swt. tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni dosa yang selainnya (syirik) itu bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah Swt. maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar.”

Baca Juga:  Konsep Kafir Menurut Quraish Shihab dan Implikasinya Terhadap Keindonesiaan

Perlu digarisbawahi, salah satu inti dari akidah seorang muslim adalah, tidak mengkafirkan sesama muslim sebab perbuatan dosa. Bahkan dosa besar sekalipun, seperti berzina dan minum khamr. Allah Swt. pun telah menegaskan, bahwa Dia akan mengampuni segala macam perbuatan dosa, kecuali syirik (sebagaimana maksud ayat di atas). Jika Allah Swt. saja sudah bermaksud mengampuni dosa besar, mengapa kita yang sesama manusia berani mengkafirkan muslim lain sebab perkara yang ternyata masih menjadi perselisihan di antara mazhab muslim. 

Sehingga pelaku dosa besar sekalipun tidak bisa menerima cap ‘kafir’, sebab makna asal kafir adalah mengingkari dengan sengaja dan merasa pengingkaran tersebut adalah hal yang benar. Dibanding menghukumi kafir, menurut Ulama Ahlussunnah wal Jamaah, para pelaku dosa besar tersebut dihukumi sebagai orang fasik atau pun orang yang imannya tidak sempurna. 

Lantas bagaimana hukum menghakimi orang dengan sebutan kafir?

Syekh Syauqi Alam (Mufti Darul Ifta’ Mesir saat ini) menjawab, adakalanya haram, dan adakalanya wajib. Haram jika takfîri tersebut merupakan tuduhan palsu, tidak berdasarkan fakta yang bisa dibuktikan bahwa seseorang telah kafir. Sekalipun ada tanda-tanda kekafiran, akan tetapi masih samar dan meragukan, maka tetap haram hukumnya untuk mencap seseorang telah kafir. Sebagaimana termaktub dalam Surat al-Nisa’ ayat 94.

Takfîri bisa menjadi wajib hukumnya jika hukum kafir tersebut berdasarkan fatwa dari seorang mufti (sosok ulama yang kredibilitas keilmuannya sudah memenuhi syarat seorang mufti) atau pun dari seorang hakim agung di daerahnya. Itu pun sah jika kekafiran si Fulan telah terbukti adanya, sebagaimana ketentuan-ketentuan kafir yang sudah termaktub. 

Sekalipun seorang mufti legal untuk menetapkan si Fulan telah kafir atau murtad dari agama Islam, namun Allah SWT. tetap mewanti-wanti mereka untuk selalu berhati-hati dalam berfatwa, tidak tergesa-gesa dalam memutuskan suatu perkara, dan tetap mempertimbangkan hak-hak si Fulan jika masih ada tanda keimanan dalam dirinya, sekecil apapun. Pun, jika ada potensi untuk mengalihkan makna perkataan si Fulan dari mafhum kafir ke sesuatu yang lebih baik, maka hendaklah perkataan tersebut diambil makna baiknya. 

Baca Juga:  Hukum Memperjualbelikan Barang Milik Orang Lain

Coba kita renungkan. Seorang mufti yang telah terbukti kredibilitas keilmuannya saja masih harus berhati-hati, bahkan sebisa mungkin mengalihkan mafhum tersebut ke sesuatu yang lebih baik, apalagi kita yang masih awam dan belum banyak tahu soal agama? 

 

 

Rekomendasi

Hukum Memakai Pakaian Sinterklas Hukum Memakai Pakaian Sinterklas

Hukum Memakai Pakaian Sinterklas karena Tugas Kerja

Konsep Kafir Menurut Quraish Shihab Konsep Kafir Menurut Quraish Shihab

Konsep Kafir Menurut Quraish Shihab dan Implikasinya Terhadap Keindonesiaan

Membaca zikir sepuluh dzulhijjah Membaca zikir sepuluh dzulhijjah

Mengerti Definisi Muslim Agar Tidak Mudah Mengkafirkan

Karakteristik Akhlak dalam Islam Karakteristik Akhlak dalam Islam

Sikap Orang Tua Saat Anak Bertanya Tentang Berteman dengan Non Muslim

Ditulis oleh

Tanzila Feby Nur Aini, mahasiswi Universitas al-Azhar, Kairo di jurusan Akidah dan Filsafat. MediaI sosial yang bisa dihubugi: Instagram @tanzilfeby.

1 Komentar

1 Comment

Komentari

Terbaru

Silaturahmi dalam Momen Lebaran Silaturahmi dalam Momen Lebaran

Menjalin Silaturahmi dalam Momen Lebaran

Kajian

Macam Manusia Imam Al-Ghazali Macam Manusia Imam Al-Ghazali

Empat Macam Manusia Menurut Imam Al-Ghazali

Kajian

kisah yahudi maulid nabi kisah yahudi maulid nabi

Enam Hal Penting yang Perlu Digarisbawahi tentang Poligami Rasulullah

Kajian

memelihara semangat setelah ramadhan memelihara semangat setelah ramadhan

Tips Memelihara Semangat Ibadah Setelah Ramadhan

Muslimah Talk

golongan manusia kedudukan terbaik golongan manusia kedudukan terbaik

Golongan Manusia yang Mendapatkan Kedudukan Terbaik di Sisi Allah

Kajian

kisah puasa sayyidah maryam kisah puasa sayyidah maryam

Memetik Hikmah dari Kisah Puasa Sayyidah Maryam dalam Alquran

Khazanah

Tradisi Takbiran Menggunakan Petasan Tradisi Takbiran Menggunakan Petasan

Pendapat Para Ulama tentang Tradisi Takbiran Menggunakan Petasan

Kajian

Makna Pentingnya Zakat Fitrah Makna Pentingnya Zakat Fitrah

Makna dan Pentingnya Zakat Fitrah

Kajian

Trending

doa terhindar dari keburukan doa terhindar dari keburukan

Doa yang Diajarkan Rasulullah kepada Aisyah agar Terhindar Keburukan

Ibadah

Surat Al-Ahzab Ayat 33 Surat Al-Ahzab Ayat 33

Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 33; Domestikasi Perempuan, Syariat atau Belenggu Kultural?

Kajian

Mahar Transaksi Jual Beli Mahar Transaksi Jual Beli

Tafsir Surat An-Nisa Ayat 4; Mahar Bukan Transaksi Jual Beli

Kajian

Doa berbuka puasa rasulullah Doa berbuka puasa rasulullah

Beberapa Macam Doa Berbuka Puasa yang Rasulullah Ajarkan

Ibadah

Hukum Sulam Alis dalam Islam

Muslimah Daily

Doa Setelah Shalat Witir

Ibadah

kisah yahudi maulid nabi kisah yahudi maulid nabi

Enam Hal Penting yang Perlu Digarisbawahi tentang Poligami Rasulullah

Kajian

Niat puasa malam hari Niat puasa malam hari

Mengapa Niat Puasa Boleh Dilakukan sejak Malam Hari?

Ibadah

Connect