BincangMuslimah.Com – Bersuci sebelum melaksanakan ibadah shalat adalah wajib. Aktivitas bersuci untuk hadas besar dilakukan dengan mandi, sedangkan bersuci dari hadas kecil dengan berwudhu. Adapun dalam kondisi tertentu, ada beberapa penyebab bagi seseorang untuk diperbolehkan melakukan tayamum sebagai pengganti wudhu untuk hadas kecil atau mandi untuk hadas besar.
Dalam fikih, keringanan yang disebabkan oleh keadaan darurat disebut rukhsah. Adanya rukhsah ini menjadikan Islam adalah agama yang memperhatikan pengalaman individunya dan memberikan solusi alternatifnya. Rukhsah atau keringanan ini bukan untuk diremehkan atau dijadikan alasan untuk meremehkan kewajiban. Tapi justru dijadikan alasan bahwa dalam keadaan apapun, ibadah harus tetap dilaksanakan.
Berikut beberapa penyebab seseorang diperbolehkan untuk tayamum yang dirangkum dari kitab perbandingan fiqih karya Syekh Wahbah Zuhaili.
Pertama, tidak adanya air yang cukup untuk wudhu dan mandi.
Ketiadaan air menjadi penyebab paling umum yang dialami oleh seorang muslim untuk boleh melakukan tayamum. Atau, air tersedia tapi tidak cukup digunakan untuk bersuci. Atau adanya air tapi air tersebut digunakan untuk minum.
Hal ini merupakan representasi ayat 6 surat al-Maidah,
فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗ
Artinya: maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu.
Beberapa ulama mazhab berbeda keputusan mengenai “tidak adanya” air sebagai penyebab bolehnya tayammum. Ulama mazhab Syafi’i tidak mewajibkan seseorang untuk mencari air kalau sudah yakin akan ketiadaan air. Jika ada keraguan, maka seseorang wajib mencari air di sekitarnya dengan jarak tempuh 481 meter. Sedangkan ulama mazhab Hanafi hanya mewajibkan melakukan pencarian air dengan jarak sekitar 120-an meter.
Adapun ulama mazhab Syafi’i tidak mewajibkan seseorang untuk melakukan pencarian air jika dirasa barang-barang yang ia bawa dalam perjalanan tidak aman jika ditinggal.
Kedua, tidak mampu menggunakan air.
Para ulama mazhab sepakat, jika seseorang terpaksa untuk tidak bersuci dengan air, dalam kasus ini adalah musafir yang harus menjaga barang-barangnya atau mukim yang tidak memungkinkan berpindah tempat dan meninggalkan barang-barangnya karena takut dicuri,, boleh baginya untuk bertayammum.
Tapi ulama mazhab Syafi’i mengkhususkan rukhsah ini hanya pada musafir yang bertujuan untuk pergi maksiat atau menuju tempat dengan tujuan maksiat. Karena mereka dianggap bukan orang yang mendapatkan rukhsah.
Ketiga, orang sakit atau kedinginan.
Seseorang boleh melakukan tayamum jika sakit atau akan menimbulkan resiko pada kesehatannya jika menggunakan air untuk bersuci. Bahkan, jika seseorang sedang merasa kedinginan dan jika bersuci dengan air akan membahayakan dirinya, ia boleh bertayamum.
Keempat, stok air yang menipis.
Seseorang yang yakin akan kehabisan stok air, sedangkan airnya akan digunakan untuk minum, boleh baginya untuk bertayamum. Islam lebih mengedepankan nyawa manusia, maka dalam kasus ini boleh mengganti air dengan tayamum.
Begitu juga jika air yang ada digunakan untuk memasak atau membersihkan najis atau hal-hal darurat lainnya.
Beberapa hal yang membolehkan seseorang untuk bertayamum mengarah pada dua hal. Pertama, tidak ada air. Kedua, ketidakmampuan seseorang untuk bersuci dengan air karena sakit.
1 Comment