BincangMuslimah.Com – Allah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk memakan makanan yang halal dan mencari rezeki dengan cara yang halal pula. Mencari rezeki dan mengonsumsi sesuatu yang halal memiliki kaitan yang erat. Pasalnya, keharaman di dalam makanan adakalanya karena zatnya seperti keharaman makan anjing dan babi. Terkadang juga ada kalanya keharaman tersebut disebabkan karena cara mendapatnya yang tidak sesuai syariat seperti mencuri.
Akan tetapi, bagaimana jika cara yang digunakan untuk mencari rezeki adalah cara yang halal, namun uang yang digunakan oleh partner transaksinya didapat dari jalan yang diharamkan. Contoh kasusnya seperti seorang sopir angkot yang menerima ongkos dari seorang Penjaja Seks Komersil (PSK) dengan menggunakan uang hasil melacur. Pertanyaannya, apakah uang yang diberikan kepada sopir tersebut halal?
Pertanyaan ini pernah dijelaskan oleh Gus Baha, salah satu ulama tafsir terkemuka di Indonesia yang keilmuannya tidak perlu diragukan lagi. Saat menjelaskan tentang kehalalan dan keharamannya, beliau membuat contoh dengan pertanyaan tersebut. Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA mengatakan,
“Halal itu hukum, yang tidak zat loh ya, yang tidak zat. Yang tidak zat artinya tidak khamar, tidak babi ya, tidak bangkai. Yang halal menjadi haram karena satu proses yang salah. Itu nanti selalu menjadi halal karena hukumnya halal, bukan karena materinya halal.
Misalnya gini, anda sopir ya sopir ya halal, kondektur ya halal, sudah. Padahal nanti itu ada orang PSK misalnya naik itu pakai uang hasil melacur, copet naik dari uang hasil nyopet, dan dia pergi juga mau meneruskan aktivitas nyopet. Anda sebagai sopir atau kondektur tetap halal karena anda mendapatkannya lewat transaksi yang halal. Meskipun dibayar dari materi yang asal usulnya didapatkan dari haram.
Makanya Syekh Abdul Qadir, Imam Ghazali bilang yang dikatakan halal itu, anda saat transaksi melakukan sesuatu yang halal, di luar itu anda sudah tidak dimintai tanggung jawab.”
Dari pernyataan beliau, kita dapat menyimpulkan bahwa transaksi yang dilakukan dengan cara yang halal, tetap dikatakan halal. Meskipun, di dalam transaksi tersebut bisa jadi terdapat hasil yang didapat dengan cara yang salah seperti PSK yang membayar angkot menggunakan uang hasil melacur. Uang yang didapat oleh sopir angkot adalah uang hasil ia bekerja menjadi sopir meskipun didapatkan dari tarif ongkos PSK.
Karena yang akan dimintai pertanggungjawaban dan menentukan hal itu halal atau tidak adalah saat transaksinya, bukan menggunakan apa transaksi itu dilakukan. Terlebih, seorang sopir angkot sulit untuk membedakan ataupun menyeleksi siapa yang akan menjadi penumpangnya dan dari mana uang penumpang yang digunakan untuk transaksi didapatkan.
Menutup pernyataan beliau, Gus Baha juga mengutip satu ibarat yang mengatakan:
فَالْحَلَالُ حَلَالٌ حُكْمٍ لَا حَلَالُ عَيْنٍ
Artinya: “Halal itu adalah kehalalan hukum, bukan kehalalan zat bendanya.”
Beliau juga mengatakan bahwa ketentuan halal dan haram sudah final, jika memang sudah dicantumkan dalam Alquran.
“Kehalalan itu kalau menurut Allah jika halal ya halal, kalau menurut Allah haram ya haram, kita tidak perlu menuntut sesuatu yang diluar ketentuan Allah tersebut,” tambahnya.
Dengan demikian, untuk mendapatkan sesuatu yang halal, kita memang harus mencarinya dengan jalan yang halal pula. Kehalalan tersebut bisa kita dapatkan dengan cara yang tidak dilarang oleh agama. Perihal mitra transaksi mendapatkannya dengan jalan yang salah, hal tersebut sudah berada diluar kendali kita. Yang terpenting adalah kita selalu bertransaksi dengan jalan yang diperbolehkan di dalam Islam.