BincangMuslimah.Com – Saat ini kita hidup di era digital, saat semua informasi dan interaksi lebih banyak dilakukan di media sosial daripada bertemu langsung. Terlebih, semenjak pandemi Covid-19 melanda dunia, intensitas menggunakan media sosial jadi lebih banyak. Ada yang benar-benar memanfaatkan waktu dengan baik, menghasilkan karya dan produktif. Ada juga yang akhirnya atau bahkan kebanyakan dari kita membuang-buang waktu mencampuri urusan orang lain di media sosial.
Imam Ghozali dalam kitabnya yang fenomenal dalam cabang ilmu tasawuf, Ihya Ulumuddin menyebutkan bahwa ghibah tidak hanya sebatas dengan lisan, tapi juga dengan isyarat. Tujuan dari ghibah adalah memberitahu orang lain tentang keburukan seseorang yang kita jadikan objek ghibah. Selain isyarat, ghibah juga bisa dilakukan melalui tulisan. Dan tentunya, ghibah melalui media apapun adalah haram.
Ghibah bisa dilakukan oleh siapapun, sebab manusia adalah makhluk Allah yang tidak sempurna. Bahkan Aisyah, salah satu istri Nabi juga pernah ditegur oleh Rasulullah karena melakukan ghibah dengan isyarat. Ini menunjukkan sisi kemanusiaan Aisyah dan menjadi pelajaran kita semua. Hal ini diceritakan langsung oleh beliau sendiri setelah ditegur oleh Nabi:
دخلت علينا امرأة فأومأت بيدي أي قصيرة فقال النبي – صلى الله عليه وسلم – (قد اغتبتيها)
Artinya: “seorang perempuan masuk ke tempat kamu dan aku mengisyaratkan dengan tanganku untuk menunjukkan bahwa dirinya pendek, lalu Rasulullah Saw bersabda: sungguh engkau telah melakukan ghibah.”
Atas dasar itulah, melakukan isyarat dengan gerakan tubuh untuk membicarakan kekurangan atau sesuatu yang dimiliki oleh saudara kita dan ia pasti tidak suka diperlakukan demikian. Begitu juga menirukan gaya atau perilaku seseorang yang tentunya ia tak senang bila itu dilakukan, terlebih hanya untuk bahan bercandaan. Bahkan menurut Imam Ghazali, hal tersebut disebut lebih dari ghibah. Karena gerakan menirukan orang lain dengan tujuan mengolok-olok atau membicarakan keburukan orang lain sangatlah buruk, ia lebih dari sekadar membicarakan keburukan.
Selain dengan lisan, isyarat, tulisan juga menjadi media melakukan ghibah. Imam Ghozali menyebutkan bahwa tulisana dalah representasi dari lisan. Maka tulisan seseorang tentang orang lain dan membicarakan keburukannya, secara spesifik bahkan menyebutkan namanya juga disebut ghibah. Beda halnya demi kepentingan paparan berita, investigasi, atau pengungkapan fakta kriminal yang harus dipublikasikan karena bertujuan untuk penegakkan hukum. Sedangkan menulis nama seseorang beserta keburukan-keburukannya untuk mengolok-olok atau menjatuhkan saja itu disebut ghibah.
Maka, kita akhirnya menyadari betul bahwa mengolok-olok seseorang, ikut berkomentar di media sosial mengenai isu pribadi seseorang yang bahkan kita sendiri tak tahu bagaimana kehidupannya termasuk ghibah. Sungguh, ini adalah hal yang sering kita lakukan selama ber-media sosial, bukan? Media sosial sangat cepat menyampaikan informasi ke publik tentang isu-isu entertainer dan menjadikannya sebagai konsumsi publik.
Seharusnya, sebagai muslim kita harus berupaya menjaga jemari kita dari mencari informasi tentang aib orang lain dan turut berkomentar. Selain hal tersebut adalah dosa, alasan lainnya adalah kita menjadi sibuk mencampuri urusan orang lain serta mengungkit kesalahannya, dan lupa untuk mengoreksi diri kita sendiri.