BincangMuslimah.Com – Perkawinan yang ditentukan oleh orangtua atau wali tanpa mempertimbangkan suara perempuan dahulu sering kali terjadi. Orang-orang gemar menamainya dengan sebutan perkawinan paksa. Saat ini, tren kawin paksa mungkin sudah ditinggalkan. Beberapa di antara kita mungkin hanya menemukan kasus ini di dalam bacaan novel atau drama di dalam layar kaca. Namun nyatanya perkawinan paksa sedikit banyaknya masih saja ditemukan.
Kawin paksa masih dijumpai meski seringkali tertutup, tenggelam lalu menghilang begitu saja. Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini misalnya. Humas Pengadilan Agama Kabupaten Gunung Kidul mengatakan jika pada tahun 2018 ada 4 pasangan yang mengalami nikah paksa dan satu pasang di tahun 2019. Kelima pasangan itu pada akhirnya memilih bercerai karena rumah tangga mereka sering dihiasi dengan percekcokan.
Pada tahun 2019 Komnas Perempuan mendapatkan laporan dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Riau jika ada dua kasus perkawinan paksa. Laporan yang diadukan pada lembaga UPTD PPA itu berakhir dengan tindakan dalam bentuk pendampingan psikologis pada orang tua
Sesungguhnya perkawinan paksa bisa berdampak pada laki-laki mau pun perempuan. Namun perempuan yang paling sering menjadi korban dalam praktik paling perkawinan paksa. Hal ini dikarenakan adanya stigma bahwa perempuan tidak punya kuasa atas dirinya sendiri. Keberadaan perempuan sebelum menikah di tanggung oleh sang ayah. Dan setelah menikah, ‘tanggung jawab’ tadi berpindah kepada suami.
Sudut Pandang Hukum
Komnas Perempuan sendiri telah menentukan sikap terkait persoalan perkawinan paksa. Dalam Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2020, perkawinan paksa merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual. Ada beberapa hal yang dilihat Komnas Perempuan dalam mengidentifikasi praktik perkawinan paksa. Pertama saat anak tidak punya pilihan lain selain mengikuti kehendak orangtua untuk menikah dengan seseorang yang tidak disukai bahkan dikenali.
Kedua, praktik perkawinan paksa kerap terjadi pada korban pemerkosaan. Korban justru dinikahkan dengan pelaku yang seharusnya diadili dengan tujuan untuk mengurangi aib keluarga. Ketiga, praktik cerai gantung dimana saat perempuan mengajukan gugat cerai karena alasan yang kuat, permintaan tersebut tidak dikabulkan bahkan dipersulit. Perempuan dipaksa untuk tetap terus terikat dengan ikatan pernikahan yang tidak dinginkan.
Indonesia sebagai negara hukum sesungguhnya telah mengatur tentang persoalan ini. Semuanya telah tercantum di dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Pada pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan harus disetujui oleh kedua belah yang terlibat dalam perkawinan tanpa paksaan dari mana pun.
Kalau perkawinan tetap saja dilaksanakan, maka dapat dibatalkan sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang tentang Perkawinan. Di dalam peraturan tersebut, pernikahan dapat dibatalkan jika mempelai tetap melaksanakan dalam paksaan dan ancaman.
Pemerintah juga telah menyiapkan sanksi bagi orang-orang yang menyalahgunakan otoritasnya sebagai orangtua atau wali untuk melaksanakan kawin paksa. Hal ini tercantum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KHUP) Pasal 335. “Barang siapa melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan, sesuatu yang tidak menyenangkan baik terhadap orang itu sendiri mau pun orang lain, maka akan diancam pidana minimal satu tahun penjara.”
Pembatalan perkawinan paksa dapat dilakukan setelah dikabulkan oleh hakim. Namun keputusan itu menjadi tidak berlaku jika di dalam perkawinan tersebut terdapat beberapa hal yang tercantum di dalam Pasal 28 ayat (2) tentang Undang-Undang Perkawinan. Yaitu anak-anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut dan suami istri tersebut mempunyai itikad baik.
Sudut Pandang Islam
Sebagian orang berdalih, menggunakan agama sebagai landasan. Hal ini juga didukung oleh pandangan yang menyatakan bahwa perempuan tidak berhak menentukan pilihan terhadap pasangannya. Semua telah ditentukan oleh ayah atau digantikan oleh wali, jadi kerelaan dari dirasa tidak diperlukan.
Pemikiran ini mungkin didasari dengan adanya istilah hak ijbar pada ayah atau wali dari perempuan. Orang yang diberi hak ijibar punya kuasa untuk menikahkan anak perempuannya. Keberadaan hak ijibar ini sebenarnya adalah bentuk tanggung jawab dari ayah dan memiliki tujuan untuk memberikan perlindungan kepada anaknya.
Sebagian orang kerap kali menyalahgunakan hak ijibar dan menganggap sebagai bentuk kekuasaan untuk mengendalikan pernikahan. Padahal sebenarnya hak ijibar merupakan bentuk wewenang ayah atau wali untuk menikahkan anak perempuannya tanpa ada paksaan dengan mempertimbangkan kerelaan sang anak.
Mazhab Syafi’i mematok beberapa persyaratan dari hak ijibar ini. Pertama, pernikahan dilaksanakan dengan syarat tidak ada kebencian dari kedua mempelai. Kedua, di dalam pernikahan tidak ada konflik atau selisih paham antara anak perempuan dengan ayahnya. Ketiga, calon suami harus setara (kufu’). Keempat, mas kawin diharuskan tidak kurang dengan mas kawin pada umumnya. Dan yang terakhir, calon mempelai laki-laki dipastikan tidak akan menyakiti mempelai perempuan setelah menikah nanti.
Jelas sudah jika tiga dari lima syarat yang dalam Mazhab Syafi’i ini benar-benar memperhitungkan kerelaan dari mempelai perempuan. Pernikahan secara paksa tidak selalu menimbulkan rasa suka sama suka dan akhir yang bahagia. Beberapa rumah tangga yang dibangun dari paksaan terkadang bermuara pada kekerasan, kebencian lalu perceraian.
Hal ini justru bertentangan dengan syarat pertama dan kelima. Ketika dalam pernikahan terindikasi tidak adanya kerelaan dari calon mempelai perempuan, dipastikan akan ada perselisihan antara anak perempuan dengan sang ayah. Dan ini bertentangan dengan syarat ke dua yang mengharuskan tidak ada permusuhan di antara keduanya.
Dalam buku Fiqh Perempuan karya K.H Muhammad Husein, Dr. Wahbah az-Zuhaili pernah mengutip pendapat ulama mazhab Fiqh soal kawin paksa. Ia berkata bahwa sebuah perkawinan tidak akan sah jika dari kedua mempelai tidak ada kerelaan. Jika ada pemaksaan dengan mengancam keselamatan jiwa (ikrah) maka akad nikah akan berubah menjadi rusak (fasad).
Bagaimana mengukur kerelaan dari mempelai perempuan untuk siap dinikahkan? Menurut Abu Hanifah, hal ini bisa dilihat dari kedewasaan (baligh) tanpa melihat apa status atau golongan dari perempuan tersebut. Kedewasaan seseorang pada umumnya dilihat dari bagaimana dia menanggapi persoalan dan cerdas dalam mengambil keputusan. Semua juga sangat didukung dengan bagaimana pergaulan dan moralitas dalam kehidupan sosial.
Jika beberapa indikasi itu telah nampak dari calon mempelai perempuan maka ia berhak untuk bersuara atas dirinya sendiri. Apakah perkawinan akan tetap dilanjutkan dengan mewakilkan akad kepada orang lain (di sini adalah ayah atau wali). Atau memutuskan untuk tidak menikah.