BincangMuslimah.Com – Perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak adalah tragedi kemanusiaan. Anehnya, masalah ini tidak mendapat perhatian yang serius, terutama dari pemerintah Indonesia. Usaha untuk menghentikan perilaku biadab ini masih menjadi hal yang mustahil bahkan hanya sekadar mimpi belaka.
Dalam pengertian GAATW (Global Alliance Against Traffic in Women), perdagangan terhadap perempuan adalah semua usaha atau tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, transportasi di dalam atau melintasi perbatasan, pembelian, penjualan, transfer, pengiriman, atau penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan, termasuk penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut.
Perdagangan Perempuan Berbentuk Kawin Kontrak
Baik dengan bayaran ataupun tidak, usaha-usaha tersebut bertujuan untuk kerja yang tidak semestinya. Di antaranya seperti kerja domestik, seksual, atau reproduktif, dalam kerja paksa atau ikatan kerja atau dalam kondisi seperti perbudakan. Terjadi dalam suatu lingkungan yang asing dari tempat di mana orang itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan, atau terkena lilitan hutang yang pertama kali.
Perdagangan perempuan juga mengambil bentuk perkawinan kontrak. Para perempuan dikawini untuk suatu masa tertentu. Memaksa sebagian perempuan lalu membawanya ke luar negeri dan di sana memaksa mereka untuk menjadi penjaja seks atau bekerja di tempat-tempat hiburan. Umumnya, “perkawinan kontrak” itu terdapat di daerah sekitar puncak, Jawa Barat antara laki-laki asing dari Arab dan perempuan Indonesia.
Bagaimana Islam seharusnya memandang persoalan perdagangan perempuan dan anak ini? Bagaimana pula keterlibatan umat Islam untuk mencegah dan melarang praktik haram seperti ini?
Dalam buku Ensiklopedia Muslimah Reformis (2020), Musdah Mulia menuliskan bahwa sebagai sumber utama ajaran Islam dan turunnya wahyu pada abad ke-7 Masehi, Al-Qur’an ternyata sejak awal telah membicarakan persoalan perdagangan perempuan ini dengan penuturan yang sangat jelas. Perhatikan Surah an-Nur ayat 33 berikut:
“Dan orang-orang yang enggak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian dirinya sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kalian miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kalian buat perjanjian dengan mereka, jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka. Berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah karunia-Nya kepada kalian. Dan janganlah kalian paksa budak-budak perempuan kalian untuk melakukan pelacuran, padahal mereka itu sesungguhnya menginginkan kesucian, sementara tujuan kalian hanyalah untuk mencari keuntungan duniawi. Dan barang siapa memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang terhadap mereka yang dipaksa.”
Islam Mengecam Segala Bentuk Eksploitasi
Musdah Mulia juga menuliskan bahwa berdasarkan hadis yang riwayat Jabir ibn Abdillah, mendapat informasi bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan perilaku seorang laki-laki bernama Abdullah ibn Ubay yang memaksa kedua budak perempuannya, Masikah dan Aminah, untuk melacur agar ia beroleh keuntungan dari hasil pelacuran itu.
Sebagai kecaman Allah Swt. terhadap perilaku zalim ini, maka turunlah ayat dimaksud. Ayat ini menegaskan larangan kepada siapa pun dan dengan alasan apa pun untuk melakukan penipuan, pemaksaan atau eksploitasi terhadap perempuan, tak terkecuali para perempuan yang berada dalam kekuasaan mereka, yakni budak-budak mereka.
Pada prinsipnya, Islam membolehkan praktik jual beli sepanjang memenuhi syarat-syarat dan ketentuan syariat. Misalnya, memperjualbelikan komoditas bukan benda najis, seperti anjing dan khamar, dengan prosedur yang benar, dan bukan untuk tujuan maksiat.
Tentu saja, jual beli perempuan untuk tujuan pelacuran tidak termasuk dalam kategori perilaku yang dibenarkan agama. Karena di dalamnya terkandung unsur-unsur penipuan, pemaksaan, perampokan hak-hak asasi manusia, dan juga eksploitasi seksual.
Konsep tauhid dalam Islam datang untuk membebaskan manusia dari segala bentuk perbudakan. Baik perbudakan dari sesama manusia, dari egonya sendiri, dan dari tuhan-tuhan ciptaan manusia, baik sengaja maupun enggak. Kalau terhadap budak-budaknya sendiri manusia tidak boleh melakukan eksploitasi dan pemaksaan, maka terlebih lagi terhadap manusia merdeka. Bagaimana mungkin seseorang tega memakan daging sesamanya?
Islam mengecam segala bentuk eksploitasi, siapa pun pelakunya dan apa pun alasannya, termasuk eksploitasi dalam bentuk perdagangan perempuan. Pelakunya mendapat ancaman dengan siksaan dan azab yang pedih.
Untuk itu, sudah waktunya para ulama, baik laki-laki dan perempuan bersuara vokal menanggapi maraknya kasus perdagangan perempuan dan anak di masyarakat. Sudah saatnya isu ini menjadi bagian dari ceramah dan khutbah keagamaan di masjid, majelis taklim dan pertemuan rutin keagamaan lainnya. Bahkan seharusnya para ulama sudah menfatwakan haramnya seluruh aktivitas yang mendukung kepada terjadinya perdagangan perempuan dan anak.[]
Rekomendasi

2 Comments