BincangMuslimah.Com – Kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya terjadi hari ini saja. Hal serupa ternyata pernah ada bahkan di masa saat Nabi saw. masih hidup. Kala itu, beberapa perempuan mengadukan suaminya atas perbuatannya melakukan kekerasan. Dengan tegas, Rasulullah membela perempuan tersebut dan memberi contoh umatnya bahwa korban KDRT dapat hak perlindungan.
Nabi Muhammad sangat tegas dan konsisten tentang ajarannya mengenai hak-hak kaum perempuan. Dahulu di masa awal Islam, perempuan tidak akan merasa sungkan untuk melaporkan langsung perangai buruk suaminya kepada Rasulullah. Beliau saw. akan turun tangan untuk menangani istri yang dianiaya oleh suaminya.
Sahabat Ali bin Abi Thalib pernah meriwayatkan bahwa ada seorang perempuan yang datang kepada Nabi Muhammad. Ia adalah istri Walid bin ‘Uqbah yang mengeluh dengan mengatakan, “Ya Rasulullah! al-Walid telah memukul saya!”
Nabi memerintahkan perempuan tersebut untuk mengingatkan kepada suaminya bahwa Rasulullah berada di sisinya maksudnya ialah melindungi perempuan korban KDRT. Ia kemudian pulang untuk beberapa waktu dan melaksanakan amanat Rasul tadi. Tetapi ia kembali lagi dan berkata “Suamiku tidak memberiku apa-apa selain pukulan lagi.”
Rasulullah merobek sehelai kain dari bajunya dan bersabda, katakan padanya, “Sesungguhnya Rasulullah telah memberiku perlindungan.”
Istri dari al-Walid itu pulang, lalu kembali lagi dan dia berkata, “Dia makin menjadi-jadi (dalam memukul)!” Rasulullah mengangkat tangannya dan beliau berdoa,
اللَّهُمَّ عَلَيْكَ الْوَلِيدَ أَثِمَ بِي مَرَّتَيْنِ
Artinya: “Ya Allah, kuserahkan kepadamu al-Walid, sebab ia telah berdosa terhadap saya sebanyak dua kali.” (HR. Ahmad No. 1257]
Hadis di atas menggambarkan bagaimana sikap Rasulullah menanggapi aduan kekerasan dalam rumah tangga. Nabi Muhammad menegaskan berulang kali bahwa beliau saw. melindungi perempuan yang mendapatkan perlakukan kekerasan dari suaminya, bahkan menyatakan seorang laki-laki yang tidak berhenti menyakiti istrinya sebagai seseorang yang telah menentangnya.
Di lain kesempatan, pada kasus yang sama, Rasulullah pernah mengatakan, “Sudah banyak perempuan yang mengadu kepada Ummahatul Mukminin tentang suami mereka (yang sembarangan memukul). Mereka itu bukanlah laki-laki baik di antara kalian!” Sikap pembelaan Nabi terhadap perempuan kala itu telah menunjukkan dengan gamblang bahwa beliau melarang adanya setiap bentuk kekerasan.
Hal ini seharusnya dapat cukup membuat gentar para suami yang ingin melakukan perbuatan kasar dan kekerasan terhadap perempuan. Sebab Rasulullah sangat membenci hal itu. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan contoh dari pelanggaran atas Hak Asasi Manusia, yaitu kejahatan terhadap martabat kemanusiaan.
Islam memberikan hak kepada perempuan untuk menggugat suami yang menyakitinya. Jika seorang suami bersalah melakukan pelanggaran serius, seperti penelantaran atau kekerasan dalam rumah tangga, maka seorang istri berhak untuk membawa kasusnya ke pengadilan dan bercerai karena hal tersebut.
Dalam sirah an-Nabawi, perempuan pertama yang terkenal dengan keberaniannya untuk menggugat cerai suaminya melalui Rasulullah adalah Habibah binti Sahl yang menikah dengan Tsabit ibn Qais. (Shahih Bukhari, hadits nomor 5273)
Al-Qasthalani dalam kitabnya, Irsyadus Sari meriwayatkan dari Imam an-Nasa’i bahwa Tsabit berlaku kasar dengan menghantam isterinya, Habibah binti Sahl hingga patah tangannya. Namun dengan kesabarannya, Habibah menyembunyikan kejadian tersebut dan hanya ingin berpisah dari Tsabit.
Keesokan paginya, Habibah pergi menemui Rasulullah untuk meminta cerai. sehingga Nabi saw. menceraikan keduanya dan Habibah mengembalikan mas kawinnya kepada Tsabit. Kisah ini juga menunjukkan bahwa perempuan bahkan dalam kondisi menjadi korban sekalipun, tetap bisa bersabar dengan tidak mengungkap keburukan pasangannya dan hanya menuntut untuk bercerai baik-baik.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa seorang perempuan tidak boleh terkepung dalam rumah tangga yang toxic. Perempuan berhak untuk meminta perlindungan bahkan menggugat cerai setiap kali dirinya menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh suaminya, baik itu kekerasan verbal maupun non-verbal.
KDRT bukanlah aib yang harus ditutup-tutupi. Rasulullah telah mengajarkan bahwa korban KDRT harus dapat perlindungan. Pada dasarnya, seorang perempuan berhak mendapat perlindungan dari suaminya yang melanggar kesepakatan dalam akad nikah, sebab hal itu merugikan dan sulit ditoleransi.