BincangMuslimah.Com- Maut merupakan rahasia Allah yang tidak diprediksi. Maut bisa datang kapan saja baik dalam keadaan sehat ataupun sakit, tua ataupun muda. Oleh karena itu, ketika urusan si mayyit belum selesai baik dalam hal hutang, janji ataupun lainnya. Maka ahli waris mayyit lah yang harus menuntaskan urusan tersebut.
Namun bagaimana jika urusan yang belum selesai tersebut adalah hutang kepada Allah, kewajiban qada puasa misalnya. Lantas apa yang harus ahli waris lakukan untuk melunasi hutang puasa tersebut?
Orang-orang yang Boleh Meninggalkan Puasa
Terdapat beberapa orang yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa ketika bulan Ramadan. Hal ini sebagaimana yang isyarat dari Allah di dalam QS. Al-Baqarah [2]:184:
أَيَّامٗا مَّعۡدُودَٰتٖۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدۡيَةٞ طَعَامُ مِسۡكِينٖۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرٗا فَهُوَ خَيۡرٞ لَّهُۥۚ وَأَن تَصُومُواْ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
“(yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Menurut Abu Zaid al-Tsa’laby di dalam al-Jawahir al-Hasan fi Tafsir al-Quran juz 1 halaman 374 ayat ini salah satunya menjelaskan tentang siapa saja yang boleh untuk tidak berpuasa. Di antaranya orang yang sakit dan orang yang berada dalam perjalanan. Juga orang yang tidak mampu untuk berpuasa karena mengalami kesulitan yang tidak memungkinkan baginya untuk berpuasa.
Orang yang meninggal lalu meninggalkan puasa
Pada keterangan sebelumnya telah menjelaskan siapa saja yang boleh untuk meninggalkan puasa. Jika menelisik bahwa yang menjadi titik temu dari dispensasi puasa ini adalah ketidak-mampuan seseorang dalam menjaankan puasa karena kesulitan.
Hal ini bisa menjadi pertimbangan ahli waris dalam mengambil sikap ketika ada keluarganya yang meninggal dunia kemudian masih meninggalkan puasa. Lebih detailnya, kita bisa merujuk kepada pendapat Ibn Qasim di dalam kitab Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfaz al-Taqrib halaman 140. Pada kitab ini, Ibn Qasim membagi kepada 2 kategori puasa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dan cara menyikapinya.
Pertama, jika meninggalkan puasa karena sakit yang terus menerus sehingga tidak memungkinkan bagi orang tersebut untuk mengqadha’ puasa. Maka orang yang meninggal tersebut tidak berdosa dan ahli warisnya tidak perlu untuk membayar fidyah.
Kedua, jika meninggalkan puasa karena sengaja Kemudian seseorang tersebut meninggal sebelum meng-qada’ puasa. Menurut qaul jadid (pendapat imam Syafi’I ketika di Mesir) ahli warisnya harus membayar fidyah. Yakni dengan memberi makan fakir miskin seukuran satu mud (0,6 – 0,8 kilogram) dari harta peninggal mayyit dengan niat atas nama mayyit. Sedangkan menurut qaul Qadim (pendapat imam Syafi’I ketika di Irak), ahli waris boleh memilih untuk melunasi puasa tersebut menggunakan fidyah atau meng-qada’ puasa atas nama mayyit.
Dengan demikian, ketika seseorang meninggal kemudian masih memilki hutang puasa dengan sengaja, maka ahli waris bertanggung jawab untuk melunasi puasa tersebut. Cara pelunasan ini boleh dengan membayarkan fidyah dengan kadar yang sudah ditentukan atau melunasinya dengan qada’ puasa atas nama mayyit.