BincangMuslimah.Com – Dalam perspektif Al-Ghazali, pendidik diartikan sebagai orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan, dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Sang Khalik. Sedangkan pengertian pendidik dalam perspektif pendidikan Islam yaitu seorang yang bertanggungjawab atas perkembangan peserta didik dengan mengusahakan perkembangan segenap potensi peseta didik, baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Apabila kita meninjau teks-teks agama, terdapat empat klasifikasi pendidik dalam perspektif Alquran yang meliputi:
Allah Swt.
Salah satu klasifikasi pendidik yang disebutkan dalam Alquran adalah Allah Swt. Dalam Alquran disebutkan bahwa pada hakikatnya pendidik yang paling utama adalah Allah Swt. Sebagai guru, Allah Swt. telah memberikan segenap gambaran yang baik dan yang buruk sebagai sarana ikhtiar umat manusia menjadi baik dan bahagia hidup di dunia hingga akhirat. Demi mencapai tujuan tersebut, Allah mengutus Nabi-Nabi yang patuh dan tunduk kepada kehendak-Nya untuk menyampaikan ajaran Allah kepada umat manusia. Sebagaimana dalam firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah ayat 31:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar-benar orang yang benar”. (QS. al-Baqarah: 31).
Pendidikan Allah mencakup seluruh kebutuhan alam semesta ini. Allah sebagai pendidik alam semesta dengan penuh kasih sayang. Sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Fatihah, Allah sebagai pendidik telah mengajarkan Nabi Muhammad berupa turunnya ayat-ayat Alquran untuk disampaikan kepada umatnya. Seperti Allah mengajari dan menganjurkan Nabi berdakwah.
Rasulullah saw
Kedudukan Nabi sebagai pendidik atau guru yang langsung ditunjuk oleh Allah Swt. Tingkah laku Nabi dijadikan sebagai suri teladan bagi umatnya. Dalam surat al-Ahzab ayat 15, Allah berfirman : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. al-Ahzab : 15).
Seluruh tingkah laku Rasulullah senantiasa terjaga dan diawasi oleh Allah Swt. Segala perintah dan laranganya benar-benar wahyu dari Allah. Sebagaimana firman-Nya dalam surat an-Najm ayat 3-4:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur-an) menurut kemauan hawa nafsunya.” “Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. an-Najm : 3-4). Nabi sebagai pendidik yang “sempurna” menjadi keniscayaan bagi manusia untuk menteladaninya.
Orang Tua
Kedudukan orang tua sebagai pendidik anak-anaknya juga telah dijabarkan dalam Alquran. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Luqman ayat 13:
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepadanya “Hai anakku janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar”. (QS. Luqman : 13).
Dalam Alquran, disebutkan ragam sifat yang harus dimiliki oleh orang tua sebagai pendidik. Pengenalan utama adalah ketuhanan dan pengenalan Tuhan yang mengandung hikmah atau kesadaran mengenai kebenaran yang didapatkan melalui ilmu dan rasio, dapat bersyukur kepada Allah, gemar memberi nasihat pada anak agar tidak mensekutukan Tuhan, memerintahkan anaknya agar melaksanakan shalat, serta sabar dalam menghadapi penderitaan. Orang tua adalah sosok yang paling bertanggung jawab terhadap anak keturunannya. Seperti sabda Nabi, yang berbunyi:
“Tiap-tiap anak terlahir dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani, Majusi.”
Orang Lain
Maksud dari pendidik orang lain adalah orang yang tidak ada kaitan langsung nasabnya terhadap anak didiknya. Terdapat ayat Alquran yang menjelaskan Nabi Musa berguru kepada Nabi Khidir. Sebagaimana dalam surat al-Kahfi ayat 66, Allah berfirman:
“Musa berkata kepada Khidir: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmuilmu yang telah diajarkan kepadamu?.” (QS. al-Kahfi: 66).
Berpindah sementara kewajiban orang tua mendidik anak-anaknya kepada pendidik atau guru, bisa dikarenakan dual hal; Pertama, karena orang tua lebih fokus akan kewajiban keuangan atau kebutuhan terhadap anak-anaknya. Kedua, karena orang tua mempunyai keterbatasan waktu atau kemampuan dalam mendidik atau mengajar anaknya.
Dalam pemikiran Al-Ghazali, pendidik dituntut mempunyai beberapa sifat keutamaan yang menjadi kepribadiannya, di antaranya: sabar, kasih sayang, sopan, tidak riya, tidak takabbur, tawadhu, pembicaraan terarah, bersahabat, tidak pemarah, membimbing dan mendidik dengan baik, sportif, Ikhlas, dan lainnya.
Terutama bagi seorang pendidik muslim tidak cukup hanya berbekal budi pekerti yang luhur, tetapi pendidik harus profesional dan dapat mengkaitkan Alquran dengan ilmu pengetahuan yang semakin pesat perkembangannya, sehingga Alquran betul-betul Kalamullah yang senantiasa aktual tanpa mengenal batas waktu.
Pendidik sebagai bagian yang terpenting di dunia pendidikan menjadi figur di lingkungannya dalam mengantarkan anak-anak didiknya pada kehidupan masa depan yang lebih cerah. Pendidik sebagai ujung tombak dalam memberantas kebodohan dan kemaksiatan. Maka, seorang pendidik harus memiliki karakteristik qurani dengan jalan yang persuasif dan konstruktif.
Memahami dari penjelasan yang sudah tertulis di atas maka dapat dipetik kesimpulan bahwasannya terdapat empat klasifikasi pendidik dalam Alquran: Allah Swt. sebagai pendidik seisi alam semesta, para nabi sebagai pendidik umat manusia, kedua orang tua sebagai pendidik anak dari nasabnya, dan orang lain sebagai orang yang membantu mendidik anak didik secara universal.
Sumber
Rahmadani. “Pendidik Dalam Perspektif A-Qur’an”. Jurnal Sains Riset. Vol. 9, No. 2. 2019.
1 Comment