BincangMuslimah.Com – Setiap calon Ibu umumnya bercita-cita ingin dapat melahirkan dengan cara normal dan mendapat dukungan penuh dari orang-orang terdekat, terutama suami yang selalu ada disampingnya. Atas harapan tersebut, tak jarang dokter memperbolehkan suami masuk ke ruang bersalin untuk menemani sang istri melahirkan. Meskipun ada juga beberapa dokter yang tidak memperbolehkannya, sebab dianggap dapat mengganggu proses melahirkan.
Namun siapa sangka, ada sebuah tradisi pengasingan untuk perempuan pada saat melahirkan hingga pasca melahirkan di tengah zaman yang semakin modern ini. Salah satunya adalah Tradisi Humkoit/Koin di Pulau Buru, Provinsi Maluku.
Tradisi humkoit/koin (rumah sakral), berkaitan dengan kepercayaan masyarakat kepada roh para leluhur yang disebut Ina Kabuki (Sehatepy, Soulissa, Wattimury, Mage, Prapunoto, Kristijanto, 2019). Ina Kabuki dipercayai oleh penduduk Pulau Buru sebagai leluhur yang berpotensi untuk menyembuhkan segala macam penyakit, atau rasa sakit yang dialami masyarakat asli Pulau Buru.
Sebelum perempuan memasuki humkoit/koin (rumah sakral), wajib dilakukan ritual adat yang disebut dengan smake/babento. Smake/ babento sendiri merupakan ritual penyerahan diri dan pengucapan sumpah kepada roh leluhur. Orang-orang yang terlibat dalam ritual tersebut harus mengenakan pakaian adat lengkap dengan selempang merah. Upacara penyembuhan ini bertujuan agar pada saat melahirkan perempuan dan bayinya mendapatkan keselamatan atau tidak diganggu oleh roh jahat (Soulissa, Prapunoto & Kristijanto, 2020).
Proses persalinan biasanya dilakukan sendiri tanpa bantuan dari dukun bersalin. Akan tetapi, bagi perempuan yang baru pertama kali akan melahirkan biasanya akan didampingin oleh ibu atau dukun bersalin (Sehatepy, dkk, 2019). Selain proses melahirkan, pemotongan tali pusat bayi yang baru dilahirkan juga dilakukan dalam tradisi humkoit/koin.
Pemotongan tali pusat bayi biasanya menggunakan mnakut/netat (alat penyayat) yang terbuat dari bambu. Proses ini terkadang menimbulkan infeksi, sebab alat penyayat yang digunakan masih sangat tradisional dan kurang steril (Soulissa, dkk, 2020).
Ibu dan bayi kemudian melakukan proses pembersihan sisa darah kotor pasca melahirkan dilakukan di sungai. Selain itu, ada juga fenomena pengasaran/pangi (pengasapan) yang merupakan prosesi penghangatan tubuh bayi dan ibunya. Proses ini ditandai dengan penempelan kain hangat yang telah diasapi diatas kayu yang dibakar pada pojokan humkoit/koin. Pengasaran/pangi (pengasapan) ini umumnya dilakukan agar tali pusar bayi cepat mengering (Soulissa, dkk, 2020).
Pada saat berada dalam rumah tersebut, perempuan hanya mengonsumsi papeda kasbih, yaitu jenis makanan dari perasan singkong disirami air panas. Makanan tersebut tentu tidak cukup untuk memenuhi gizi ibu dan bayi. Padahal kualitas kesehatan bayi baru lahir sangat dipengaruhi oleh kualitas ASI yang dihasilkan oleh ibu. Sedang, kualitas ASI sangat ditentukan oleh makanan yang dikonsumsi oleh ibu. Kondisi ini tentu sangat memengaruhi kondisi kesehatan ibu dan bayi yang akan sangat rentan terkena penyakit (Soulissa, dkk, 2020).
Selain itu, perempuan juga mengkonsumsi jamu sebagai obat pasca melahirkan. Penggunaan jamu tersebut biasanya menggunakan akar alang-alang (re) yang ditumbuk dan direbus untuk kemudian diminum. Hal ini diyakini dapat membersihkan perut setelah melahirkan dan melancarkan darah yang keluar (Soulissa, dkk, 2020).
Kondisi geografis kawasan permukiman masyarakat pedalaman Pulau Buru, menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi pilihan perempuan Pulau Buru untuk melahirkan di humkoit/koin (rumah sakral). Letak Puskesmas sangat jauh dan kondisi jalan yang harus dilalui juga dalam kondisi fisik yang rusak serta perlu menyebangi sungai (Soulissa, dkk, 2020). Dengan demikian, penduduk berharap agar segera didirikan Puskesmas agar kesehatan masyarakat Pulau Buru lebih terjamin.