BincangMuslimah.Com – Pagi itu saya yang sedang mengecek lini masa twitter, sebuah postingan membuat saya tercengang. Seorang warga net yang prihatin atas tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga/KDRT yang dialami oleh tetangganya.
Pentingnya Kerjasama dalam Keluarga
Berikut tweet dari akun @tubbirfess tersebut: “Tetanggaku perempuan tulang punggung keluarga. Suaminya ga guna karena nganggur tapi abusive. Anak pertamanya cacat karena pas hamil, suami menendang istrinya. Sekarang hamil ditendang lagi sampai keguguran. Hari ini didatengi warga bareng pak RT. Mau dibawa ke jalur hukum.”
Saya sampai tercekat dan tidak habis pikir betapa kejinya sang suami. Alih-alih membantu urusan domestik karena selama ini ia berstatus pengangguran. Ia justru menjadi beban ganda sang istri karena malah berlaku sewenang-wenang hingga mengakibatkan anak mereka menjadi penyandang disabilitas, serta melayangnya calon anak kedua.
Syukurlah, warga dan Ketua RT di tempat mereka tinggal akhirnya reponsif untuk kemudian membantu perceraian keduanya. Di luar kasus pasangan tadi, kerap kita temui banyak perempuan yang lebih memilih diam bila suaminya melakukan tindak kekerasan atau kesewenang-wenangan lain.
Pun ketika mereka mengadu bila suami otoritatif dan sering ringan tangan, alih-alih membantunya untuk mediasi, justru lebih sering meminta perempuan untuk sabar serta ikhlas. Dengan dalih bahwa mereka-mereka yang sabar ganjarannya surga.
Kenapa harus Selalu Menyalahkan Perempuan?
Dalam kasus lainnya, apabila suaminya berpoligami dan berbuat tidak adil, permintaan cerai istri kemudian menganggapnya sebagai ketidaksalihan sebagai perempuan. Hal-hal seperti ini lah yang justru semakin membuat banyak kasus KDRT terendap dan tak pernah menemui solusi terbaik bagi para penyintas. Bahkan beberapa kali saya temui respon-respon negatif yang justru menyalahkan kembali perempuan ketika laki-lakinya bersikap emosional yang berlebihan.
“Pasti istrinya gak bener ke suami.”
“Coba suruh ngaca dulu istrinya, jangan-jangan istrinya kegenitan. Di rumah pake daster bolong, kalau ke luar make up-nya menor.”
Dari sini saya menyadari bahwa tidak mudah mengubah budaya patriarki negatif yang mengakar kuat di masyarakat kita. Bahkan, bukan hanya pihak laki-laki yang melontarkan kritik bernada mencela, justru banyak perempuan yang masih juga menyalahkan sesamanya bila terjadi KDRT. Padahal Rasul dalam rumah tangganya memberikan teladan bahwa beliau sebagai suami tidak pernah membentak apalagi berkata-kata kasar.
Rasul Telah Memberi Teladan
Rasul sendiri adalah sosok suami yang sangat romantis terhadap pasangan. Sebagai contoh, beliau mencium istrinya sebelum keluar untuk shalat. Dari Aisyah binti Abu Bakar, “bahwa Nabi SAW mencium sebagian istrinya kemudian keluar menunaikan shalat tanpa berwudhu dahulu”. (HR Ahmad).
Selain tidak pernah ragu dalam mengekspresikan kasih sayang tulus bagi pasangan, Rasulullah juga tak segan-segan membantu pekerjaan rumah tangga, termasuk mencuci pakaian dan menjahit sendiri baju beliau yang robek. Aisyah R.A mengisahkan, “Rasulullah SAW pernah mencuci pakaian bekas kami, lalu keluar untuk menunaikan shalat dengan pakaian tersebut, dan saya masih melihat bekas cucian itu.” (HR Bukhari Muslim).
Masya Allah! Betapa mulia akhlak beliau sebagai pemimpin umat! Saat ini banyak orang justru melakukan glorifikasi ibu rumah tangga adalah pekerjaan 24 jam 7 hari nonstop sebagai tugas mulia. Tetapi beliau justru mencontohkan bahwa suami yang baik adalah yang membantu istri mengerjakan urusan domestik. Tanpa menegasikan bahwa mengurus pekerjaan rumah tangga mendatangkan banyak pahala bagi istri, Rasul memperlihatkan bahwa dengan berbagi peran, suami juga memberikan kesempatan pada istri untuk bisa beristirahat, menuntut ilmu, berkontribusi pada umat, dan sebagainya.
Kenapa Tidak Totalitas dalam Meneladani Rosul?
Sayangnya, umat nabi Muhammad hanya meneladani Rasul setengah hati. Gambarannya terlihat nyata di lini masa kita: penekanan untuk solihah dan taat seakan-akan ada di pihak istri semata. Belum lagi penafsiran ayat yang tidak mubadalah, kemudian mengakibatkan pembebanan perempuan dengankewajiban berlipat yang sering membuat laki-laki berbuat seenaknya saja.
Ditambah dengan kesenjangan jumlah antara penceramah laki-laki dan perempuan di publik, yang selanjutnya berdampak pada membanjirnya konten yang tidak berkeadilan gender di berbagai media massa.
Kondisi tadi semakin memburuk dengan propaganda masif poligami yang syarat ketentuannya sangat berat. Alih-alih meniru teladan sikap beliau yang lebih prioritas dengan bersikap ramah, bijak, dan selalu meringankan tugas istri. Banyak laki-laki yang depresi dan tak bisa berkomunikasi dengan baik, justru mencari masalah baru dengan selingkuh atau bertindak kasar pada pasangan.
Dengan satu istri saja, sering tidak berbuat adil, ini kok malah mau memperburuk situasi?! Bahkan dengan angkuhnya menikahi perempuan lain dengan alasan mengikuti sunnah Rasul. Tolong deh sebelum memutuskan hal tersebut, refleksi dulu bagaimana penerapan sunnah sebenar-benarnya dalam rumah tangga yang sekarang.
Sudahkah meneladani beliau dalam pembagian urusan domestik? Apakah bisa tetap sabar ketika berkonflik dengan pasangan? Apakah sudah berkomunikasi dengan terbuka tanpa emosi?
Jangan-jangan ikut membantu istri cuci piring saja tidak pernah?! Lah begini kok mendaku-daku pejuang sunnah?!
5 Comments