BincangMuslimah.Com– Belakangan ini, pesantren dan santri kembali ramai menjadi perbincangan di media sosial. Terlebih setelah munculnya polemik antara Trans7 dan Pondok Pesantren Al-Khozini. Kehebohan ini memunculkan berbagai opini publik tentang posisi santri di tengah masyarakat modern. Alih-alih kritik, opini negatif muncul sangat liar tanpa tedeng aling-aling, bahkan hanya berupa hujatan dan makian.
Saat sedang terjadi polemik seperti kemarin, memicu para santri juga “muncul” ke permukaan. Saya sampai merasa, wah, sebenarnya suara santri se-masif itu loh jika membela suatu kebenaran; dalam hal ini membela pesantren dari opini buruk netizen. Tetapi selama ini, apakah suara tersebut benar-benar muncul di isu lain dalam kehidupan yang majemuk ini?
Melihat Citra Santri Saat Ini
Pondok pesantren memang sangat mengedepankan keilmuan agama. Kajian Al-Qur’an, fiqh, ilmu alat, tasawuf, hingga balaghah bisa jadi makanan sehari-hari. Mulai dari pembahasan dari kitab turats hingga diskusi-diskusi keagamaan tumbuh subur di lingkungan pesantren.
Kita tahu bahwa dalam sejarahnya, santri memiliki peran penting di era sebelum kemerdekaan Indonesia. Pesantren menjadi tonggak perjuangan pendidikan agama di berbagai lapisan masyarakat saat akses pendidikan formal masih sangat terbatas. Resolusi jihad tahun 1945 menjadi bukti nyata kehadiran santri dalam sejarah kemerdekaan.
Peringatan hari santri setiap tahunnya terjadwal pada tanggal tanggal 22 Oktober. Di tahun 2025 ini mengusung tema “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia”. Tema ini menyiratkan harapan yang tinggi pada santri untuk berkecimpung pada aspek yang luas dalam peradaban dunia.
Santri bukan hanya kumpulan orang-orang yang belajar agama, penjaga tradisi, melainkan memiliki posisi dan tanggung jawab yang sama seperti generasi muda lainnya; yaitu membangun peradaban.
Sedikit refleksi dari fenomena akhir-akhir ini, pemberitaan tentang pesantren di stasiun TV dengan narasi negatif menyulut amarah santri di berbagai tempat hingga di media sosial. Solidaritas santri dalam menjadi garda terdepan pesantren dan kiai sangat perlu diapresiasi, tetapi juga menyisakan ruang untuk berbenah perihal bagaimana bijak bersikap di ruang publik. Bagaimanapun, santri selain mengenyam pendidikan formal dan pendidikan agama, pesantren juga menekankan aspek adab dan santun terhadap sesama. Itu ciri khas santri.
Tidak Terbatas Pada Ilmu Agama
Sejarah panjang Islam di Indonesia tidak bisa terlepas dari kiprah santri. Mereka berperan dalam perjuangan kemerdekaan, pendidikan, hingga penyebaran nilai-nilai moral di masyarakat. Namun, dalam pandangan publik saat ini, santri sering dikaitkan hanya dengan ceramah, kitab kuning, dan masjid. Identitas ini memang mulia, tapi menjadi terbatas ketika tidak diiringi dengan kontribusi di bidang lain seperti ekonomi, teknologi, seni, atau sains.
Kalau merujuk ke tema besar hari santri 2025, seharusnya kita berpikir bagaimana santri dapat berkontribusi untuk membangun peradaban. Salah satunya caranya adalah dengan masuk ke berbagai sektor kehidupan di negara ini; menjadi manfaat dan tetap memegang nilai santri yang berprinsip islami.
Kita perlu mengingat, ulama terdahulu pun tidak hanya berfokus pada ilmu agama. Ibnu Sina, seorang ahli medis juga seorang filsuf muslim. Abu Nasr Al-Farabi; seorang filsuf Arab ahli teologi yang juga berperan dalam dunia politik serta ahli di bidang matematika, sains, hingga musik.
Selain itu, Muhammad ibn Zakariya Ar Razi juga salah satu ilmuwan muslim terbesar. Kontribusinya di bidang kedokteran tidak diragukan lagi, salah satunya penemu penyakit cacar serta menulis seputar imunologi. Beliau ahli kimia, pengobatan alternatif, filsafat, hingga teologi. Jika kita mengingat lebih jauh, Rasulullah pun bukan hanya seorang Rasul yang menyebarkan agama. Beliau juga ahli dalam strategi perang, politik, bisnis, dan seorang negosiator ulung.
Menemukan Passion dan Skill Masih Jadi Tantangan dunia Pesantren
Kemajuan zaman membawa setiap instansi pendidikan terus berinovasi. Sekolah-sekolah memunculkan berbagai macam ekstrakurikuler, universitas membuka jurusan-jurusan baru, dan pesantren juga mengembangkan skill santrinya.
Sayangnya, pengembangan skill dan pencarian passion santri belum masif dilaksanakan di pesantren. Dalam hal ini, pesantren modern sudah sedikit demi sedikit bergerak ke arah sana dan menciptakan lulusan dengan skill dan keahlian yang beragam.
Namun secara umum, pembekalan skill santri masih menjadi tantangan pesantren; terutama pesantren tradisional. Misalnya membekali skill public speaking, kepenulisan, kewirausahaan, dan IT. Semua ini sebenarnya sangat relevan dengan kehidupan masa kini dan bisa diintegrasikan dengan keilmuan agama yang dimiliki.
Pesantren juga perlu memiliki keterbukaan dan melakukan pengenalan lebih terkait berbagai disiplin keilmuan. Misalnya di bidang sains, geografi, bisnis, kedokteran, farmasi, kimia, robotic dan pengenalan berbagai bahasa penting dunia. Sehingga persaingan antar santri bukan hanya berkutat pada yang faham ilmu agama dan tidak, tetapi yang berhasil menjadi ‘siapa’ dalam bidang yang bervariasi di ruang publik.
Saya yakin, sebenarnya banyak sekali santri-santri di luar sana yang berkiprah di berbagai bidang; seperti pebisnis, hukum, engineer, IT, public speaking, hingga influencer. Tetapi memang masih sedikit yang menampilkan citranya sebagai seorang santri. Dunia sains dan keilmuan modern modern seolah masih terpisah dari sentuhan para santri.
Dapat dipahami, hal ini mungkin karena tidak ada urgensi menunjukkan ‘santri’ di bidang pekerjaannya. Tetapi di mata masyarakat luas, pengakuan kesantrian sebenarnya sangat diperlukan untuk mengeluarkan santri dari stigma terkungkung pada aspek agama saja. Padahal di luar sana, santri juga bisa menjadi apa saja.
3 Comments