BincangMuslimah.Com – Pemerintah secara resmi menghapus praktik sunat perempuan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Penghapusan ini tertulis jelas pada pasal 102 huruf a yang berbunyi “menghapus praktik sunat perempuan”.
Selain penghapusan praktik sunat perempuan, terdapat beberapa poin kebijakan yang berkaitan dengan edukasi seksual dalam pasal 102. Di antaranya adalah edukasi bagi balita dan anak sekolah perihal organ reproduksi serta perbedaannya antara laki-laki dan perempuan, mengedukasi untuk menolak sentuhan pada bagian tubuh yang dilarang, praktik hidup bersih pada organ reproduksi, dan memberikan layanan klinis medis.
Di Indonesia sendiri masih menjadi pro kontra perihal kebolehannya ditimbang dari manfaat dan bahaya dari praktik tersebut. Tak sedikit landasan dari setiap perdebatan tersebut adalah dalil agama dan budaya sosial masyarakat.
Lalu apa dampak dari praktik tersebut sehingga akhirnya dihapuskan? Mengapa masih banyak kontroversi di dalamnya?
Dampak dan Resiko Sunat Perempuan
United Nations Children’s Fund (UNICEF) mengemukakan beberapa alasannya untuk menghapus praktik sunat perempuan. Salah satunya karena tidak memiliki manfaat kesehatan apapun. Bahkan, sunat perempuan dapat menimbulkan komplikasi maupun resiko jangka panjang, seperti pendarahan, syok, infeksi, penularan HIV, retensi urin, dan nyeri hebat, juga cedera organ sekitar saluran kencing dan usus.
Tak hanya itu. Sunat perempuan juga menimbulkan efek jangka panjang, seperti infeksi kronis vagina atau perut bawah, gangguan menstruasi, gagal ginjal, pembentukan kista, kemandulan, hubungan seks yang menyakitkan, dan trauma psikologis.
National Library of Medicine mengutip artikel ilmiah dari World Health Organization (WHO) membantah beberapa argumen mitos sosiokultural perihal FGM. Seperti sunat akan menyucikan wanita, mencegah dari gangguan mental dan kenikmatan seksual, pembuktian keperawanan sebagai prasyarat perkawinan yang terhormat dan lain sebagainya.
Perdebatan Praktik Sunat Perempuan
Majelis Ulama Indonesia diwakili oleh Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH. Cholil Nafis merespon penghapusan praktik khitan perempuan ini yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Menurutnya, landasan bagi khitan perempuan memang tidak wajib dalam syariat Islam, namun juga tidak boleh melarangnya.
Hal ini masih sama kuatnya dengan fatwa MUI sebelumnya tahun 2008. Argumentasi yang dijadikan alasan adalah karena status hukum khitan perempuan merupakan fitrah dan syiar dalam Islam, begitu pula sebagai ibadah yang dianjurkan. Selain itu, batas atau cara khitan perempuan hendaknya dilakukan dengan benar, cukup dengan mengangkat selaput dan tidak berlebihan.
Fatwa ini ditutup dengan rekomendasi dari MUI bagi pemerintah untuk memberikan penyuluhan dan edukasi maksimal perihal ini terhadap tenaga medis. Setali tiga uang dengan MUI pusat, Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh juga menentang adanya pelarangan sunat bagi perempuan dengan alasan yang sama.
Salah satu dalil populer yang menjadi landasan khitan perempuan adalah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَلْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَآءِ. (رواه أحمد والبيهقي)
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah saw. bersabda: “Khitan adalah sunnah bagi laki-laki dan suatu kemuliaan bagi perempuan”. (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi).
Hadis di atas menyoroti makrumah atau kemuliaan bagi sunat perempuan. Namun Al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra dan Asy-Syaukani dalam Nayl al-Authar menyatakan bahwa hadis tersebut lemah atau dhaif. Karena salah satu periwayat yang bernama Al-Hajjaj ibn Arta’ah merupakan orang yang pendapatnya tidak dapat dijadikan landasan argumentasi menurut pendapat Ibn Abi Hatim dalam al-‘Ilal dan Ibn abd Al-Arr dalam at-Tahmid.
Ulama kontemporer Imam Al-Qaradhawi dalam Fatawa Mu’ashirah dan Mahmud Syaltut dalam al-Fatawa berpendapat, makna makrumah dalam hadis tersebut adalah hanya suatu tradisi yang relevansinya tidak bisa disamakan antara zaman dahulu dan sekarang.
Dalam konteks syariat Islam, seharusnya praktik ini tidak hanya dikaji dari fikih madzhab qauli (pendapat imam 4 madzhab yang mayoritas berpendapat sunnah) dan landasan beberapa hadis saja (yang terbukti beberapa di antaranya dlaif atau lemah). Melainkan perlu mempertimbangkannya ke arah usul fikih dengan kaidah yang sesuai dengan masa dan konteks masalahnya.
Sebagaimana yang terkandung dalam kaidah Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘Alaa Jalbil Mashalih (menghilangkan bahaya lebih didahulukan daripada mengambil manfaat). Pada realitanya, praktik sunat perempuan ini memang lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya, yang telah terbukti secara ilmiah.
Dari sisi lain, persoalan khitan atau sunat perempuan ini hendaknya tidak hanya dipahami dari kacamata agama dan tradisi, melainkan dari motivasi kuat untuk memutus penyebaran nilai-nilai patriarki dan bias gender. Hal ini mengutip dari kertas konsep Pencegahan dan Penghapusan Pemotongan/Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP), rumusan tim Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan).
Pada dasarnya, perdebatan ini memiliki tujuan akhir yang sama, yakni untuk keselamatan dan kesejahteraan kaum perempuan. Namun, penghapusan praktik sunat bagi perempuan ini juga merupakan salah satu upaya untuk melindungi dan memuliakan perempuan.
Hal ini selaras dengan salah satu maqasid syari’ah yakni menjaga jiwa (hifdz Nafs), dan juga tidak menyalahi dalil agama karena bukan perkara ubudiyyah yang patut mendapatkan dosa jika itu ditinggalkan.
Semoga bermanfaat.
3 Comments