BincangMuslimah.Com – Tidak berlebihan rasanya kalau kita katakan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang feminist atau pelopor gerakan perempuan di dunia Islam. Rasulullah menggunakan prinsip keadilan dan persamaan dalam menata dan membangun masyarakat Islam di Madinah. Prinisp-prinsip itu jugalah yang digunakan dalam melihat relasi laki-laki dan perempuan. Kehidupan masyarakat sebelum Islam datang sangat patriarki (male center) yaitu lebih mengutamakan laki-laki dan menilai rendah perempuan.
Suatu hari, sahabat Umar Bin Khattab tertawa dan setelah itu menangis. Dia tertawa karena ingat saat dirinya belum masuk Islam, pernah membuat “tuhan” dari makanan dan saat dibawa jalan-jalan dan merasa lelah dia makan bagian anggota tubuh “tuhan” itu. Dia merasa geli dan bodoh dengan perbuatannya itu. Dia menangis karena saat masih hidup dalam budaya Jahiliyah dia telah mengubur anak perempuannya hidup-hidup karena dia merasa malu mempunyai anak perempuan. Dia sangat menyesali perbuatan itu dan sering menangis jika teringat akan kebodohan dan kekejian yang dilakukan pada anak perempuannya.
Jaman pra-Islam, menjadi perempuan tidak hanya memalukan namun juga tidak mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Seperti hak mendapatkan warisan dan hak menikah lagi bagi para janda. Selain itu, juga kabanyakan perempuan hanya diposisikan sebagai objek seksual. Hal ini terlihat dengan tidak adanya batasan poligami bagi masyarakat pra-Islam.
Sebelum ayat poligami turun (Q. S. An nisa’, 3, 20, dan 129), banyak sahabat Nabi yang mempunyai istri lebih dari empat, dan Rasululah memintanya untuk memilih empat saja dengan ketentuan bahwa tetap menegakkan keadilan. Dengan demikian, maka sebenarnya poligami adalah suatu ajaran yang mengindikasikan batasan dan syarat yang harus diperhatikan untuk berpoligami bukan sebagai anjuran.
Selain itu, karena turunnya ayat poligami adalah setelah perang Uhud di mana ada 10% sahabat muslim laki-laki Nabi yang meninggal dunia, maka spirit poligami adalah sebagai strategi untuk mengatasi persoalan ekonomi dan sosial para janda dan anak yatim yang ditinggal mati bapaknya di perang Uhud. Salah satu ciri masyarakat patriarki adalah tidak memberikan proteksi atau perlindungan pada perempuan termasuk janda. Kalau keamanan janda terancam, maka keamanan dan keselamatan anak yatim dari janda itupun juga terancam. Oleh karena itu, poligami bisa dilakukan jika bisa berbuat adil kepada para istri dan anak-anaknya dan juga karena beralasan untuk memberikan perlindungan pada perempuan dan anak yatim yang secara budaya tidak diuntungkan.
Jika diihat lebih cermat lagi, alasan poligami yang dilakukan Rasulullah sebenarnya bukan karena alasan seksual, reproduksi, dan juga bukan karena jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Rasulullah poligami setelah Khadijah, istri pertama, meninggal. Selama 25 tahun menikah dengan khadijah Nabi dikaruniai anak laki-laki dan perempuan. Namun hanya Fatimah, anak perempuanya saja yang masih hidup sampai dewasa bahkan sampai menikah. Semua anak laki-laki beliau meninggal di usia yang masih kanak-kanak.
Sebenarnya, Rasulullah bisa melakukan poligami untuk mendapatkan anak laki-laki di saat Khadijah masih hidup, karena budaya poligami adalah budaya yang sudah mengakar dan biasa dilakukan oleh bangsa Arab. Dan Nabi berasal dari suku Quraisy yaitu, salah satu suku terpandang di Arab saat itu. Namun beliau tidak melakukannya. Jadi kalau ada yang melakukan poligami karena alasan reproduksi atau ingin memiliki anak, maka sebenarnya bukan poligami ala Rasulullah.
Nabi Muhammad merupakan seorang pelopor gerakan perempuan juga dapat dilihat dari bentuk penghormatan terhadap ibu atau perempuan. Di saat Nabi ditanya oleh para sahabat, siapa orang yang paling dihormati, beliau menjawabnya “ibu”. Bahkan Nabi sampai mengatakannya tiga kali, baru yang keempat kalinya adalah “bapak”. Hal ini bukan berarti Nabi membedakan kedudukan laki-laki dan perempuan baik di mata Allah, di masyarakat atau di keluarga, tetapi hal ini disampaikan guna merespon budaya saat itu yang tidak menghargai perempuan terutama ibu yang telah mengandung anaknya selama sembilan bulan.
Dengan mengatakan penghormatannya ke ibu tiga kali dan baru ke bapak, beliau menekankan bahwa perempuan adalah sosok manusia yang terhormat, bernilai serta bermartabat sebagaimana laki-laki. Selain itu juga ada hadist yang mengatakan bahwa surga ada di telapak kaki ibu. Dengan demikian Nabi berusaha mengangkat posisi perempuan terutama ibu pada posisi yang mulia dan bermartabat di masyarakat Arab saat itu.
Terakhir, Nabi juga menganjurkan untuk berbuat baik pada pasangan baik suami atau istri. Hal ini diungkapkan dalam Qur’an surat Al baqoroh/2:187 bahwa istri adalah pakaian bagi suami dan suami adalah pakaian bagi istri. Dalam Qur’an An Nisa’/4:19 juga disampaikan agar memperlakukan istri dengan cara yang makruf atau baik. Dari dua text ini mengindikasikan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak kenyamanan dan kesenangan yang sama dalam keluarga, baik secara phisik, psikis, maupun seksual. Tidak hanya mempunyai keadilan dalam mendapatkan gizi, dan kasih saying, tetapi juga hak untuk mendapatkan kepuasan seksual.
Dengan menyimak sekilas tentang apa yang dilakukan Nabi terhadap kedudukan, hak, dan pengakuan perempuan, maka sebelum para feminis Barat menabuh gendangnya di awal abad 21, tepatnya 1920 untuk memperjuangkan perempuan agar mempunyai hak memilih dalam pemilihan umum, maka Nabi Muhammad di akhir abad 6 Masehi sudah melakukan perubahan sosial yang berdasarkan keadilan dan persamaan hak terhadap laki-laki dan perempuan.
Oleh karena itu, marilah kita peringati kelahiran Nabi Muhammad dengan menegakkan dan memperjuangkan kembali keadilan di masyarakat sebagaimana yang dilakukan Rasulullah dalam membangun masyarakat madani.
*Tulisan ini sudah diterbitkan di laman website genderprogessive.com dan diterbitkan ulang atas izin penulis
*Selama Ramadhan ini Bincang Syariah & Bincang Muslimah akan menghadirkan kolom artikel dari para tokoh tanah air.Â