BincangMuslimah.Com – Setelah menikah, suami dan istri hidup bersama dengan pembagian tugas yang telah disepakati bersama. Selain itu, suami diposisikan sebagai kepala keluarga. Di dalam Islam, laki-laki merupakan imam bagi keluarga kecilnya.
Dengan posisi tersebut, tidak jarang pandangan segala keputusan berada di tangan laki-laki kerap ditemukan. Segala tindakan yang berada di dalam rumah tangga adalah otoritas suami.
Bahkan ada yang memulai dari hal kecil seperti masakan, perilaku keluarga hingga cara bersikap. Semuanya diserahkan kepada suami. Begitu pun dengan pergerakan dari istri, semua harus berdasarkan titah suami.
Jika sikap yang dikeluarkan oleh istri berbeda arahan suami, maka dapat dikatakan sang istri adalah pembangkang. Di sisi lain, suara suami mutlak untuk didengarkan. Istri dituntut untuk tidak membantah dan menuruti apa yang telah disuarakan oleh suami.
Terkadang ada istri yang mencoba bersuara dan mengeluarkan pendapat, jarang didengarkan. Walau sudah terkikis, anggapan pikiran perempuan setengah laki-laki masih saja dipegang oleh sebagain orang.
Sehingga pendapat istri kerap hanya dipandang sebagai omelan dan komentar yang tidak memiliki makna. Sekadar komentar yang dibiarkan bak angin lewat. Istri, posisinya di ranah domestik saja yaitu sumur, dapur dan kasur. Di luar itu, biarkan suami yang mengurus.
Bahkan dalam urusan menyelesaikan suatu masalah, pendapat suami dominan lebih diperdengarkan dan mutlak menjadi sebuah solusi. Tidak ada diskusi, anak dan istri harus menerima keputusan yang dikeluarkan oleh sang suami.
Padahal tidak sepenuhnya demikian. Islam sendiri memberikan ruang bagi istri untuk saling bertukar pikiran dengan suami. Hal ini pula lah yang dilakukan rasulullah pada istrinya.
ثم قال عمر والله إن كنا في الجاهلية ما نعد للنساء أمرا حتى أنزل الله فيهن ما أنزل وقسم لهن ما قسم قال فبينا أنا في أمر أتأمره إذ قالت امرأتي لو صنعت كذا وكذا قال فقلت لها ما لك ولما ها هنا وفيم تكلفك في أمر أريده فقالت لي عجبا لك يا ابن الخطاب ما تريد أن تراجع أنت وإن ابنتك لتراجع رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى يظل يومه غضبان فقام عمر فأخذ رداءه مكانه حتى دخل على حفصة فقال لها يا بنية إنك لتراجعين رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى يظل يومه غضبان فقالت حفصة والله إنا لنراجعه
“Ibnu Abbas Ra menuturkan bahwa Umar bin Khatab Ra berkata “Di masa jahiliah dulu, kami tidak pernah mempertimbangkan ide atau saran yang berasal dari kaum perempuan. Sehingga Allah menurunkan ayat berkenaan dengan hak mereka, dan memberikan mereka hak-hak mereka.
Umar melanjutkan, “Maka ketika menghadapi suatu persoalan yang hendak aku pertimbangkan, tiba-tiba istriku berkata ‘seandainya engkau berbuat seperti ini dan itu ‘maka kukatakan padanya ‘Ada apa denganmu, kenapa turut campur dan untuk apa campur tanganmu dalam persoalan yang aku inginkan? Istriku menjawab, ‘Sungguh engkau aneh wahai Ibun Khatab! Apakah engkau tidak mau diajak berdiskusi, padahal anak wanitamu sendiri mengajak diskusi bersama Rasulullah Saw hingga beliau melewati hari-harinya dengan perasaan marah?
Akhirnya Umar bergegas mengambil pakaiannya dan segera menemui Hafsha lalu berkata padanya “Wahai anakku, sesungguhnya kamu mengajak diskusi bersama Rasulullah Saw. Hingga beliau melewati hari-harinya dengan perasaan marah? Hafshah berkata, “Demi Allah, kami benar-benar bisa mengajak diskusi bersama beliau. (H.R Imam Bukhari dalam Shahih-nya no hadit 4962)
Hadis di atas menggambarkan relasi antara Umar bin Khatab Ra dengan sang istri. Lalu relasi antara Rasulullah dengan Istrinya, Hafsah yang merupakan anak Umar bin Khatab.
Tampak jika Umar bin Khatab pada istrinya terkesan tidak menerima pendapat sang istri. Dalam keluarga ini bersifat suatu sara yaitu dari suami. Sedangkan Rasulullah dengan sang Hafsah, saling terbuka dan berkomunikasi satu sama lain.
Rasulullah pun menyediakan ruang bagi para istrinya untuk berpendapat. Bahkan menurut hadis di atas, keduanya pernah berdiskusi dan bertukar pikiran. Menurut Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya yang berjudul 60 Hadis Shahih, hal ini merupakan sebuah contoh.
Dimana Umar bin Khatab melihat sendiri bagaimana kehidupan Rasulullah dalam berumahtangga. Sebagai implementasi, Umar mengikuti jejak Rasulullah. Tentunya dengan bersedia mengubah diri, hormad dan mendengarkan suami.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Islam memberikan ruang bagi istri untuk berpendapat. Serta mengajukan suara jika terdapat suatu permasalahan. Suami dan istri seharusnya saling menyatu dan bekerja sama baik dalam menyelesaikan suatu masalah, maupun mengurus perihal rumah tangga.