BincangMuslimah.Com – “Semua wanita muslim ingin bertaqwa dan taat kepada Allah SWT dan suaminya. Untuk berkenaan di mata Allah dan suami, Anda harus menikah pada usia 12-21 tahun tidak lebih. Jangan tunda pernikahan karena keinginan egoismu, tugasmu sebagai gadis adalah melayani kebutuhan suamimu. Anda harus bergantung pada spria sedini mungkin untuk keluarga yang stabil dan bahagia. Jangan menjadi beban bagi keluarga anda. temukan pria lebih awal!”
Sebuah kalimat yang bikin ilfeel penulis yang dilontarkan oleh sebuah wedding organization, yakni Aisha Weeding. Sampai saat ini, ketika kalimat promosi yang dilontarkan oleh Aisha wedding itu menjadi perbincangan netizen, kita belum mengetahui akun tersebut benar-benar wedding organizer atau hanya gimmick semata.
Meski demikian, banyak respon atas kampanye pernikahan anak tersebut. Bahkan tidak hanya kampanye pernikahan anak, ia juga menyerukan soal poligami. Mungkin bisa dikatakan bahwa hak tersebut dilakukan sebagai untuk menaikkan reputasi EO, atau memang sedang berkampanye mengatasnamakan wedding organizer. Akhirnya, penulis memperoleh kesimpulan bahwa apa yang dilakukan oleh Aisha wedding tidak lain bentuk komodikafikasi agama.
Jika diartikan secara sederhana, komodifikasi ini akan merujuk pada komersialisasi sesuatu yang pada akhirnya mengarah terhadap sebuah keuntungan. Istilah ini kemudian kita ambil dengan komodifikasi Islam, yang diartikan sebagai komersialisasi Islam atau mengubah keimanan dan simbol-simbolnya menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan untuk mendapat keuntungan.
Masih ingat dengan berita beberapa terakhir soal “sepatu syar’i” yang sempat menjadi perbincangan?. Nampaknya kita perlu melihat sisi gebrakan kebutuhan produksi yang meningkat, setelah istilah syar’i itu disematkan pada sebuah sepatu. Padahal model sepatu hak tinggi itu sudah ada sejak dulu.
Simbol-simbol agama selalu dijadikan modal oleh sebagian kelompok untuk kepentingan pribadi. Apalagi label “halal” “syar’i” selalu menjadi trend menarik untuk dijajaki dan selalu memperoleh nilai lebih di tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Akan tetapi perihal Aisha wedding, menjadi tidak etis ketika menempatkan pernikahan anak sebagai subjek yang dikampanyekan dan kehadirannya begitu meresahkan.
Pernikahan anak yang diangkat sebagai konten promosi dalam sebuah pernikahan oleh Aisha weding adalah sebuah kampanye yang keliru, apalagi dengan alasan finansial, agama, dan solusi untuk menjauhkan anak dari zina. Padahal dampak pernikahan anak itu begitu besar jika dilihat konteks fisik dan psikis yang dimiliki oleh seorang anak.
Aisha Weding dan kejahatan manusia
Setidak-tidaknya, kampanye pernikahan anak yang dilakukan oleh Aisha Weding memuat unsur kejahatan manusia, diantaranya:
Pertama, melanggar undang-undang. Undang-undang perlindungan anak. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun, sedangkan Aisha Weding mewajibkan menikah sejak umur 12 tahun.
Kedua, menjadi sarana trafficking (perdagangan anak perempuan). Kampaye pernikahan anak tersebut bisa jadi sarana perdagangan perempuan, sebab dengan dalih anak perempuan harus segera dinikahkan untuk menghindari zina, dan tidak menjadi beban orang tua, maka hal itu bisa saja terjadi perdagangan. Anak akan dipaksa menikah dengan siapapun yang menghendaki tanpa mempertimbangkan keputusan sang anak.
Ketiga, bertentangan dengan upaya peningkatan SDM untuk memenuhi target SDGS. Bukan menjadi sebuah rahasia bahwa pemerintah memilih target jangka panjang untuk generasi berikutnya dengan adanya Sustainable development goals (SDGS) yang terdiri dari berbagai point penting. Pernikahan anak dibawah umur apalagi secara paksa justru akan menghambat potensi yang dimiliki, mematikan kehidupan serta semangat mudanya untuk melakukan berbagai perubahan yang ada di sekitarnya. Alhasil, anak sudah kehilangan dirinya sendiri, mau tidak mau harus siap dengan beban anak, suami, dan keluarga yang harus ditanggung. Padahal mentalnya belum siap.
Keempat, pernikahan anak berakibat buruk terhadap fisik dan mental seorang anak, apalagi hal tersebut dilakukan secara terpaksa. Kehamilan pada anak usia remaja menjadi masalah serius terhadap tumbuh kembang fisik seorang anak, bahaya keguguran, bayi lahir prematur serta potensi meninggal sang ibu begitu besar.
Lagipula, kampanye pernikahan anak apalagi dengan alasan menjauhkan dari zina adalah hal yang cacat, sebab begitu banyak yang bisa dilakukan oleh anak-anak dalam mengembangkan potensi, mengasah kemampuan yang dimiliki, bukan hanya persoalan mengurus diri untuk menghindari zina dll, apalagi dengan alasan merepotkan kedua orang tua, hingga menjadi beban orang tua. Wallahu a’lam.