BincangMuslimah.com – Beberapa waktu terakhir, bencana banjir kembali menjadi perbincangan. Di Bekasi, air bah merendam rumah-rumah warga hingga setinggi 3,5 meter, memaksa ribuan warga mengungsi dengan membawa apapun yang bisa mereka selamatkan.
Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, kita semakin sering melihat bagaimana alam memberi peringatan. Banjir yang biasanya hanya melanda kota-kota besar, kini menggenangi daerah pegunungan. Tanah longsor, kekeringan, hingga cuaca ekstrem menjadi bencana musiman yang semakin parah setiap tahunnya. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang tahun 2024 Indonesia telah mengalami 1.478 bencana, dengan 1.088 diantaranya bencana banjir dan 135 tanah longsor.
Fenomena ini menunjukkan adanya hubungan erat antara tindakan manusia dengan ekosistem alam. Cara manusia mengelola sumber daya, memperlakukan lingkungan, serta memberlakukan kebijakan dalam upaya pembangunan, semua memiliki kontribusi pada kondisi bumi. Penting untuk memahami bahwa menjaga keseimbangan alam bukan hanya kebutuhan ekologis, tetapi juga tanggung jawab moral. Berbagai nilai dan prinsip dalam kehidupan, termasuk yang diajarkan oleh agama, menggaris bawahi pentingnya peran manusia dalam merawat bumi agar tetap lestari.
Islam mengajarkan bahwa manusia memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga keseimbangan alam. Seperti penjelasan dalam QS. Ar-Rum [40]: 41 “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah SWT membuat mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Ayat tersebut memberi peringatan bahwa eksploitasi tanpa batas dan kelalaian manusia terhadap lingkungan mengakibatkan bencana dan membuat bumi semakin sekarat.
Usaha Perempuan Penyelamat Bumi dari Krisis Iklim
Bencana ekologis memengaruhi semua orang, tetapi perempuan menghadapi risiko lebih besar. Hal ini karena ketimpangan akses terhadap sumber daya dan peran sosial yang membatasi ruang gerak mereka.
Menurut BNPB, perempuan memiliki risiko 14 kali lebih tinggi menjadi korban bencana dibanding laki-laki. Komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang menilai, krisis iklim dapat melemahkan ekonomi dan keamanan perempuan, baik dalam sosial maupun keluarga.
Peran perempuan dalam lingkungan tidak sebatas sebagai korban. Keterlibatan mereka dalam mengelola sumber daya dan tanggung jawab sosial menjadikan mereka aktor utama dalam adaptasi dan mitigasi krisis iklim.
Keterlibatan mereka dalam mengelola lingkungan justru menjadikan perempuan sebagai aktor penting dalam upaya keberlanjutan dan mitigasi perubahan iklim. Di berbagai daerah, perempuan telah membuktikan peran perempuan sebagai pemimpin dalam perlindungan, pemulihan lingkungan, dan penyelamat bumi.
Suswaningsih, sejak 1996 sudah berjuang dan berhasil mengubah lahan tandus dan berbatu di Kelurahan Karangwuni, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), menjadi lahan hijau yang bermanfaat dan produktif.
Di Papua, Adriana Meraudje bersama komunitas Perempuan Enggros aktif dalam melestarikan hutan bakau yang menjadi benteng alami ekosistem pesisir. Ada juga Mama Aleta Baun, seorang aktivis lingkungan dari Nusa Tenggara timur. Ia berjuang mempertahankan hak masyarakat adat dengan menentang penembangan marmer yang merusak lingkungan.
Mereka adalah sebagian dari banyak perempuan yang berperan sebagai pionir dalam menghadapi krisis iklim. Perjuangan mereka bukan sekedar bertahan dari dampak krisis iklim, tetapi juga menjadi penggerak utama dalam menemukan solusi keberlanjutan.
Waktunya Perempuan Terlibat
Dalam Islam, penciptaan manusia untuk menjadi khalifah di bumi yang memiliki tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam. Konsep mizan (keseimbangan) dalam Al-Quran menegaskan bahwa alam semesta telah diciptakan dalam harmoni yang sempurna, dan manusia memiliki amanah untuk tidak merusaknya.
Pelibatan perempuan dalam pelestarian lingkungan bukan hanya soal keadilan sosial, tetapi juga strategi efektif dalam membangun ketahanan komunitas. Hal ini juga mencerminkan nilai-nilai agama tentang kesalingan serta tanggung jawab bersama.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa perumusan kebijakan dengan melibatkan perempuan terbukti lebih inklusif, berorientasi pada keberlanjutan, dan lebih responsif terhadap kebutuhan kelompok rentan.
Dalam buku Gerakan Green Islam di Indonesia: Aktor, Strategi dan Jaringan, disebutkan bahwa kepemimpinan perempuan dalam organisasi dan komunitas lingkungan berkontribusi pada kebijakan yang lebih berkelanjutan serta mendorong investasi hijau.
Sementara itu, laporan Women, Policy, and Politival Leadership: Environmental Sustainability and Climate Change Policies menegaskan bahwa negara-negara dengan lebih banyak perempuan dalam kepemimpinan politik cenderung memiliki kebijakan lingkungan yang lebih progresif dan berpihak pada keberlanjutan.
Kepemimpinan perempuan dalam perumusan kebijakan terkait perubahan iklim bukan sekadar pelengkap, melainkan kebutuhan. Dengan perspektif yang lebih inklusif dan berbasis komunitas, perempuan dapat menjadi motor penggerak dalam mendorong kebijakan lingkungan yang lebih adil, berkelanjutan, dan berbasis pada pengalaman langsung masyarakat yang terdampak.
8 Comments