BincangMuslimah.Com – Cita-cita Islam adalah kesetaraan, termasuk bagi perempuan. Kalimat tersebut adalah gambaran dari pemikiran seorang Lies Marcoes Natsir yang menilai bahwa kaum hawa dan Islam adalah dua elemen yang tak terpisahkan untuk diperjuangkan.
Nama Lies Marcoes Natsir tak pernah absen dari diskursus dan gerakan perempuan Islam. Ia disebut-sebut sebagai salah satu perempuan Indonesia yang ahli di bidang gender dan Islam.
Ia adalah perintis gerakan kesetaraan gender di Indonesia. Ia fokus menjembatani perbedaan antara feminis muslim dan sekuler. Selain itu, ia juga mendorong kaum feminis untuk bekerja dan mewujudkan kesetaraan gender di bawah naungan Islam.
Pada 1978, Lies memutuskan untuk merantau ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah di Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Teologi Islam di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah. Ia kemudian melanjutkan studi magisternya pada 1999 di bidang Antropologi Kesehatan, University of Amsterdam.
Selama melanjutkan studinya, Lies berkenalan dengan para peneliti perempuan dan aktivis yang membuatnya belajar lebih dalam tentang tema-tema gender dan feminisme. Sosok-sosok yang berhasil mendorongnya adalah Martin van Bruinessen yang merupakan seorang peneliti Indonesia dari Belanda dan aktivis perempuan seperti Saskia Wieringa, Mies Grijns, dan Julia Suryakusuma.
Dalam buku Potret Perempuan Muslim Progresif Indonesia (2017), Neng Dara Affiah menuliskan bahwa Lies Marcoes Natsir adalah perempuan yang masuk ke dalam aktor penggerak organisasi Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).
Predikat tersebut disandang Lies karena ia adalah pencetus lahirnya program fiqh-an-Nisa di LSM yang aktif mempromosikan kesehatan reproduksi perempuan dan wacana Hak Asasi Manusia pada komunitas Muslim tersebut.
Saat ini, Lies aktif berkegiatan di Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), sebuah lembaga penelitian yang digagas para santri dan tokoh pesantren Cirebon. Organisasi tersebut melaksanakan kegiatan berdasarkan visinya yaitu memproduksi pemikiran kritis tentang keislaman di Indonesia dan perubahan sosial yang berpihak pada kaum marjinal. Saat ini, Lies adalah direktur eksekutif di Rumah KitaB.
Fiqh-an-Nisa yang digagas Lies berfokus pada teologi perempuan dengan mengembangkan isu-isu kesehatan dan hak-hak reproduksi perempuan dalam Islam. Advokasi hak-hak perempuan dikembangkan melalui fiqh-an-Nisa menargetkan kelompok yang disasar meliputi juru dakwah (muballigoh), guru agama (ustadzah), pengasuh pondok pesantren, dan organisasi perempuan Islam.
Fokus Lies pada Islam dan gender tidak lepas dari latar belakang keluarga dan minatnya yang besar terhadap ilmu sosial. Lies kecil tumbuh di kota Banjar, Jawa Barat bersama kedua orang tua dan sembilan saudaranya.
Sang ibu adalah anggota Aisyiyah yang merupakan kelompok sayap perempuan Muhammadiyah. Sedangkan sang ayah datang dari keluarga Islam tradisional yang kemudian turut berkecimpung di kegiatan dalam lingkup Muhammadiyah.
Perempuan dan Islam Adalah Dua Hal yang Tak Terpisahkan
Lies menyatakan bahwa Islam yang tumbuh di dalam tradisi budaya Indonesia sangat berbeda dengan Islam di wilayah lainnya, sebagai misal Islam di Afrika atau Afghanistan. Lies membagi Islam di Indonesia sebagai agama yang tumbuh dalam dua keping lahan.
Pertama, lahan perlawanan terhadap kolonialisme. Latar sejarah ini membuat Islam menjadi “Islam kiri’ karena adanya perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan. Kedua, kultur Indonesia yang sangat unik dari masyarakat agraris, pedagang, dan kelas sosial yang dipengaruhi oleh kolonialisme dan menjadi elite sekuler.
Keunikan tersebut memberi ruang, tempat, dan posisi yang bagus pada perempuan dibandingkan di wilayah-wilayah Islam lain di seluruh belahan dunia. Karena itulah Islam di Indonesia adalah Islam jalan tengah atau moderat yang cukup memberi ruang pada pemahaman yang inklusif.
Karena itu jugalah kesempatan perempuan untuk mengeksplorasi diri dan berkiprah di ruang publik menjadi cukup besar. Hal ini juga didukung pula oleh kultur masyarakat Indonesia yang memberi tempat bagi perempuan untuk berperan di bidang apa pun, terutama di sektor-sektor informal.
Indonesia sebagai negara demokrasi yakni gabungan antara pengalaman masa lalu, Islam moderat, dan kultur orang Indonesia bisa menjadikan perempuan sebagai penentu arah Islam di masa depan. Jika perempuannya terdidik, jika perempuannya memperoleh ruang-ruang yang baik untuk menginterpretasi dan memaknai teks suci, Indonesia akan menjadi negara yang luar biasa.
Sayangnya, saat ini isu agama kerap menjadi pembenaran tindakan kekerasan pada perempuan. Posisi perempuan justru semakin terpinggirkan saat berhadapan dengan agama. Saat menggunakan agama sebagai pembenaran, perempuan hanya menjadi elemen yang dikontestasikan sebagai bagian dari demokrasi dan dukungan politik.
Sebagai misal, Lies menyebutkan bahwa anggapan perempuan tidak boleh muncul saat Megawati Soekarnoputri mencalonkan diri menjadi presiden Indonesia. Saat itu, semua orang kembali mengingat pada pandangan konvensional yang bersumber dari hadis yang mengatakan bahwa sebuah negara akan hancur jika dipimpin oleh seorang perempuan.
Padahal, faktanya, perempuan bisa berkarir di ruang publik, menjadi pemimpin, bahkan menjadi hakim. Sayangnya, saat ada peluang bagi perempuan untuk bisa menjadi pemimpin, tiba-tiba banyak orang yang mengingat teks dan pandangan tersebut terus dikuatkan.
Apa yang menimpa Megawati terjadi pula di masa kini. Menurut Lies, Indonesia sedang berhadapan dengan masyarakat teks yang berpedoman pada fikih. Padahal sebelumnya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat konteks.
Saat ini, masyarakat teks memiliki kepentingan politik yang kawin dengan masyarakat teks internasional, transnasional, dan fundamentalisme. Perkawinan tersebut melahirkan ide merumahkan perempuan, menganggap perempuan harus dikerudungi, dan ruang publik bukan ruang perempuan.
Lies kemudian membagi isu yang membutuhkan kerja sama di antara para aktivis perempuan Islam. Pertama, tentang penerimaan perempuan secara riil di ruang publik. Kemudian, masalah yang dihadapi perempuan akibat kondisi sosiokultural dan perubahan ekonomi juga harus menjadi perhatian, salah satunya adalah semakin naiknya angka perkawinan anak.
Selama ini, masalah perkawinan anak kerap dibaca menurut kacamata hukum. Padahal aspek hukum dalam perkawinan anak hanya puncak persoalan, sedangkan masalah besar lain yang justru menjadi penyebab utama malah tak ditangani.
Lies menyatakan, “persoalan kultural yakni perpecahan keluarga ekonomi sejak tanah hilang di desa dan orang-orang bermigrasi, perempuanlah yang paling terkena dampaknya. Ada persoalan adat, persoalan korupsi, ersoalan interpretasi agama, persoalan hubungan kota dan kampung, kesemuanya adalah persoalan dengan isu yang besar. Persoalan-persoalan tersebut kemudian direduksi dan menjadi masalah besar. Artinya, masalahnya adalah masalah intelektual dalam membaca realitas. Permasalahan intelektual itu dipengaruhi oleh munculnya masyarakat teks.”
Lies menambahkan, upaya memperbaiki kualitas kehidupan perempuan wajib diusahakan karena cita-cita Islam adalah kesetaraan. Termasuk tentang kelas, warna kulit, gender, situasi status sosial dan diperjuangkan oleh Nabi Muhammad Saw. ke dalam nilai-nilai universal.
Dahulu, masyarakat pra-Islam hanya mengenal laki-laki dan tidak merekognisi perempuan. Saat Islam berkembang, baik ayat-ayat dalam Al-Qur’an dan di banyak hadis meletakkan perempuan secara setara.
“Kita masih berada di sini, kiblatnya masih laki-laki, kadang-kadang laki-laki membesar perempuan mengecil, kadang-kadang bisa setara, tapi tidak bisa sebaliknya. Jadi selalu ruang itu, terutama ruang publik, perempuan kalau dari ruang domestik ke ruang publik itu kayak penumpang gelap, kadang-kadang diterima, kadang-kadang enggak. Tapi apa sebenarnya cita-cita Islam itu menuju ke kesetaraan,” jelas Lies sebagaimana dilansir dari Tirto.id.[]