BincangMuslimah.Com – Cukup menarik membicarakan tentang tanah Aceh. Selain sebagai wilayah penyebaran Islam pertama kali di Indonesia dan pernah menjadi kerajaan Islam terbesar di Asia Tenggara, ternyata, Aceh juga merupakan dianggap tidak janggal dalam membuka peluang peran perempuan untuk menjadi seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.
Di sana, kedudukan perempuan disetarakan dengan laki-laki. Oleh karena itu, tidak heran jika muncul tokoh perempuan yang memainkan peran penting di tanah Aceh yaitu sebagai pemimpin pemerintahan sekaligus sebagai pahlawan. Salah satunya adalah Laksamana Malahayati.
Laksamana Malahayati pemimpin Armada Inong Balee pada masa Sultan al-Mukammil (1589-1604). Armada Inong Balee merupakan perkumpulan prajurit yang terdiri dari janda-janda prajurit yang gugur dalam pertempuran laut di Teluk Aru. Berkali-kali Armada Inong Balee mengikut pertemuran di Selat Malaka dan pantai-pantai Timur Sumatera. Marie van Zuchtelen dalam karyanya yang berjudul Vrowlijke Admiral Malayati menegaskan sangat memuji-muji peran Laksamana Malahayati dalam memimpin pasukan Armada Inong Balee.
Singkat cerita ketika ada dua kapal besar dari Belanda terlihat akan merapat ke Pelabuhan Aceh pada tahun 1599, yang dinahkodai oleh Freederik dan Cornelis de Houtman. Semula kedatangan mereka disambut dengan baik. Akan tetapi, selang berapa waktu Cornelis meninggal dalam pertempuran Laksmana Malahayati.
Laksamana Malahayati Keturunan Kerajaan Berjiwa Panglima
Pada karya Rusdi Sufi, Wanita Utama Nusantara dalam Lintas Sejarah, Laksamana Malahayati selain sebagai sosok perempuan yang cerdas serta banyak akal dalam menyusun strategi perang, ternyata beliau juga merupakan seorang putri dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat (1513-1530), seorang pendiri Kesultanan Aceh Darusaalam otomatis merupakan bagian keluarga inti kerajaan.
Meskipun Malahayati terlahir dari kalangan bangsawan, tidak menjadikan Malahayati menjadi sosok perempuan manja dan semaunya, beliau dari kecil tumbuh dalam lingkaran cita-cita dan impian yang begitu tinggi. Keberanian dan juga kecerdasan semakin berkembang dan mampu memberikan kontribusi besar untuk perkembangan Aceh.
Sejak kecil Malahayati berkeinginan menjadi panglima laut seperti ayah dan kakeknya yang pernah menjabat sebagai laksamana angkatan laut Kesultanan Aceh. Maka dengan itu, akhirnya hingga beranjak dewasa, Malahayati memutuskan memilih berkecimpung di jalur militer. Kemudian beliau bersekolah militer di Ma’had Baitul makdis, sebuah lembaga pendidikan akademi ketentaraan Kesultanan Aceh Darussalam. Lulus dengan menyandang predikat terbaiknya, tidak diragukan lagi bakat Malahayati memang pada jiwa tentaranya.
Jiwa Heroik Laksmana Malahayati Bersama Pasukan Inong Balee
Pada masa Sultan Alaidin Riayatsah Al-Mukammil (1589-1604), Laksamana Malahayati resmi menjadi perempuan berpangkat laksamana (admiral) di Kerajaan Aceh, Malahayati juga diamanahi menjadi seorang pemimpin armada laut serta pemimpin pasukan prajurit perempuan Inong Balee.
Menurut Rusdi Sufi, Wanita Utama Nusantara dalam Lintas Sejarah, pada saat pembentukan Inong Balee sesuai permintaan Al-Mukammil, bahwa Malahayati telah bersumpah di hadapan Sultan atas nama Tuhan akan berjuang hingga titik darah penghabisan melawan musuh yang berani menyerang kerajaan Aceh. Hingga Akhirnya Malahayati membuktikan omongannya, bahwa beliau gugur pada saat pertempuran melawan bangsa Portugis yang pada saat itu dimenangkan oleh Aceh.
Kekuatuan heroik Malahayati mulai memasuki ujian berat pada saat menjalankan tugas militernya adalah ketika pertama kalinya terjadinya hubungan antara kerajaaan Aceh dengan Belanda. Pada tahun 1599, dua kapal dari Belanda datang menghampiri pelabuhan Aceh, kedua kapal tersebut dipimpin oleh dua saudara yang bernama Cornelis de Houtman dan Fredik de Houtman. Awalnya kedua kapal tersebut datang disambut dengan hangat oleh kerajaan Aceh, karena pihak Aceh mengharapkan hubungan baik dalam hal perkembangan perekonomian tanah Aceh, khususnya hasil bumi Kerajaan Aceh pada saat itu yaitu lada atau bumbu rempah-rempahnya.
Selang beberapa lama, Malahayati mendengar niat buruk dari bangsa Belanda tersebut, Malahayati langsung bertindak sigap untuk menggagalkan niat buruh bangsa Belanda. Akhirnya Malahayati berhasil menggagalkan niat pengacauan dua saudara dari Belanda, Corelis de Hautman tewas terbunuh oleh tangan Malahayati dengan posisi di atas gelada kapal, sedangkan Freederick de Houtman berhasil dijebloskan ke dalam sel tahanan Kerajaan Aceh.
Karena pasukan Inong Balee ini semakin banyak, yang awalnya jumlahnya mencapai 1000 orang kemudian menjadi 2000 orang, pemerintah Aceh bersedia membuat sebuah bangunan benteng sebagai tempat berkumpulnya pasukan prajurit perempuan yang diberi nama benteng Kuto Inong Bale, sampai sekarang masih bisa ditemukan di Teluk Krueng Raya, deket pelabuhan Malahayati.
Selain berhasil menghidupkan pasukan prajurit Inong Balee, Malahayati juga memiliki kepiwaian dalam strategi kenegaraan, ketika negeri Belanda berusaha memperbaiki hubungan dengan Kerajaan Aceh, datanglah utusan Belanda yang bernama Sir James Lancaster datang ke Aceh pada tahun 1602 M. Membawa surat istimewa dari Raja Maurits, pemimpin negeri Belanda pada saat itu. Kemudian Malahayati ditunjuk oleh Sultan al-Mukammil untuk menghadapi utusan Belanda tersebut. Perundingan pun memberikan hasil yang baik, yaitu dibukanya kedutaan Aceh di negeri Belanda dengan Duta Besar pertama pada saat itu yaitu Abdul Hamid. Wallahu a’lam
2 Comments