BincangMuslimah.Com – Saat tengah berselancar di media sosial, lewat di beranda seorang perempuan yang melaporkan pelaku ‘cat calling’ ke pihak berwajib. Pelecehan ini dilakukan oleh pekerja bangunan yang tengah beraktivitas di lingkungan tempat tinggal korban. Satu, dua kali, korban dengan berani menegur tindakan pelaku. Jika perbuatan yang dilakukan membuat dirinya tidak nyaman, sekaligus merendahkan harkat martabatnya.
Namun teguran tersebut tidak digubris. Masih di video yang sama, korban akhirnya melaporkan ke pihak berwajib dan kabar baiknya, ditanggapi dengan serius. Walau peristiwa ini amat disayangkan, setidaknya ada dua hal positif di dalamnya. Pertama, masyarakat kita mulai berani speak up dan melapor saat menjadi korban pelecehan seksual.
Perlu diketahui, jika bukan perkara mudah melaporkan kasus pelecehan seksual, terlebih jika korban sendiri yang melapor. Trauma, rasa takut dan malu kerap menjadi penghalang bagi korban untuk berani memperkarakan pelaku. Kabar baik kedua, pihak berwajib menerima dan menindak pelaku. Karena masih ada kasus pelecehan seksual, bahkan yang berbalut kekerasan, tidak ditangani dengan serius. Walau mungkin hanya ‘oknum’.
Sayangnya, saat fokus dialihkan ke kolom komentar, masih ada hal tidak mengenakkan yang ditemukan. Lebih dari satu orang, menjadikan kasus ini sebagai lelucon, seperti alah, kalau orangnya kaya, ganteng, pasti mau-mau saja. Atau, kalau yang ngegoda cakep, pasti malah seneng dan sebagainya.
Ada pula yang menganggap jika tindakan yang dilakukan korban berlebihan, alias lebai. Di tengah kesadaran masyarakat perihal menghormati batas pribadi dan orang lain, masih saja ada menjadikan kasus pelecehan seksual sebagai lelucon.
Pelecehan Seksual Masih Jadi Candaan
Catcalling, siulan, panggilan, komentar bernada seksual di jalanan, bukanlah pujian. Tapi entah kenapa, sampai hari ini masih banyak yang menganggapnya hal biasa, bahkan lucu. Lebih parah lagi, ada yang bilang, “Kalau yang ngelakuin ganteng, pasti seneng, kan?”
Komentar seperti itu menyiratkan bahwa pelecehan bisa dibenarkan asal pelakunya menarik secara fisik. Seolah-olah rasa tidak nyaman dan ketakutan yang dirasakan korban bisa diabaikan hanya karena standar ketampanan. Padahal, inti dari pelecehan adalah tindakan yang melanggar batas—bukan siapa yang melakukannya.
Catcalling bukan bentuk apresiasi. Itu bentuk dominasi. Tindakan yang membuat orang, terutama perempuan merasa diawasi, diobjektifikasi, dan tidak aman di ruang publik. Tapi ketika hal seperti ini masih dijadikan bahan bercanda, disamarkan dengan istilah “goda-godain aja kok”, kita sedang membiarkan budaya pelecehan tumbuh subur.
Lebih buruk lagi, tidak sedikit candaan semacam ini membuat korban ragu untuk bicara. Karena takut dihakimi. Takut dibilang lebay. Atau malah disalahkan karena dianggap “terlalu sensitif”.
Tentu, berikut narasi yang menyoroti bahwa masih banyak masyarakat yang belum menyadari bahwa tindakan seperti catcalling adalah bentuk pelecehan seksual:
Sampai hari ini, masih ada orang yang belum benar-benar memahami apa itu pelecehan seksual. Banyak yang mengira pelecehan hanya sebatas sentuhan fisik atau tindakan ekstrem. Padahal, komentar bernada seksual, siulan, panggilan seperti “cantik, senyum dong”, atau “mampir yuk” di jalanan—semuanya termasuk pelecehan. Itulah yang disebut catcalling.
Masalahnya bukan hanya pada pelaku, tapi juga pada kurangnya pemahaman masyarakat soal batasan, persetujuan (consent), dan rasa aman. Banyak yang belum sadar bahwa setiap orang berhak atas ruang pribadinya, bebas dari komentar, siulan, atau tatapan yang mengobjektifikasi tubuh mereka.
Lantas kapan suatu tindakan disebut pelecehan seksual?
Pelecehan seksual adalah saat sebuah tindakan bersifat seksual atau memiliki konotasi seksual. Dilakukan tanpa izin atau keinginan dari pihak yang menjadi sasaran. Dan, menyebabkan ketidaknyamanan, rasa takut, malu, atau terancam. Bisa berupa kata-kata (verbal), gestur atau tatapan (non-verbal), bahkan tindakan fisik.
Misalnya, catcalling atau siulan, panggilan “cantik”, komentar tentang tubuh yang sering muncul di ruang publik. Meskipun pelaku mungkin menganggapnya hanya “godaan” atau “sekadar bercanda”, jika korban merasa terganggu, takut, atau malu, itu sudah termasuk pelecehan seksual.
Selain itu, menurut kebijakan resmi dari World Health Organization (WHO) tahun 2023, pelecehan seksual adalah segala bentuk perilaku bernuansa seksual yang tidak diinginkan dan berpotensi menyinggung atau mempermalukan orang lain.
Tindakan ini dianggap pelecehan jika mengganggu aktivitas seseorang, menciptakan lingkungan yang tidak aman, tidak nyaman, atau terasa mengancam. Baik itu di tempat kerja, ruang publik, atau situasi sosial lainnya.
Penting untuk diketahui bahwa pelecehan seksual tidak hanya berupa sentuhan fisik. WHO menegaskan bahwa perilaku ini bisa dalam bentuk:
- Verbal: komentar, siulan, rayuan, atau ucapan bernuansa seksual
- Non-verbal: tatapan, gerakan tubuh, atau isyarat yang mengandung muatan seksual
- Fisik: sentuhan yang tidak diinginkan
- Tertulis dan digital: pesan teks, gambar, email, atau komunikasi elektronik yang bersifat seksual
Selain itu, pelecehan bisa terjadi antara siapa saja. WHO menekankan bahwa kunci utama dalam menentukan apakah suatu tindakan tergolong pelecehan seksual adalah ketidakinginan (unwelcome) dari pihak yang menjadi sasaran, serta dampak negatif yang ditimbulkan seperti rasa malu, terintimidasi, atau tidak nyaman.
“Any unwelcome conduct of a sexual nature that might reasonably be expected or be perceived to cause offense or humiliation… may involve any conduct of a verbal, non‑verbal or physical nature, including written and electronic communications.”— WHO Policy on Preventing and Addressing Sexual Misconduct (2023).
1 Comment