BincangMuslimah.Com – Setelah kita mengamati, sudah tidak mengherankan jika kita melihat orang-orang yang alim atau orang-orang yang mumpuni dalam beragama baik di sekitar kita maupun di media sosial. Seringkali, orang-orang mengkoar-koarkan betapa pentingnya seseorang yang pandai dalam ilmu agama, akan tetapi alpa untuk menggaungkan betapa pentingnya akhlak yang baik. Mirisnya, orang-orang yang mengaku pandai beragama, dalam realitanya tidak mampu memberikan contoh yang baik.
Pada dasarnya, akhlak bukan hanya diperuntukkan anak-anak kepada seseorang yang lebih dewasa atau tua saja. Akan tetapi, akhlak diperuntukkan semua orang kalangan, baik yang anak-anak maupun dewasa, orang yang berilmu maupun orang awam, orang yang mempunyai jabatan maupun tidak.
Fenomena orang-orang lebih mementingkan ilmu agama dan mengesampingkan akhlak baik bukan menjadi hal yang baru lagi di sekitar kita. Berangkat dari fenomena tersebut, ketua Majelis Hukama Muslimin sekaligus Imam Besar Al-Azhar, Syekh Ahmad Thayyib turut menyuarakan pendapat akan hal ini. Beliau mengungkapkan bahwa Islam terdiri dari beberapa aspek yaitu, akidah, ibadah dan hukum fikih yang erat kaitannya dengan akhlak.
Sejatinya, ajaran Islam dan aspek-aspek yang meliputinya saling mendukung, melengkapi dan tidak saling bertentangan. Hal ini pun didukung dengan keselarasan dalam teks-teks agama, baik Alquran maupun hadis. Seperti yang tertulis dalam surah Al-Ankabut ayat45,
إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
Artinya: Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa ibadah shalat mencegah dari perbuatan yang keji dan mungkar. Artinya, ketika seseorang shalat, dia harus mempunyai keimanan dan kesucian hati yang didapat dengan akhlak yang baik. Ketika seseorang mendirikan shalat, sudah selayaknya pun menambah ketakwaan, yang mana ketakwaan tersebut bisa didapatkan seseorang ketika sudah mengumpulkan akhlak terpuji. Hal tersebut juga selaras dengan ayat Alquran yang menjelaskan zakat.
خُذْ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S At-Taubah: 103).
Dalam ayat tersebut, bahwasannya zakat merupakan kegiatan mensucikan diri. Sucinya seseorang setelah zakat yaitu bebas dari amalan atau perbuatan yang buruk. Sedangkan lafal تُزَكِّيهِم berarti memenuhi diri dengan akhlak terpuji.
Dari dua ayat Alquran di atas, bahwasannya Allah menunjukkan secara gamblang akhlak yang mulia dijadikan sebagai dasar penegak rukun Islam, baik shalat, puasa, zakat maupun haji. Orang yang ahli dalam beribadah dan berakhlak mulia diumpamakan seperti dua sisi uang logam, yang mana tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya, kedua sisi tersebut harus berjalan secara beriringan.
Kesimpulannya, ilmu agama dan akhlak adalah dua hal yang saling beriringan dan sama-sama harus diutamakan. Seseorang yang pandai dalam ilmu agama akan tetapi tidak berakhlak baik sama dengan orang yang kehilangan arah. Sedangkan orang yang berakhlak baik tanpa berilmu agama seperti orang yang sia-sia.