BincangMuslimah.Com – Memperingati Maulid Nabi sering menimbulkan pro kontra. Ada yang mengatakan bahwa Maulid Nabi adalah bid’ah dan sesat. Apakah benar jika kita memperingati Maulid Nabi berarti kita sedang menuju kesesatan?
Allah Ta’ala dalam Alquran berfirman,
وَمَنْ يُّشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهٖ مَا تَوَلّٰى وَنُصْلِهٖ جَهَنَّمَۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًا
Artinya: Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali. (Q.S. An-Nisa’: 115)
Ayat di atas menunjukkan bahwa orang yang menginginkan keselamatan haruslah mengikuti dan menetapi sabilul mu’minin, yakni perkara yang disepakati oleh ulama kaum muslimin. Ayat di atas juga menunjukkan bahwa orang yang berpaling dari jalan kaum muslimin maka balasannya adalah neraka yang merupakan seburuk-buruk tempat kembali. Dalam hadis nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud,
مَا رَءَاهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَءَاهُ الْمُسْلِمُوْنَ قَبِيْحًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ قَبِيْحٌ
Artinya: Perkara yang dinilai dan disepakati sebagai perbuatan yang baik oleh kaum muslimin, maka ia menurut Allah baik, dan sesuatu yang dinilai dan disepakati sebagai perkara yang buruk oleh kaum muslimin, maka ia menurut Allah buruk. (HR. Ahmad)
Termasuk perkara yang dinilai baik oleh kaum muslimin dari masa ke masa dan disepakati sebagai sesuatu yang disyariatkan ialah merayakan Maulid Baginda Nabi Muhammad Saw. Memperingati Maulid termasuk kebaikan yang diganjar pahala yang agung. Karena dengan peringatan Maulid, seseorang menampakkan suka cita dan kebahagiaan atas kelahiran baginda Nabi. Maulid Nabi, meskipun tak pernah dilakukan pada masa Nabi, namun ia termasuk bid’ah hasanah yang disepakati kebolehannya oleh para ulama.
Perayaan Maulid pertama kali dilakukan pada awal abad ke 7 Hijriah oleh raja Al-Muzhaffar, seorang raja yang mujahid, berilmu dan bertakwa. Ia adalah penguasa Irbil, salah satu wilayah di kota Irak. Pada peringatan Maulid yang ia laksanakan, ia mengundang banyak para ulama di masanya. Semua ulama tersebut menganggap baik serta tidak mengingkari apa yang dilakukan oleh raja Al-Muzhaffar.
Pasca sepeninggal raja Al-Muzhaffar juga tidak ada seorang pun di antara para ulama tersebut yang mengingkari terhadap perayaan Maulid. Bahkan Imam Al-Hafizh Ibnu Dihyah menulis karangan khusus tentang Maulid. Perayaan maulid juga dinilai bagus oleh Imam Al-Iraqi, Ibnu Hajar, Imam As-Suyuti dan lainnya. Sampai kemudian sekitar 2 abad yang lalu, muncul sekelompok orang yang mengingkari perayaan Maulid dengan keras. Mereka menentang perkara yang dinilai baik oleh umat Islam dari masa ke masa selama berabad-abad lamanya.
Mereka berasumsi bahwa peringatan Maulid adalah bid’ah yang sesat. Argumen yang mereka pakai adalah hadis yang mereka tempatkan bukan pada tempatnya, yaitu hadis,
كُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
Artinya: Setiap perkara baru (yang tidak pernah dilakukan pada masa Nabi) adalah bid’ah. (H.R. Ahmad)
Hadis di atas memang shahih. Namun, maknanya bukanlah seperti yang mereka katakan. Ulama ahli Hadis menjelaskan bahwa makna hadis di atas ialah perkara yang dilakukan sepeninggal Nabi adalah bid’ah yang buruk dan tercela kecuali perkara yang sesuai dengan syariat.
Oleh karena itu, kata كُلّ (semua) dalam hadis tersebut maknanya bukanlah “semua tanpa terkecuali”, tapi “al-aghlab” (sebagian besar). Hal ini sebagaimana firman Allah yang mengisahkan angin yang menjadi azab bagi kaum ‘Ad,
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍۢ بِاَمْرِ رَبِّهَا
Artinya: Angin itu menghancurkan segala sesuatu atas perintah Tuhannya. (Q.S. Al-Ahqaf: 25)
Pada realitanya, angin tersebut tidak menghancurkan segala sesuatu (Tidak menghancurkan bumi dan langit). Namun, angin tersebut hanya menghancurkan kaum ‘Ad dan harta benda mereka. Memang Allah menggunakan redaksi “semua”, akan tetapi yang dimaksud adalah “sebagian”.
Dalam hadisnya Rasulullah bersabda,
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ
Artinya: Barangsiapa membuat perkara baru yang baik dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa berkurang pahala mereka sedikit pun. (HR. Muslim)
Oleh karenanya, Imam Syafi’i dalam qaulnnya membagi bid’ah menjadi dua macam sebagaimana berikut,
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ
Bid’ah itu ada dua macam: Pertama, Bid’ah Mahmudah (terpuji). Kedua, Bid’ah Madzmumah (tercela), jadi bid’ah yang sesuai dengan sunnah adalah terpuji dan bid’ah yang menyalahi sunnah adalah tercela. (Qaul Imam Syafi’i ini diriwayatkan oleh Imam Baihaqi)
Hal yang biasanya dilakukan pada perayaan maulid tiada lain adalah hal-hal yang disyariatkan dan dianjurkan untuk dikerjakan, seperti membaca Alquran, dzikir, membaca shalawat Nabi, melantunkan puji-pujian kepada Nabi Saw, menjelaskan sirah Baginda Nabi saw. serta kebaikan-kebaikan Beliau lainnya.
Semua hal itu merupakan kebaikan-kebaikan yang dianjurkan dalam Alquran dan Sunnah. Hal-hal itu jika dikerjakan sendiri-sendiri adalah kebaikan, namun jika dikerjakan dalam satu rangkaian kegiatan yang diberi nama “Peringatan Maulid”, lantas hukumnya menjadi haram dan bid’ah yang menjerumuskan pelakunya ke neraka?
Imam As-Suyuti ketika ditanya tentang peringatan Maulid Nabi, beliau menjawab,
أَصْلُ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ
Artinya: Pada dasarnya perayaan Maulid, berupa berkumpulnya orang, membaca Al-Qur`an, meriwayatkan hadis-hadis tentang permulaan sejarah Nabi dan tanda-tanda yang mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu dimakan dan bubar setelahnya tanpa ada tambahan-tambahan lain, adalah termasuk bid’ah hasanah (perkara yang baik, meskipun tidak pernah dilakukan pada masa Nabi) yang pelakunya akan memperoleh pahala yang sangat besar, karena itu merupakan perbuatan mengagungkan Nabi dan menampakkan rasa gembira dan suka cita dengan kelahiran Nabi yang mulia. (Husnul Maqshid fi ‘Amalil Maulid, hal. 53).
Sehingga kita tahu bahwa memperingati Maulid Nabi bukan berarti kita sedang menuju kesesatan, melainkan perkara yang akan menambah kecintaan kita pada Nabi Muhammad.
Semoga bermanfaat, Wallahua’lam.