BincangMuslimah.Com – Manusia, ketika di satu sisi ia adalah seorang hamba yang secara individual akan bertanggung jawab atas semua perbuatannya kepada Tuhan dan menuai hasil amal baiknya, maka di sisi yang berbeda manusia juga sebagai makhluk sosial yang secara fitrah akan membutuhkan sesamanya di kehidupan bermasyarakat.
Oleh karena itu, dalam kehidupan sosial, ada hak-hak yang pantas diperjuangkan dan kewajiban-kewajiban yang mesti ditunaikan. Segala aturan tentang kehidupan sosial manusia baik itu hak maupun kewajiban yang mengarahkannya ke taraf hidup yang lebih baik tersebut, dikenal dengan nama ilmu politik.
Islam, tak tinggal diam. Selain sebagai sebuah agama yang menuntun manusia mengenal Tuhannya lewat ritual-ritual peribadatan yang sakral, maka Islam pun dimaknai sebagai agama yang memuat dasar-dasar yang dijadikan pijakan manusia untuk mengatur kehidupan sosial bermasyarakat. Apa gunanya agama jika ia tidak dapat berdialektika dan membaur dengan realitas manusia dalam bermasyarakat dengan sesamanya. Sebaliknya, apa gunanya agama jika ia membiarkan manusia terkungkung dalam kedunguan dan tidak mampu beranjak ke taraf hidup yang lebih baik.
Dasar-dasar Islam yang mengatur kehidupan sosial manusia, paling kentara terlihat dari gerakan perjuangan Nabi Muhammad. Sejak Nabi Muhammad di awal dakwahnya memperjuangkan hak kebebasan berpikir, kebebasan untuk beragama, hingga periode Madinah Nabi Muhammad mampu membangun kuasa politik pertama bagi umat muslim. Berikut ada tiga nilai utama yang diterapkan di perpolitikan era Nabi Muhammad.
Mencabut ideologi kesukuan bangsa Arab
Semula bangsa Arab memegang erat ideologi kesukuan. Mereka hidup di bawah semboyan, “Tolonglah saudaramu baik dia berbuat zalim maupun dizalimi.” Maka tak jarang terjadi perseteruan antar suku akibat persoalan kecil. Apalagi dalam persaingan memperebutkan martabat dan kepemimpinan, seringkali mengakibatkan terjadinya perang antar suku.
Oleh sebab itu, masing-masing suku Arab berjibaku untuk membangun kekuatan dan menunjukkan kedaulatannya supaya disegani oleh suku lain. Seringkali upaya menunjukkan kedaulatan tersebut ditampilkan dengan cara merendahkan dan bahkan menganiaya orang-orang yang lemah di pandangan mereka.
Nabi Muhammad sendiri kala itu bak superhero yang datang untuk menyelamatkan siapa saja yang tersakiti oleh kekejaman dunia. Terutama bagi kalangan budak dan fakir miskin. Nabi Muhammad berusaha menerapkan paham kesederajatan dalam laku sosial. Nabi Muhammad banyak memerdekakan budak, duduk dan memberi makan fakir miskin, bahkan menikahkan Zainab dengan Zaid seorang mantan budak.
Kaum Quraisy sebagai suku terkuat di Arab merasa terancam dengan laku Nabi Muhammad. Hal baru yang dibawa Nabi Muhammad dinilai dapat meluluh-lantahkan stabilitas politik dan mencabut ideologi kesukuan yang sudah sekian lama mentradisi di bangsa Arab. Oleh sebab itulah, sekalipun Nabi Muhammad bagian dari kaum Quraisy, mereka tidak ragu untuk mengancam bahkan berkali-kali berupaya membunuhnya.
Tidak seperti superhero di film-film, menyikapi kecaman dan perilaku buruk kaum Quraisy Nabi Muhammad justru membalasnya dengan doa baik. Ia tidak pernah berkata buruk, memaki-maki, atau bahkan melukai balik kaum Quraisy. Sikap Nabi yang demikianlah akhirnya mampu meluluhkan hati bangsa Arab, sehingga perlahan mereka bergabung dengan Islam. Tidak lagi membawa bendera kesukuan, tapi bendera Islam yang berpegang teguh pada kesetaraan manusia.
Menerapkan toleransi di tengah keberagaman
Setelah lima tahun berada di bawah tekanan kaum Quraisy, sebagai upaya penyelamatan, Nabi Muhammad meminta para sahabat untuk berhijrah ke Ethiopia. Saat itu pemimpinnya adalah seorang Nasrani yang dikenal keadilannya. Hal ini tentunya bisa menjadi bukti historis bahwa satu-satunya alasan untuk menghindari hidup berdampingan dengan kelompok yang berbeda, adalah ketika hak-hak kemanusiaan direnggut oleh mereka. Sejatinya, umat Islam bisa hidup rukun berdampingan dengan umat Kristiani.
Jika diamati dengan seksama, potret laku sosial umat Islam yang mengutamakan prinsip toleransi terasa begitu kental di era Nabi Muhammad. Begitulah salah satu nilai yang diterapkan dalam perpolitikan Nabi Muhammad. Umat Islam tidak pernah mengawali perseteruan apapun atas dasar perbedaan. Mereka juga tidak pernah berlaku buruk kepada siapa pun yang tidak sepakat dengan mereka. Bahkan mereka tidak enggan untuk meminta perlindungan dari umat lain saat jiwa mereka terancam. Kenyataan ini selayaknya menjadi cermin bagi umat Islam sekarang untuk menyudahi eksklusifitas dirinya terhadap pihak lain yang berbeda dan mau mengupayakan perbaikan dengan berkompromi.
Memilih pejabat yang cakap berpolitik
Dr. Sa’duddin al-Hilali dalam bukunya al-Islam wa Insaniyyah al-Daulah mengatakan bahwa Islam waktu itu tidak melakukan perubahan di Madinah dalam bernegara. Nabi Muhammad hanya meneruskan perundangan-undangan sebelumnya dan membawa nilai-nilai toleran dan anti kesukuan Islam dengan menyaudarakan komponen masyarakat Madinah; Muhajirin, Anshar Aus, Khazraj, Yahudi dan Nasrani. Satu hal yang secara signifikan dilakukan oleh Nabi Muhammad adalah menempatkan beberapa muslim yang cakap berpolitik sebagai praktisi yang menjalankan undang-undang tersebut. Maka terbuktilah keberhasilan mereka, sebab sifat amanah dan keahliannya, bukan karena keislamannya.
Nabi Muhammad tidak ingin menunjuk orang-orang yang tidak memiliki keahlian mengatur negara, sekalipun mereka adalah orang terbaik dari sisi keislamannya. Sebagai dalil, dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari diceritakan Sahabat Abu Dzar bertanya kepada Nabi Muhammad, mengapa beliau tidak mengangkatnya sebagai salah satu praktisi. Lalu beliau menjawab, “Engkau adalah orang yang lemah dalam urusan itu, dan sesungguhnya kepemimpinan itu sebuah amanah.” Kita tahu bahwa Abu Dzar adalah salah seorang sahabat yang taat dan terbaik dari sisi keislamannya.
Beberapa nilai yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad tersebut menjadi bukti nyata bahwa Islam pun mengatur kelangsungan berpolitik umat manusia. Yaitu dengan melepaskan bayang-bayang fanatisme kelompok, melebur menjadi satu di atas keberagaman individu dengan mengedepankan toleransi, dan dalam urusan pimpinan politik hanya orang-orang yang mampu mengurus negaralah yang berhak diangkat dengan melepaskan segala identitas keislamannya atau pun kesukuannya. Selayaknya hal ini bisa menjadi patokan kita dalam urusan politik, berupaya untuk tidak terjerumus dalam langkah politik yang absurd dan merugikan.