Ikuti Kami

Muslimah Talk

Dalam Bingkai Diskriminasi: Perempuan & Etnis Tionghoa di Indonesia

Dalam Bingkai Diskriminasi: Perempuan & Etnis Tionghoa di Indonesia
Freepik.com

BincangMuslimah.Com – Sepanjang perjalanan sejarah, perempuan selalu saja berada dalam posisi sebagai makhluk sekunder yang hanya menjadi bayang-bayang seorang laki-laki. Perempuan selalu hidup di bawah dominasi laki-laki bahkan terhegemoni dalam sebuah sistem bernama patriarki.

Sistem yang selalu menempatkan laki-laki sebagai manusia sempurna tak bercacat sedikitpun. Sistem yang demikian ini mengakibatkan paradigma timpang terhadap gender khususnya perempuan yang berujung pada diskriminasi.

Menjadi Kambing Hitam di Setiap Persoalan

Perempuan seolah selalu menjadi makhluk penghibur, pendamping dan pelayan bagi laki-laki. Peran perempuan hanya terbatas di wilayah dapur, sumur serta kasur. Bahkan seringkali tak melibatkan mereka dalam peristiwa penting seperti mengambil keputusan. Lebih ekstrim, mitosnya jika perempuan memimpin sebuah negeri maka  akan terdapat malapetaka yang besar.

Tak jauh berbeda dengan posisi perempuan, keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia selalu mendapatkan perlakuan diskriminasi. Sebagaimana Cendekiawan muslim Ayang Utriza Yakin, Ph.,D., menuturkan dalam sebuah pembukaan diskusi ilmiah yang diselenggarakan oleh Kayfa.id bekerjasama dengan Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), dan  Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta pada Minggu, 4 September 2022.

Diskriminasi etnis Tionghoa selalu menjadi kambing hitam dalam setiap persoalan yang ada di Indonesia, keberadaannya mendapat stigma negatif sebagai sumber masalah apapun. Demikian ini tentu saja menjadi hal yang berbahaya bagi keutuhan bangsa, terlebih menjelang pesta demokrasi Pemilu 2024 yang sarat akan isu sara dan politik identitas.

Apa jadinya jika seorang perempuan dengan etnis Tionghoa berada di Indonesia? Akankah mendapatkan posisi jatuh tertimpa tangga?. Selain terdiskriminasi karena dia seorang perempuan juga menganggap dia dari golongan minoritas yang masih asing dan pendatang di bumi pertiwi hingga saat ini.

Tentu saja keadaan ini adalah hal yang begitu menyedihkan. Bahkan jauh dari semboyan kebanggaan bangsa  Indonesia yang tertulis pada lambang negara, “Bhinneka Tunggal Ika”, meskipun berbeda etnis, suku, agama, golongan, ras tetap bersatu jua. Segala perbedaan apapun harusnya tak menjadikan masyarakat Indonesia tergerus dalam perilaku diskriminasi yang dapat menimbulkan perpecahan bangsa.

Awal Mula Tumbuhnya Benih Diskriminasi

Benih-benih diskriminasi di Indonesia sendiri berawal dari  kolonial Belanda yang memisahkan kategori non-pribumi berdasarkan prinsip rasial. Tokoh sejarawan, Didi Kwartanada saat menjadi pembicara dalam diskusi ilmiah oleh Kayfa.id mengatakan bahwa, pada masa kolonial Belanda terjadi kebijakan segregasi dalam lapisan masyarakat. Sebagaimana tertuang dalam UU Kolonial 1854 yang diperkuat dengan pasal 163 IS 192 membagi tiga kelas masyarakat menurut status hukum: Eropa, Timur Asing (mereka yang bukan Eropa maupun Pribumi), dan Bumiputera.

Bang Didi beranggapan bahwa sebutan Timur dengan penambahan diksi “Asing” dalam Undang-Undang Kolonial Belanda adalah hal yang “kurang ajar”. Sebab jika menilik sejarah yang ada mereka orang-orang Timur seperti Asia dan Timur Tengah datang ratusan tahun lebih dulu daripada Barat. Namun saat orang Barat berkuasa orang Timur mendapat label “Asing” yang seharusnya menyematkan label “Asing” tersebut kepada orang-orang Barat itu sendiri.

Baca Juga:  Film Bidaah: Hukum Meminum Air Basuhan Kaki Guru

Stigma Negatif dan Marjinalisasi

Diskriminasi terhadap Etnis Tionghoa kian parah dengan kebijakan Orde Baru berupa Inpres No. 14 tahun 1967 yang melarang semua atribut ke-Tionghoa-an hidup nyata dalam keseharian mereka. Melarang Rumah sakit menggunakan nama Tionghoa, sekolahan, atau bahkan rumah ibadah pun juga.

Meskipun Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sudah mengganti kebijakan Orde Baru berupa Inpres No. 14 tahun 1967 dengan Keppres No. 6 tahun 2000, namun lamanya durasi Orde Baru sampai 32 tahun mengakibatkan sikap diskriminasi terhadap Etnis Tionghoa masih terus dirasakan hingga hari ini.

Jika Bang Didi menempatkan posisi etnis Tionghoa pada masa kolonial sebagai “middlemen minority” yakni kaum minoritas yang memiliki fungsi sebagai mediator antara kelompok dominan (Kolonial Belanda) dan kelompok subordinat (pribumi). Maka pada saat ini, posisi etnis Tionghoa seakan-akan menempati posisi subordinat dibawah pribumi.

Mereka selalu mendapatkan diskriminasi, stigma negatif dan bahkan marjinalisasi. Padahal etnis Tionghoa di Indonesia adalah warga negara Indonesia (WNI). Seharusnya tidak ada pembeda antara Etnis Tionghoa, Etnis Jawa, Etnis Sunda, Etnis Makassar dan lain sebagainya, yang ada hanyalah warga negara Indonesia.

Keadaan kurang beruntung yang Etnis Tionghoa alami tentu saja senada dengan pengalaman perempuan. Mereka selalu menempati posisi subordinat serta mendapatkan perlakuan diskriminasi, stigma negatif, dan marginalisasi. Menjadi perempuan di Indonesia dengan sistem patriarkinya tentu sudah sangat berat apalagi ditambah seorang perempuan dengan etnis Tionghoa.

Diskriminasi Perempuan Etnis Tionghoa di Indonesia

Dalam sebuah catatan ilmiah Khanis Suvianita menyebutkan bahwa perempuan-perempuan Tionghoa harus menerima perjodohan/perkawinan paksa dari orangtuanya. Mereka harus diam dan menurut atas ketentuan yang dianggap baik oleh orangtuanya.

Bahkan dalam peristiwa yang lebih buruk lagi, peristiwa kerusuhan dan pemerkosaan mei 1998 terhadap perempuan Tionghoa merupakan  diskriminasi bertubi-tubi yang menempatkan perempuan Tionghoa pada “tiga level tingkatan” (triple discrimination) yakni, karena berjenis kelamin perempuan sehingga terdiskriminasi dengan anggapan makhluk yang lemah, dan tidak berguna, kemudian menjadi korban kejahatan dan terdiskriminasi karena beretnis Tionghoa.

Hal yang patut disayangkan adalah, pada hari ini masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak  mengetahui bagaimana berdarah-darahnya perjuangan Etnis Tionghoa dalam memperjuangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jangankan masyarakat Indonesia pada umumnya, keturunan Etnis Tionghoa sendiri pun masih banyak yang tidak mengetahui bagaimana kiprah dan sumbangsih nenek moyang mereka dahulu yang turut andil dalam perjuangan bangsa ini.

Andai saja jika mereka tahu sejarah yang sesungguhnya  tentang perjuangan Etnis Tionghoa sejak penjajahan Belanda hingga kemerdekaan Indonesia mungkin mereka akan berfikir ribuan kali untuk mendiskriminasi Etnis Tionghoa yang ada di Indonesia.

Namun patut disayangkan bahwa fakta tentang perjuangan Etnis Tionghoa terhadap bangsa ini jarang sekali diungkap. Padahal perjuangan Etnis Tionghoa tak hanya dilakukan di Pulau Jawa, namun sampai di berbagai pelosok Nusantara.

Baca Juga:  Sulitnya Pengesahan RUU PKS, Payung Hukum Kasus Kekerasan Seksual

Perjuangan Perempuan Tionghoa Dalam Revolusi Kemerdekaan Indonesia

Tokoh Sejarawan Didi Kwartanada pada saat berkesempatan menjadi narasumber diskusi bulanan Kayfa.id menyampaikan beberapa kisah perjuangan Tionghoa dalam sejarah militer Republik Indonesia. Bang Didi menyebutkan beberapa veteran Tionghoa yang pernah berjasa dalam revolusi kemerdekaan diantaranya adalah Jhon Lie, Tony Wen, Sing dan Laskar pemuda Tionghoa.

Hal yang menariknya lagi adalah tidak hanya laki-laki saja yang ikut andil dalam perjuangan revolusi kemerdekaan, namun peremuan juga turut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Beberapa veteran perempuan salah satunya adalah Giam Lam Nio atau sosok yang lebih masyhur dengan Ibu Liem.

Beliau merupakan seorang koki prajurit Indonesia tepatnya di Jawa Timur. Ibu Liem membantu menyediakan makanan di dapur umum saat revolusi di Jawa Timur. Beliau senantiasa siap sedia saat diminta bantuan menyediakan makanan dalam segala keadaan.

Bahkan saat penyerahan kedaulatan, Ibu Liem masih tetap membantu dengan mengurus panti Perwira di Malang Jawa Timur. Atas semua jasa dan pengorbanannya itu, pemakaman Ibu Liem dengan iringan upacara militer dan peti jenazahnya di bungkus dengan bendera merah putih.

Veteran perempuan asal Bandung bernama Ho Wan Moy (Tika Nurwati) pernah menjadi kurir dan mata-mata berkat motivasi Herman Sarens Soediro. Kisah menjadi seorang mata-mata berawal dari ketersediaan singkong dan beras milik keluarganya telah habis. Keadaan yang terpaksa membuatnya harus pergi ke kota melewati pos-pos Belanda untuk berbelanja, beruntungnya ia tak dicurigai.

Saat melewati pos-pos Belanda Ia selalu mencatat jumlah tentara yang berjaga saat itu. Ia memberikan data-datanya kepada Soediro Wirjo Soehardjo ayah dari Herman yang bertanggungjawab masalah logistik Batalyon IV Resimen XI Siliwangi. Ho Wan Moy juga menjadi anggota Legiun Leteran bahkan saat reuni dengan teman-temannya mereka memuji bahwa Tika Nurwati adalah seorang pejuang yang tangguh dan berani mempertaruhkan segalanya demi kemerdekaan Indonesia.

The Sin Nio, Satu-Satunya Perempuan Bersenjata di Kompi

Betapa gigihnya para veteran Tionghoa dalam menghadapi Kolonial Belanda saat itu, sampai The Sin Nio seorang perempuan Tionghoa asal Wonosobo saat revolusi kemerdekaan menyamar menjadi laki-laki Muslim dengan nama “Mochammad Muchsin”.

Dalam catatan sejarah The Sin Nio bergabung dalam Kompi 1 Batalion 4 Resimen 18. Di bawah komando Sukarno yang mempuyai pangkat Brigjend. Pernah menjadi Duta Besar RI untuk Aljazair. Sin Nio merupakan satu-satunya perempuan di kompi tersebut dengan bersenjatakan golok, tombal bahkan bambu runcing kemudian setelah berhasil merampas senapan jenis LE dari Belanda, Sin Nio menggunakan senjata api.

Hidup sebagai janda beranak 6 di usia senja merupakan hal berat, hingga akhirnya pada tahun 1973  ia berangkat ke Jakarta dan mengurus hak pensiunnya. Selama pengurusan hak pensiun Sin Nio sempat menumpang di Legiun Veteran RI selama sembilan bulan.

Namun ia memilih hidup jadi gelandangan di Ibu Kota bertemankan panas, hujan tanpa tempat tinggal layak di usia senja, 60 tahun. Pada tanggal 29 Juli 1976 akhirnya Sin Nio mendapatkan pengakuan sebagai pejuang yang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Namun SK tersebut tanpa adanya hak pensiun untuk Sin Nio.

Baca Juga:  Pascamanusia dan Pascaperempuan: Perspektif Feminis di Masa Depan

Ia pun kembali menjadi gelandangan di sekitaran pintu air dekat Masjid Istiqlal Jakarta. Beberapa tahun kemudian hak pensiun sebesar Rp. 28.000 per bulan ia peroleh, Namun tak mencukupi kebutuhanya. Keadaan yang terpaksa membuat Sin Nio tinggal di gubuk tanah pinggiran rel kereta api milik PJKA. Ia enggan pulang ke Wonosobo hingga akhir hayatnya.

Ny. Cu Sang, Veteran Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia

Dalam buku Biografi D. I. Pandjaitan (Pahlawan Revolusi korban G 30S PKI) yang ditulis oleh istrinya.  Menceritakan bahwa ketika suaminya (Pak Pandjaitan) berjuang di Bagansiapi-api. Beliau berkenalan dengan pasangan suami istri bernama Cu Mi Ici alias Cu Sang dan isterinya bernama Hoa Sui Cu alias Halimah.

Sepasang suami istri tersebut merupakan pedagang yang biasa menyelundupkan komoditi ke Singapura untuk komersil. Mengetahui hal itu, Letnan Sumihar Siagian memberi tahu Cu Sang agar menemui Kapten D.I. Pandjaitan.

Sebagai pimpinan P3 PDRI, Pak Pandjaitan meminta Cu Sang agar membantu perjuangan gerilya demi kemerdekaan Indonesia. Guna perjuangan kemerdekaan tentu saja perlu adanya senjata api. Cu Sang menyetujui dan sanggup membantu untuk menjual komoditi ke Singapura kemudian menukarnya dengan senjata api. Istri D. I. Pandjaitan juga menuliskan bahwa Ny. Cu Sang alias Halimah hampir tertangkap Belanda di sebuah pulau dan terpaksa bersembunyi di bawah rumpun pisang sepanjang malam.

Namun pada akhirnya Halimah mampu meloloskan diri ke Singapura dan kembali ke Indonesia. Pasangan suami yang telah berjasa bagi perjuangan bangsa ini akhirnya mendapatkan anugerah gelar penghormatan Veteran Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia.

Jangan Ada Penghakiman pada Etnis Tertentu

Kisah perjuangan Etnis Tionghoa di Indonesia merupakan hal yang luar biasa dan patut di apresiasi. Namun sayangnya kebijakan politik penguasa di masa lalu mengubah paradigma masyarakat terhadap Etnis Tionghoa. Oleh sebab itu, sebagai masyarakat yang baik, berakal dan berfikir hendaknya kita mau melihat kembali sejarah masa lalu. Bagaimana perjuangan pahlawan-pahlawan bangsa ini yang tak memandang etnis, gender, suku, ras maupun agama.

Mereka semua bersatu padu dalam bingkai perjuangan kemerdekaan Indonesia untuk mengalahkan penjajah. Oleh sebab itu, Muasis Kayfa.Id Ayang Utriza Yakin Ph.,D. Mengadakan diskusi ilmiah selama satu tahun kedepan (2022-2023). Bertemakan “Tionghoa di Indonesia dan Muslim Tiongkok” yang bertujuan untuk meredam politik identitas menjelang pemilu 2024.

Selain itu, adanya acara tersebut untuk menundukan persoalan pada tempatnya agar tidak terjadi penghakiman terhadap salah satu etnis. Khususnya Tionghoa hanya Karena ada beberapa oknum yang membuat kesalahan.

Demikian penjelasan tentang dalam bingkai diskriminasi, perempuan dan etnis Tionghoa di Indonesia. Semoga bermanfaat.

Rekomendasi

Ditulis oleh

Redaksi bincangmuslimah.com

6 Komentar

6 Comments

Komentari

Terbaru

Roblox: Ancaman KBGO pada Anak Melalui Game Online Roblox: Ancaman KBGO pada Anak Melalui Game Online

Roblox: Ancaman KBGO pada Anak Melalui Game Online

Keluarga

Salma Ummu Rafi’, Perempuan dengan Banyak Keahlian Salma Ummu Rafi’, Perempuan dengan Banyak Keahlian

Salma Ummu Rafi’, Perempuan dengan Banyak Keahlian

Muslimah Talk

ahmadiyah MUI rumah ibadah ahmadiyah MUI rumah ibadah

Ahmadiyah; Peneliti Usulkan MUI Keluarkan Fatwa Larangan Merusak Rumah Ibadah

Muslimah Talk

Jejak Dakwah Para Ulama Perempuan Indonesia  

Muslimah Talk

Shafiyah binti Huyay Shafiyah binti Huyay

Mengaburkan Wajah Muslimah, Kemunduran Emansipasi Perempuan

Diari

Peringatan Hari Kartini: Manifestasi Keadilan Gender di Indonesia Peringatan Hari Kartini: Manifestasi Keadilan Gender di Indonesia

Peringatan Hari Kartini: Manifestasi Keadilan Gender di Indonesia

Muslimah Talk

Bagaimana Urgensi Melestarikan Lingkungan Dalam Al-Quran? Bagaimana Urgensi Melestarikan Lingkungan Dalam Al-Quran?

Bagaimana Urgensi Melestarikan Lingkungan Dalam Al-Quran?

Kajian

Kisah Hakim Perempuan yang Menangani Kasus Poligami di Malaysia Kisah Hakim Perempuan yang Menangani Kasus Poligami di Malaysia

Kisah Hakim Perempuan yang Menangani Kasus Poligami di Malaysia

Muslimah Talk

Trending

kedudukan perempuan kedudukan perempuan

Kajian Rumahan; Lima Pilar Rumah Tangga yang Harus Dijaga agar Pernikahan Selalu Harmonis

Keluarga

Cara Membentuk Barisan Shalat Jama’ah Bagi Perempuan

Ibadah

Fiqih Perempuan; Mengapa Perempuan sedang Haid Cenderung Lebih Sensi?

Video

Kisah Hakim Perempuan yang Menangani Kasus Poligami di Malaysia Kisah Hakim Perempuan yang Menangani Kasus Poligami di Malaysia

Kisah Hakim Perempuan yang Menangani Kasus Poligami di Malaysia

Muslimah Talk

Tuan Guru KH Zainuddin Abdul Madjid Tuan Guru KH Zainuddin Abdul Madjid

Tuan Guru KH Zainuddin Abdul Madjid: Pelopor Pendidikan Perempuan dari NTB

Kajian

Anjuran Saling Mendoakan dengan Doa Ini di Hari Raya Idul Fitri

Ibadah

Shafiyah binti Huyay Shafiyah binti Huyay

Mengaburkan Wajah Muslimah, Kemunduran Emansipasi Perempuan

Diari

Hukum Jual Beli dan Syarat Barang yang Sah Diperjual Belikan Hukum Jual Beli dan Syarat Barang yang Sah Diperjual Belikan

Hukum Jual Beli dan Syarat Barang yang Sah Diperjual Belikan

Kajian

Connect