BincangMuslimah.Com – Beberapa hari terakhir kita mendapati info dari beberapa BEM di kampus kenamaan di Jakarta. Bem tersebut yang mengaburkan, menurunkan opacity foto atau bahkan mengganti wajah perempuannya dengan kartun Muslimah. Jelas hal ini menjadi perbincangan hangat warganet, banyak pro dan kontra yang tercipta sampai BEM yang bersangkutan memberikan klarifikasi.
Nyatanya klarifikasi tersebut tidaklah memberikan jawaban dan tidak pula menyelesaikan perdebatan yang sudah terlanjur ada. BEM tersebut beralasan bahwa “perempuannya yang meminta mengaburkan wajah untuk tidak mempublikasikannya, walaupun ada pula yang menginginkan untuk publikasi, sehingga timbul kesepakatan turunnya opacitynya” dan “tidak ada feminisme, patriarki, dan sexisme.”
Pro-Kontra Narasi terhadap Perempuan
Narasi yang berkembang dari pihak pro adalah bahwa “sudah seharusnya kita tidak mengumbar foto akhwat jadi sumber fitnah”, “loh kenapa hanya perempuan yang tidak boleh? Sedang pada foto tersebut lelaki bergaya dengan senyum lebarnya,” sanggah yang lain.
Mereka berargumentasi bahwa “memang sudah fitrahnya perempuan berada di rumah, di belakang.” makanya biasanya saat perempuan berbicara lantang dan tertawa pada forum, suka mendapat teguran “perempuan kok suaranya kenceng banget!”
Baiklah, menurut saya jika selalu melarang perempuan untuk eksistensi di muka publik, bisu dalam forum bebas pendapat, dan posisinya di belakang barisan laki-laki, lantas apakah hal tersebut adil untuk perempuan? Banyak dari perempuan yang beranggapan jika mereka tampil di depan, berbicara di forum diskusi, dan eksis di media sosial, merupakan dosa besar yang terus mengalir. Kultur dan asupan agama yang tidak menjelaskan secara benar dan sesuai konteks membuat mereka tidak open minded.
Perempuan sebagai sumber fitnah, adalah narasi yang menurut saya sangat kejam. Kenapa perempuan harus menanggung dosa atas perbuatan orang yang tidak bisa menjaga imannya, barangkali begitu. Kenapa hanya perempuan yang menjadi sumber fitnah? Bukankah dalam Al-Qur’an meriwayatkan jika Zulaikha pernah tergoda oleh ketampanan Nabi Yusuf as, artinya laki-laki juga memiliki potensi yang sama.
Perbedaan Konteks Zaman Terhadap Fitrah Manusia
Terkait fitrah perempuan, maksud fitrah pada saat zaman Rasulullah dan saat ini jelaslah berbeda. Pada masa Rasulullah konteksnya itu saat perang, ketika perempuan haruslah berada di belakang. Perempuan berada di dalam untuk menjaga kehormatan keluarganya, sukunya, karena akan melahirkan penerus perjuangan. Berbeda dengan saat ini, perang sudah tidak ada, justru perempuan dan laki-laki seharusnya setara dalam belajar, mempunyai pengalaman, dan menebar manfaat tanpa perlu dibatasi dengan kata “fitrah”.
Malu rasanya dengan Cut Nyak Dien, perempuan hebat yang ikut berperang. Kartini yang dalam diamnya karena tradisi tetap melawan untuk kesetaraan perempuan dengan menulis. Lalu mengapa perempuan saat ini harus malu dengan semua talenta yang dimilikinya? Malu untuk menunjukan perannya dalam sebuah organisasi? Sedang laki-laki terus berjalan ke depan dengan segudang kemudahan untuk terus berkembang.
Rekomendasi

2 Comments