BincangMuslimah.Com – Hampir seratus tahun lalu, sebagian besar kaum perempuan, termasuk perempuan muslim merasakan ketimpangan dalam relasi gender. Perjuangan dan perlawanagan untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan gender diwujudkan melalui gerakan feminisme. Secara garis besar tak ada perbedaan antara feminisme Islam dengan feminisme yang berkembang di dunia Barat, kecuali bahwa feminisme Islam merujuk pada teks-teks keagamaan.
Tokoh-Tokoh Feminisme
Definisi feminisme Islam mulai dikenal pada tahun 1990- an. Menurut Nurul Agustina dalam buku Gerakan Feminisme Islam dan Civil Society, dalam Islam, Negara dan Civil Society, mengatakan feminisme semacam ini berkembang di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Arab, Mesir, Maroko, Malaysia, dan Indonesia. Ciri khas feminisme Islam adalah berupaya untuk membongkar sumber-sumber permasalahan dalam ajaran Islam dan mempertanyakan penyebab munculnya dominasi laki-laki dalam penafsiran hadis dan al-Quran.
Melalui perspektif feminis berbagai macam pengetahuan normatif yang bias gender, tetapi menjadi orientasi kehidupan beragama. Khususnya menyangkut relasi gender membongkar atau merekontruksi dan mengembalikan kepada semangat Islam. Serta lebih menempatkan ideologi pembebasan perempuan dalam kerangka ideologi pembebasan harkat manusia.
Beberapa tokoh feminis muslim antara lain: Riffat Hassan (Pakistan), Fatima Mernissi (Mesir), Nawal Sadawi (Mesir), Amina Wadud Muhsin (Amerika), Zakiah Adam, dan Zainah Anwar (Malaysia). Serta beberapa orang Indonesia antara lain: Siti Chamamah Soeratno, Wardah Hafidz, Lies Marcoes-Natsir,, Zakiah Daradjat, Ratna Megawangi, Siti Musdah Mulia, Masdar F. Mas’udi, Nasaruddin Umar, Etin Anwar.
Penafsiran Feminisme
Dengan semangat feminisme, maka muncullah berbagai gagasan dan kajian terhadap tafsir ayat-ayat al-Quran dan hadis oleh para intelektual muslim, yang dikenal dengan sebutan feminis muslim. (Wiyatmi, Konstruksi Gender dalam Novel Geni Jora Karya Abidah ElKhalieqy, Jurnal Humaniora, Vol. 22 No. 2. 2010, h. 200).
Awalnya gagasan dan kajian tersebut sesuai dengan semangat teologi feminisme Islam yang menjamin keberpihakan Islam terhadap integritas dan otoritas kemanusiaan perempuan. Karena terdistorsi oleh narasi-narasi besar wacana keislaman klasik yang saat ini masih mendominasi proses sosialisasi dan pembelajaran keislaman kontemporer.
Salah satu karya membicarakan kedudukan perempuan dalam pandangan al-Quran yakni ditulis oleh salah seorang pemikir feminis kelahiran Malaysia, Amina Wadud Muhsin. Beliau menamatkan studinya dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi di Malaysia. Beliau menamatkan sarjananya dari Universitas Antar Bangsa, masternya dari University of Michigan Amerika Serikat tahun 1989. Gelar doktornya dari Harvard University tahun 1991-1993. Sekarang ia tinggal di Amerika Serikat menjabat salah satu Guru Besar di Departemen Filsafat dan Studi Agama pada Universitas Commenwelth di Virginia.
Amina pernah membuat geger para ulama dunia, termasuk Syeikh Yusuf al-Qardawi, ketika ia menjadi khatib dan imam shalat Jum’at di New York City pada 18 Maret 2005. Beberapa waktu lalu juga terbit buku Amina yang berjudul Inside the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam (2006).
Pemikiran Amina Wadud
Salah satu tulisannya yang kemudian penulis jadikan sebagai bahan kajian terhadap pemikiran penafsiran sisi perempuan ialah Qur’an and Woman (1992). Dalam bukunya itu, Amina memulai pembahasannya dengan mengritik penafsiran-penafsiran yang selama ini ada mengenai perempuan dalam Islam. Ia membagi penafsiran tersebut ke dalam tiga corak: tradisional, reaktif dan holistik.
Pertama, tafsir tradisional. Menurut Wadud, tafsir ini menggunakan pokok bahasan tertentu sesuai dengan minat dan kemampuan mufassir-nya, seperti hukum (fiqh), nahwu, sharaf, sejarah, tasawuf dan lain sebagainya. Model tafsir ini lebih bersifat atomistik. Artinya, melakukan penafsiran atas ayat per ayat dan tidak tematik sehingga pembahasannya terkesan parsial. Di samping tidak ada upaya untuk mendiskusikan tema-tema tertentu menurut al-Qur’an itu sendiri, mungkin ada sedikit pembahasan mengenai hubungan antar-ayat. Namun melakukannya tanpa menggunakan antara ide, struktur sintaksis atau tema yang serupa, sehingga sang pembaca gagal menangkap pesan al-Qur’an.
Lebih lanjut, menurut Wadud, tafsir model tradisional terkesan eksklusif, karena hanya kaum laki-laki yang menulisnya. Sehingga di dalamnya hanya mengakomodasikan kesadaran dan pengalaman kaum laki-laki. Padahal, pengalaman, visi dan perspektif kaum perempuan mestinya masuk pula di dalamnya sehingga tidak terjadi bias patriarki yang bisa memicu ketidakadilan gender. Menyadari atau tidak, seseorang masih sering menggunakan “agama” untuk mengabsahkan perilaku dan tindakannya.
Kedua, corak tafsir reaktif. Yaitu tafsir yang berisi reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah hambatan pengalaman perempuan yang mereka anggap berasal dari al-Qur’an. Membahas penggunaan persoalan dan metode berasal dari gagasan kaum feminis dan rasionalis, namun tanpa menyertai analisis yang komprehensif terhadap ayat-ayat yang bersangkutan. Akibatnya, meski membawa semangat pembebasan (liberation) namun tidak terlibat hubungannya dengan sumber ideologi dan teologi Islam, yakni al-Qur’an.
Ketiga, tafsir holistik. Yaitu tafsir yang menggunakan seluruh metode penafsiran dan mengaitkan dengan pelbagai persoalan sosial, moral, ekonomi, politik. Termasuk isu-isu perempuan yang muncul pada era modern. Amina Wadud masuk dalam kategori ini. (Amina Wadud Muhsin, Qur’an and Woman (Kuala Lumpur: Fajar Bakti Sdn bhd, 1994), h. 1-5)
4 Comments