BincangMuslimah.Com – Kemajuan adalah hal mutlak yang mesti dikuasai agar bisa mengimbangi perkembangan zaman. Salah satu langkahnya adalah dengan mewujudkan pembebasan perempuan. Mengenai pembebasan perempuan, Riffat Hassan menyatakan bahwa ada beberapa jalan yang bisa dilakukan untuk bisa mewujudkan pembebasan perempuan:
Pertama, melakukan dekonstruksi pada tradisi Islam.
Tradisi Islam memerlukan penataan ulang. Bahkan, harus ada pembongkaran pemahaman yang didasarkan pada satu asumsi. Dalam Islam, konstruksi teologi yang misoginis disebabkan karena pengaruh budaya Arab pra Islam.
Budaya Arab pra Islam yang misoginis dan bias gender serta anti perempuan adalah tradisi yang diserap Islam dari agama Kristen dan Yahudi. Menurut Riffat Hasan, ada beberapa hal yang berkaitan dengan pembahasan teologi feminis dalam tradisi Islam yang perlu dipaparkan dengan bahasan yang sistematis.
Kedua, melakukan reintrepetasi pada ayat-ayat Al-Qur’an.
Menurut Riffat Hassan, reinterpretasi hanya bisa dilakukan dengan cara menguasai bahasa Al-Qur’an. Selain itu, reinterpretasi juga tidak memerlakukan teks sebagai proof texts, tapi justru menempatkannya pada konteks yang tepat.
Maka dari itu, interpretasi mesti bertumpu pada akar kata. Wardah Hafidz dalam Aliran-aliran Feminisme (1995) menuliskan bahwa karena bahasa Arab seperti halnya bahasa Semit yang lain sangat bertumpu pada akar kata.
Agar bisa mengerti satu kata dalam bahasa Arab, seseorang mesti mengetahui terlebih dahulu makna akar katanya. Kajian segar yang mengacu pada segi vocabularies dengan kesan kontroversialnya terhadap makna yang selama ini hampir-hampir telah diyakini validitasnya.
Jika dicermati dan dipahami secara filosofis, reinterpretasi justru bisa menyentuh bangunan makna yang semestinya. Metodologi yang digunakan oleh Riffat Hassan adalah metodologi dekonstruksi.
Metode dekonstruksi atau teori dekonstruksi adalah cara baca teks yang diperkenalkan oleh filsuf dari Prancis bernama Jacques Derrida. Langkah awal dekonstruksi adalah memisahkan hubungan monolinier antara teks dengan makna atau tafsirannya.
Keyakinan tentang adanya hubungan yang final antara sebuah teks dengan tafsir tertentu harus dibongkar. Hal ini disebabkan karena keyakinan dalam sebuah penafsiran yang akan menimbulkan banyak sekali dampak yang negatif.
Beberapa diantara dampak negatif tersebut adalah: Pertama, fanatisme terhadap tafsir tertentu dan menolak kemungkinan keabsahan tafsir yang lain. Kedua, keadaan tersebut akan menutup kemungkinan terbukanya teks terhadap berbagai penafsiran.
Ketiga, sebuah teks yang telah diklaim melalui peresmian satu tafsir saja maka akan menyebabkan teks tersebut tak bermakna lagi dalam menghadapi derasnya perubahan sosial pada zaman modern saat ini, apalagi perubahan sosial di masa mendatang.
Riffat Hassan mencontohkan salah satu ayat yang populer menjadi dalil bagi superioritas laki-laki terhadap perempuan yakni dalam Qur’an Surat An-Nisa Ayat 34:
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ ۚ وَٱلَّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا۟ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”[]