BincangMuslimah.Com – Sering kali kita mendengar nama Sayyidah Khadijah, Sayyidah Aisyah, Sayyidah Hafsah, dan beberapa nama lainnya sebagai istri Nabi saw. Para istri nabi tersebut memiliki sebutan khusus yang juga sering kita dengar sebagai Ummahatul Mukminin.
Sebagian dari kita tentu mengerti arti dari kata tersebut yaitu “ibunya orang-orang yang beriman”. Lalu mengapa para istri Nabi dijuluki dengan istilah tersebut?
Sebagai seorang muslimah yang mencintai Nabi saw. beserta para keluarga beliau, tentunya sudah menjadi sebuah keharusan untuk mengetahui maksud dan alasan sebutan Ummahatul Mukminin ini diberikan kepada para istri Nabi saw.
Sayyid Alwi bin Abdillah al-Husaini dalam kitab an-Nur al-Mubin fi Sirati Ummahat al-Mukminin menjelaskan bahwa sebutan Ummahatul Mukminin bagi istri Nabi saw. didasarkan pada salah satu ayat di dalam Alquran:
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
Artinya: “Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.” (QS. Al-Ahzab [33]: 6)
Sayyid Alwi bin Abdillah al-Husaini kemudian menjelaskan, maksud dari sebutan ummahat bagi istri Nabi memiliki tujuan untuk ta’dzim, yang berarti mengagungkan atau memuliakan para istri Nabi saw. sebagaimana kita memuliakan ibu yang telah melahirkan dan mendidik kita. Islam memerintahkan kepada setiap penganutnya untuk menghormati dan memuliakan orang tua yang telah mendidik dan membesarkannya, khususnya kepada seorang ibu.
Begitu mulianya sosok ibu dalam pandangan Islam, beberapa hadis pun juga telah merekam tentang kemuliaan seorang ibu, sehingga sebutan Ummahatul Mukiminin juga kemudian melekat dalam diri para istri Nabi saw. Sebagaimana kita menghormati dan memuliakan ibu kita, begitulah kita seharusnya memuliakan para istri Nabi saw. Kewajiban-kewajiban yang melekat dalam diri seorang anak terhadap ibunya, kewajiban-kewajiban tersebut juga melekat dalam diri setiap mukmin dalam menjaga kehormatan dan kemuliaan istri-istri Nabi saw.
Lebih lanjut, Sayyid Alwi bin Abdillah al-Husaini menyebutkan bahwa sebagian ulama memandang sebutan Ummahat untuk para istri Nabi memiliki tujuan untuk penegasan adanya keharaman menikahi istri-istri Nabi saw. Sebagaimana seorang anak, ia memiliki hubungan spesial dengan ibunya, namun ia tetap tidak diperbolehkan menikahinya.
Begitupun kepada istri Nabi saw, sahabat ataupun tabi’in yang saat itu sempat berjumpa dengan istri-istri Nabi saw pasca wafatnya Nabi saw, tidak diperbolehkan untuk menikahinya. Di sinilah salah satu tujuan dari sebutan Ummahat tersebut. Pandangan ini didasarkan pada salah satu ayat di dalam Alquran:
وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا
Artinya: “Kamu tidak boleh menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak boleh (pula) menikahi istri-istrinya selama-lamanya setelah Nabi (wafat). Sesungguhnya yang demikian itu sangat besar (dosanya) di sisi Allah.” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 53)
Meskipun para istri Nabi saw. bagi orang mukmin memiliki posisi sebagaimana ibu bagi anak-anaknya, ada beberapa hal yang diperbolehkan bagi seorang anak terhadap ibunya namun hal ini dilarang dalam hubungan orang mukmin dengan Ummahatul Mukminin. Larangan yang tidak boleh dilakukan oleh orang mukmin kepada para istri Nabi saw. tersebut di antaranya:
Pertama, tidak diperbolehkan melihat secara langsung dan berkhalwat dengan para istri Nabi saw
Jika seorang ibu dan anak dalam hubungan nasab tidak memiliki larangan untuk berduaan, maka berbeda dengan istri Nabi saw. Siapapun tidak boleh mengatakan “Itukan ibuku, tentunya aku boleh melihatnya”. Ungkapan ini tidaklah dibenarkan dalam Islam. Hal ini didasarkan dalam salah satu ayat Alquran:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ
Artinya: Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), mintalah dari belakang tabir. (QS. Al-Ahzab [33]: 53).
Kedua, anak-anak dari istri Nabi saw. tidak kemudian menjadi saudara nasab bagi setiap mukmin
Tak hanya itu, saudara-saudara dari istri Nabi saw tidak kemudian menjadi paman ataupun bibi bagi orang-orang mukmin. Sehingga, para sahabat maupun tabi’in yang semasa dengan beliau-beliau tetap tidak diperbolehkan untuk berkhalwat dengan anak dan saudara dari istri Nabi saw.
Lalu bagaimana jika menikahi anak dan saudara dari ummahatul mukminin?
Menikahi anak ataupun saudara dari istri Nabi saw. adalah suatu hal yang diperbolehkan. Sebagaimana ketika sahabat Ali ra. menikahi sayyidah Fathimah r.a. yang merupakan putri dari pernikahan Nabi saw. dengan Sayyidah Khadijah.
Dari penjelasan tersebut, dapat kita pahami bahwa sebutan ummahatul mukminin merupakan sebutan khusus bagi istri Nabi saw. yang berdampak pada sisi keharaman menikahinya pasca wafatnya Nabi saw. sebagaimana anak laki-laki haram menikahi ibunya dan merupakan sebuah sebutan untuk memuliakannya selayaknya seorang ibu bagi anak-anaknya. Wallahu a’lam bisshawab.
2 Comments