BincangMuslimah.Com – Khaled M. Abou el-Fadl lahir di Kuwait pada tahun 1963. Ia menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di kampung halamannya di Kuwait. Setelah itu, ia melanjutkan studinya di Mesir. Seperti tradisi Arab yang melestarikan tradisi hafalan, Khaled sudah hafal Al-Qur’an sejak usia 12 tahun. Ayahnya yang berprofesi sebagai pengacara sangat menginginkan Khaled menjadi orang yang paham hukum Islam.
Kemudian tahun 1982, beliau hijrah dari Mesir ke Amerika Serikat, di mana ia melanjutkan pendidikan di Universitas Yale, mempelajari hukum selama 4 tahun, dan lulus studi bachelor dengan predikat cumlaude. Tahun 1989, ia menerima gelar Magister of Laws dari University of Pennsylvania. Karena prestasinya, ia diterima sebagai pengacara komersial dan imigrasi di Pengadilan Tinggi Arizona (Supreme Court Justice).
Karena hal itu, Khaled Abou El Fadl memperoleh kewarganegaraan Amerika dan diangkat sebagai Associate Professor di University of Texas di Austin. Setelahnya, Khaled menerima gelar PhD dari Princeton University. Pada tahun 1999, ia menerima gelar PhD di bidang Hukum Islam. Sejak itu, ia menjadi profesor hukum Islam di Fakultas Hukum Universitas California, Los Angeles (UCLA). Ia juga sebagai direktur Human Rights Watch dan anggota Kebebasan Beragama Amerika Serikat.
Karya-karya
Khaled Abou El Fadl adalah penulis yang produktif. Di antara karya-karyanya yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku yaitu: a) Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authory, and Woman, b) Rebellion and Violence in Islamic Law, c) And God Knows the Soldiers: The Authoritative and Authoritorian in Islamic Discourse, The Authoritative and Authorian in Islamic Discourses: A Contemporary Case Study, e) Islam and Challenge of Democracy, f) The Place of Tolerance in Islam, g) Conference of Books: The Search for Beauty in Islam.
Hermeneutika Negosiatif (Hermeneutika Hadis)
Khaled Abou el-Fadl mengusulkan untuk memastikan makna hadits. Maksudnya ialah, proses penafsiran tidak hanya berusaha mengerti makna suatu kata atau frasa, tetapi juga bagaimana mengamalkan makna tersebut. Khaled berpendapat bahwa proses penentuan makna merupakan hasil interaksi antara pengarang (author), teks (teks), dan pembaca (reader). Singkatnya, dalam menentukan makna, proses negosiasi harus seimbang dari ketiga aspek tersebut, tanpa kendali salah satu pihak.
Pengarang (Author)
Melihat rumitnya proses penyuntingan hadis, dapat ditegaskan bahwa penciptaan hadis tidak terlepas dari campur tangan manusia baik dalam hafalan, periwayatan, maupun penyimpanan dan penulisan teks. Oleh karena itu, pembahasan penulis hadis tidak terlepas dari proses penulis dalam pembentukan hadis. Dalam hal ini, Nabi berperan sebagai penulis sejarah dan penulis utama.
Teks
Hadis merupakan teks otoritatif yang menempati posisi teratas sebagaimana Alquran sebagai sarana untuk mendetekai pesan dan kehendak Tuhan. Otoritasnya berasal dari realitas fakta bahwa hadits berasal dari Tuhan dan menginformasikan manusia tentang perintah-perintah Tuhan. Kewibawaan hadis menjadikan hadis sebagai pemimpin manusia dan sumber hukum dari segi etika, moralitas, hukum dan kebijaksanaan.
Pembaca (Reader)
Dipandang sebagai bentuk makna. Guna menghindari sikap pembaca yang sewenang-wenang dalam menentukan makna. Khaled mengusulkan konsep perwakilan. Ada lima syarat untuk mendelegasikan otoritas Tuhan kepada manusia sebagai “wakil khusus”, antara lain; kejujuran, kejujuran, ketelitian, akal sehat, dan pengendalian diri.
Contoh Hadis Misoginis :
Khaled Abou El Fadl memecah pandangannya dalam mendalami hadis-hadis misoginis (hadis yang menganggap perempuan lebih rendah daripada laki-laki), salah satunya yaitu, hadis mengenai sujudnya istri pada suami.
Dari Anas Ibn Malik, Nabi bersabda: “Tidak ada seorang manusia pun yang boleh bersujud kepada sesamanya, dan jika seorang manusia diperbolehkan bersujud kepada sesamanya, saya akan menyuruh seorang istri bersujud kepada suaminya karena begitu besarnya hak seorang suami terhadap istrinya. Demi Allah, jika seorang istri menjilat bisul yang tumbuh di sekujur tubuh suaminya, dari ujung kaki hingga ujung rambut, maka hal itu masih belum cukup sebagai pemenuhan kewajibannya kepada suaminya.
Analisis Khaled Abou El Fadl
Khaled Abou El Fadl meneliti matan hadits ini. Ia menemukan bahwa strukturnya aneh. Sangat tidak mungkin Nabi membahas teologi Islam secara tidak sistematis, sehingga diragukan konteks dan struktur hadisnya. Hadis tersebut tidak dapat dipercaya karena tidak mengidentifikasi peran Nabi dalam proses penulisan yang menciptakan hadits.
Hadits ini bertentangan dengan ayat-ayat dalam Al-Qur’an tentang pernikahan dan seluruh riwayat yang menjelaskan tindakan Nabi terhadap istrinya. Dari analisis di atas, Khaled telah menentukan bahwa hadits tersebut tidak dapat secara definitif diklaim berasal dari Nabi, sebab tidak cukup untuk menentukan maknanya. Hadits ini memiliki pengaruh yang besar terhadap pola hubungan gender dalam keluarga.
Di sisi lain juga, memiliki implikasi teologis, moral dan sosial yang besar. Namun, juga bertanggung jawab atas penurunan status moral perempuan. Oleh karena itu, untuk menangani hadits-hadits ini harus dilakukan jeda kecermatan, yaitu jeda untuk mencerminkan posisi dan pengaruh hadis-hadis ini, dan seberapa besar kebenaran bahwa Nabi berperan dan menciptakan hadis tersebut. Maka, jeda kecermatan ini membutuhkan tinjauan kritis terhadap hadis.
Begitulah kritikan Khaled Abou El Fadl terhadap hadis misoginis.