BincangMuslimah.Com- Islam menekankan kewajiban menjalankan ibadah seperti shalat dan puasa. Namun, ada kalanya seorang muslim meninggal dunia sebelum sempat menyelesaikan kewajiban-kewajiban tersebut, misalnya karena sakit atau sebab lain yang menghalanginya.
Lantas, bagaimana hukum utang ibadah yang belum tertunaikan ini? Apakah kewajiban itu berpindah kepada keluarganya, atau abaikan saja?
Hukum meninggalkan salat
Dalam Karya kitab Fathul Mu’in Karya Syaikh al-Malibari menjelaskan:
ويقتل أي المسلم المكلف الطاهر حدا بضرب عنقه إن أخرجها أي المكتوبة عامدا عن وقت جمع لها إن كان كسلا مع اعتقاد وجوبها إن لم يتب بعد الاستتابة وعلى ندب الاستتابةلا يضمن من قتله قبل التوبة لكنه يأثم ويقتل كفرا إن تركها جاحدا وجوبها فلا يغسل ولا يصلى عليه»
Artinya: “Dan seorang muslim baligh yang suci dihukum bunuh dengan cara dipenggal lehernya jika ia meninggalkan shalat wajib secara sengaja sampai waktu shalat itu habis, apabila karena malas, namun masih meyakini kewajibannya, dan tidak bertobat setelah diberi kesempatan bertobat. Dianjurkan agar ia diberi kesempatan bertobat, dan orang yang membunuhnya sebelum ia bertobat tidak wajib menanggung dosanya, tetapi tetap berdosa. Ia dihukum mati sebagai orang kafir jika meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya; jenazahnya tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.”
Dari teks di atas dapat menarik kesimpulan bahwa hukum bagi orang yang meninggalkan shalat terbagi menjadi dua yaitu:
-
Hukum Meninggalkan Shalat Karena Malas
Apabila seorang Muslim meninggalkan shalat karena malas tanpa mengingkari kewajibannya, maka mayoritas ulama menganggapnya berdosa karena meninggalkan kewajiban. Sebagian ulama, seperti mazhab Hanbali, berpendapat bahwa orang yang meninggalkan salat karena malas, setelah memberinya peringatan dan tetap tidak mau melaksanakan salat, layak mendapat hukuman mati dengan cara penggal sebagai hukuman (hudud).
Namun, ada pula ulama yang berpendapat cukup dengan hukuman disiplin (ta’zir) tanpa membunuhnya, dan lebih baik mengajaknya untuk bertobat dan kembali menjalankan salat.
-
Hukum Meninggalkan Shalat Karena Mengingkari Kewajibannya
Jika seseorang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, maka hukumnya lebih berat. Para ulama sepakat bahwa menganggap murtad orang tersebut (keluar dari Islam). Karena dengan mengingkari kewajiban salat, dia telah mengingkari salah satu rukun agama. Orang tersebut masuk golongan hukum kafir dan layak mendapat hukum mati sebagai kafir, tidak ada kewajiban memandikan, menyolatkan, dan menguburkan jenazahnya. Hal ini karena menganggap orang tersebut telah meninggalkan Islam dengan mengingkari rukun yang fundamental.
Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa Allah tidak main-main dengan ancamannya mengenai kewajiban shalat. Lantas bagaimanakah dengan orang yang sudah meninggal? Apakah masih bisa mengqada shalatnya? Bagaimanakah cara mengganti shalatnya?
Hukum Shalat yang Belum Ditunaikan oleh Orang yang Telah Wafat
Dalam kitab fikih terdapat penjelasan tentang kewajiban seorang muslim yang wafat dan masih hutang shalat fardhu yang belum ia tunaikan. Terdapat perbedaan pendapat mengenai apakah shalat yang belum ia laksanakan ini harus ahli warisnya qada atau tidak.
Syaikh Al-Malibari juga menjelaskan hal ini di dalam kitabnya Fathul Mu’in: Dia berkata “Menurut sebagian pendapat, shalat wajib yang belum ditunaikan oleh orang yang wafat tidak perlu diqadha ataupun digantikan dengan tebusan (fidyah). Namun, ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa orang lain boleh menggantikan shalat tersebut, baik ia telah berwasiat maupun tidak.”
Pendapat yang memperbolehkan qadha salat ini sebagaimana riwayat oleh al-Abadi dari Imam asy-Syafi’i. Di mana bisa mengqiyaskan/ membandingkan pandangan dan praktik ini dengan qadha puasa dan menyandarkannya pada hadis. Seperti riwayat dari Imam al-Bukhari berikut ini.
من مات وعليه صيام صام عنه وليه.”
Artinya: Siapa yang meninggal dan masih memiliki puasa yang belum ditunaikan, maka walinya (keluarganya) yang berpuasa untuknya.” (HR. Imam al-Bukhari)
Di dalam kitab Fathul Mu’in juga menerangkan bahwa Imam as-Subki sudah mengamalkan pendapat ini yang mengqadha salat untuk salah satu kerabatnya.
Semoga penjelasan ini membantu dalam memahami persoalan qadha salat bagi orang yang telah wafat.