BincangMuslimah.Com – Dalam istilah fikih ketika memperjualbelikan barang milik orang lain dinamakan bai’ fudluli. Jual beli dikatakan sah apabila barang yang diperjualbelikan adalah milik penjual sendiri. Oleh karena itu, tidak sah jual beli barang yang belum menjadi milik dari penjual. Imam Nawawi dalam kitabnya Minhaj Al-Thalibin mengatakan,
بيع الفضولي باطل
Jual beli fudluly (barang milik orang lain) adalah tidak sah. (Minhaj Al-Thalibin, juz 1, hal: 95)
Masalahnya kemudian, dalam beberapa teks fikih juga diterangkan bahwa,
الوكيل في هذه الحقوق كالمالك
Hak wakil adalah seperti pemilik (malik). (Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, Kuwaitiyyah, juz 45, hal: 159)
Redaksi ini menyatakan bahwa wakil kedudukannya adalah sama dengan orang yang diwakili. Silogisme berlaku bahwa bila orang yang diwakili adalah pemilik, maka wakil kedudukannya adalah sama dengan pemilik dalam penguasaan barang.
Dalam kitab Al-Yaqutu Al-Nafis Fi Madzhabi Ibni Idris Fi Al Fiqhi Al-Syafi’i karya Sayyid Ahmad As-Syatiry disebutkan bahwa:
ويصح اقتراض العبد المأذون له والمكاتب والولي لموليه لأنه أهل للمعاملة
Sah akad utangnya seorang budak yang diberikan izin kepadanya, dan mukatab serta wali untuk orang yang diwalikan padanya (muwalli) karena ia adalah ahli untuk muamalah. (Al-Yaqutu Al-Nafis Fi Madzhabi Ibni Idris Fi Al Fiqhi Al-Syafi’i, hal: 78)
Teks ini menyebutkan bahwa tasharruf (transaksi) wali terhadap orang yang diwalikan kepadanya (muwalli) adalah sah dalam akad muamalah. Jika muwalli adalah pemilik barang, maka hak tasharruf wali terhadap barang milik muwalli hukumnya adalah sah. Sehingga silogisme yang berlaku adalah wali kedudukannya sama dengan muwalli dalam hak tasharruf barang.
Dengan mempertimbangkan status wakil dan wali di atas, maka yang dimaksud sebagai malik (pemilik) dalam akad jual beli ini menjadi berkembang. Pemilik tidak hanya dipandang sebagai pemilik barang dengan sempurna, melainkan juga masuk di dalamnya orang yang menjadi wakilnya pemilik dan orang yang menjadi walinya malik.
Dalam hadisnya Rasulullah bersabda,
والسلطان ولي من لا ولي لها
Sulthan adalah walinya orang yang tidak memiliki wali. (HR. Bukhari)
Hadis yang dinukil oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani ini secara tidak langsung menambah wawasan luas terhadap pengertian pemilik barang di atas. Pengertian pemilik tidak lagi hanya sebatas pemilik sempurna barang, melainkan juga wakil, wali dan sulthan (pemerintah) yang menguasai wilayahnya. Namun, karena konteks bahasan masing-masing berbeda temanya, tentu dalam hal ini ada batasan-batasan sendiri yang mutlak diperhatikan. Bagaimanakah batasan itu dibentuk? Berikut ulasannya:
Syekh Jalaluddin Al-Mahally dalam kitabnya Al-Mahally ‘Ala Minhaji Al-Thalibin, menjelaskan,
فبيع الفضولي باطل لأنه ليس بمالك ولا وكيل ولا ولي وفي القديم هو موقوف إن أجاز مالكه أو وليه نفذ بالمعجمة وإلا فلا ينفذ ويجري القولان فيما لو اشترى لغيره بلا إذن بعين ماله أو في ذمته ، وفيما لو زوج أمة غيره أو بنته ، أو طلق منكوحته أو أعتق عبده ، أو آجر دابته بغير إذنه ولو باع مال مورثه ظانا حياته وكان ميتا بسكون الياء صح في الأظهر لتبين أنه ملكه ، والثاني لا يصح لظنه أنه ليس ملكه ، ويجري الخلاف فيمن زوج أمة مورثه على ظن أنه حي فبان ميتا هل يصح النكاح ، قال في شرح المهذب : والأصح صحته
Jual beli fudluly adalah tidak sah karena ia merupakan akad yang dilakukan oleh bukan pemilik barang, dan bukan wakil serta bukan wali. Dalam qaul qadim Imam Syafi’i tidak dinyatakan mauquf (melihat illat hukumnya). Jika pemilik sempurna barang, atau walinya, memberi wewenang menjual, maka jual belinya sah. Namun bila tidak mendapat wewenang maka tidak sah. Untuk itu berlaku dua pendapat, (pertama) untuk kasus pembelian seseorang untuk orang lain tanpa seizin orang tersebut atas barang tertentu atau barang yang ada dalam tanggung jawabnya, dan (kedua) untuk kasus menikahkan perempuan amat milik orang lain, atau menikahkan anak gadis orang lain, atau menthalaqkan perempuan yang dinikahi orang lain, atau memerdekakan budaknya orang lain, menyewakan binatang orang lain, dengan tanpa seidizin pemiliknya. Bahkan dalam kasus seandainya menjual harta yang akan diwarisinya secara dhanny (persangkaan) di masa masih hidupnya orang akan diwarisi yang pada akhirnya ia meninggal. Pendapat pertama, menurut qaul adhar hukum sebagaimana dimaksudkan dalam dua kasus di atas adalah sah karena jelasnya ia sebagai orang yang menguasainya. Pendapat kedua, tidak sah karena masih berupa persangkaan dan ini menunjukkan bukan penguasa barang. Berlaku perbedaan pendapat untuk kasus orang yang menikahkan perempuan amat milik orang yang akan diwarisi secara dhanny (praduga) dengan bekal persangkaan masih hidupnya orang tersebut, yang namun dalam faktanya ia telah meninggal apakah sah pernikahannya? Imam Nawawi menyatakan dalam Al-Muhaddzab: pendapat ashah adalah sah. (Al-Mahally ‘Ala Minhaji Al-Thalibin, hal: 156)
‘Alakullihal, berdasarkan keterangan Syekh Jalaluddin Al-Mahally di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk kasus jual beli fudluly, pada dasarnya adalah tidak sah bila dilakukan oleh bukan pemilik barang (malik). Sahnya akad jual beli fudluly, adalah bilamana orang yang berakad terdiri dari:
Pertama, Orang yang menjadi wakil, atau menjadi wali dari pemilik barang (wakil pemilik).
Kedua, Orang yang diduga kuat akan mewarisi barang yang dijual. Kesimpulan ini berangkat dari pengertian dhanny dalam pendapat di atas.
Ketiga, Orang yang mendapat izin menjualkan oleh pemilik barang yang sebenarnya.
Keempat, Orang yang menguasai pemilik. Dalam hal ini maka masuk pula di dalamnya sulthan (pemerintah/penguasa).