BincangMuslimah.Com – Nafkah secara bahasa diambil dari kata al-infaq yang artinya mengeluarkan. Kata tersebut tidak dipakai kecuali dalam hal kebaikan. Dalam kitab Fathul Qarib, Sheikh Muhammad bin Qasim al-Ghazziy (918 H / 1512 M) menyebutkan dalam memberi nafkah ada tiga sebab, yaitu: Pertama, hubungan kerabat. Kedua, pemilikan Budak. Ketiga, pernikahan.
Hukum memberi nafkah tidak hanya wajib diberikan kepada istri dan anak-anak, tapi juga terhadap orang tua, serta para kerabat yang tidak mampu menafkahi diri mereka sendiri. Sheikh Muhammad bin Qasim al-Ghazziy menjelaskan,
ونفقة العمودين من الأهل واجبة للوالدين والمولودين، أي ذكرا كانوا أم إناثا، اتفقوا في الدين أو اختلفوا فيه، واجبة على أولادهم
Artinya: “Kewajiban memberi nafkah ini diharuskan terhadap dua orang yang menjadi penopang (furu’: keturunan kebawah dan ushul; keturunan keatas) dari beberapa kerabat (Maksudnya nafkah orang tua dan para anak) baik laki laki atau perempuan, dan baik sama dalam agama ataupun berbeda agama adalah menjadi kewajiban tanggungan anak-anak dan orang tua mereka.”
Selanjutnya, kewajiban memberi nafkah kepada orang tua dan seatasnya (buyut, dll) dengan dua syarat, yaitu:
Pertama, mereka dalam keadaan fakir, yaitu ketidak mampuan mereka atas harta atau pekerjaan.
Kedua, lumpuh atau gila.
Sedangkan anak-anak dan sebawahnya (cucu, dll), maka wajib atas para orang tua mereka memberikan nafkah kepada mereka dengan tiga syarat:
Pertama, anak tersebut dalam keadaan fakir serta masih kecil, sedangkan anak yang kaya dan sudah besar, orang tua tidak wajib memberi nafkah terhadap mereka.
Kedua, fakir serta lumpuh, maka anak yang kaya dan kuat, orang tua tidak wajib memberi nafkah kepadanya.
Ketiga, fakir serta gila, anak yang kaya serta berakal sehat maka orang tua tidak wajib menafkahinya.
Jadi, menafkahi keluarga dari jalur langsung, yakni orang tua dan anak adalah wajib. Sementara menafkahi kerabat tidak langsung bukanlah sebuah kewajiban. Namun disunnahkan jika memiliki kelebihan harta. Anjuran memberikan nafkah tersebut sebagaimana dijelaskan dalam hadis Rasulullah Saw berikut ini
إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ فَقِيرًا فَلْيَبْدَأْ بِنَفْسِهِ فَإِنْ كَانَ فِيهَا فَضْلٌ فَعَلَى عِيَالِهِ فَإِنْ كَانَ فِيهَا فَضْلٌ فَعَلَى ذِي قَرَابَتِهِ أَوْ قَالَ عَلَى ذِي رَحِمِهِ فَإِنْ كَانَ فَضْلًا فَهَاهُنَا وَهَاهُنَا
Artinya: “Jika salah seorang di antara kalian fakir, maka hendaknya ia memulai (sedekah) kepada dirinya sendiri, jika ada kelebihan maka ia berikan kepada keluarganya, jika ada kelebihan maka ia berikan kepada orang yang memiliki hubungan kekerabatan, kemudian jika masih ada kelebihan maka ia bisa memberikannya kepada siapa saja.” (HR. Abu Dawud)
Sehingga, jika mereka memiliki harta atau mampu bekerja, maka tidaklah dianjurkan diberi nafkah. Dapat disimpulkan bahwa hukum memberi nafkah kepada kerabat yang tidak langsung atau di luar orang tua dan anak adalah tidak wajib.
Wallahu’alam bishshawab.