BincangMuslimah.Com- Novel dengan tema romance memang sangat menarik bagi kawula muda. Tak ketinggalan, novel dengan latar kehidupan romansa dari dunia pesantren turut menghiasi literasi di Indonesia dan memiliki peminat yang luas; khususnya bagi kalangan santri.
Salah satu novel dengan latar tempat pesantren adalah “Dua Barista” karya Najhaty Sharma. Novel ini booming pada tahun 2020 dan saya sudah membacanya pada tahun 2021 lalu. Tak hanya novelnya yang ramai diperbincangkan saat itu, tetapi juga penulisnya. Siapa sangka, penulis novel best seller itu adalah seorang penulis yang sangat dekat dengan dunia pesantren. Yuk, kita ulas profil dan pemikiran Ning Najhaty Sharma!
Profil Ning Najhaty Sharma
Najhaty Sharma adalah nama pena dari Najhaty Mu’tabiroh. Seorang perempuan kelahiran Magelang, 30 Juli 1988 yang sejak kecil hidup di lingkungan pesantren dan memiliki cita-cita menjadi penulis. Beliau tumbuh di lingkungan pondok pesantren Al-Asnawi Salam Kanci, Magelang, dan saat ini mengasuh di Pondok Pesantren Al-Munir, Pangkat, tegalrejo, Magelang.
Sebagai seorang yang lahir di lingkungan pesantren, tentu beliau sangat dekat dengan keilmuan agama. Selain itu, beliau juga pernah mengenyam pendidikan di beberapa pesantren, seperti pesantren An-Nur Purworejo, Pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta dan Pesantren Al-Falah Ploso. Dengan background keagamaan yang mentereng, beliau sangat layak untuk berbicara dan berpendapat dalam konteks keislaman.
Selain aktif di dunia kepenulisan dan mengasuh santri, Ning Najhaty juga menekuni aktivitas bisnis, loh. Beliau mendirikan penerbitan yaitu Najhaty Pena; tempat menerbitkan secara indie hasil tulisan beliau. Tidak cukup sampai di situ, beliau juga memiliki brand baju muslimah bernama Sharma Boutique dan Qohwah sarung. Ternyata, hidup dan besar di lingkungan pesantren tidak membuat Ning Najhaty terbatas pada keilmuan agama saja, ya. Semangat ini sangat perlu ditularkan kepada seluruh santri-santri agar dapat mengembangkan potensinya sejauh mungkin.
Kiprah dalam Dunia Literasi
Ning Najhaty Sharma mengawali aktivitas kepenulisannya secara otodidak dari rumah di sela-sela aktivitasnya di pesantren dan menjadi ibu rumah tangga. Semangat yang tinggi membawa beliau ikut pada komunitas-komunitas kepenulisan sehingga bakat terpendam dan cita-cita masa kecilnya untuk menjadi penulis terakomodir kembali.
Novel Dua Barista membuat nama Najhaty Sharma melejit. Namun selain novel tersebut, masih ada karya-karya lain dari beliah, di antaranya adalah Antologi Perempuan Tali Jagat, Antologi Morl Code KPFI (Komunitas Penulis Facebook Indonesia), Antologi Cerpen Kupu-Kupu Marrakech, dan Antologi Solo Lipstick.
Melalui media sosial pribadinya; terutama di Facebook dan Instagram, Ning Najhaty sering membagikan tulisan-tulisan berupa komentar dan tanggapan terkait topik yang sedang ramai. Misalnya tentang perselingkuhan dan konflik santri dengan stasiun Televisi tempo hari. Beliau juga sering membagikan video-video pengajian baik dari kyai, bu nyai atau dari agenda beliau sendiri saat mengisi kajian.
Terlihat dari potret dan video yang beliau bagikan di media sosial, beliau juga kerap mengisi seminar berkaitan dengan literasi di berbagai Universitas maupun pesantren. Menrut saya, aktivitas beliau di media sosial juga membawa angin segar bagi pengguna media sosial yang ingin membaca ulasan kritis dan insightfull terutama berkaitan dengan literasi dan keislaman.
Gaya Dakwah: Pemikiran Kritis dan Lugas dengan Bahasa yang Lembut
Sebuah tulisan bisa menjadi salah satu ladang dakwah, tak terkecuali sebuah karya sastra; novel. Beberapa novel bernuansa religi sering menjadi best seller di Indonesia, seperti karya-karya dari Habiburrahman El-Shirazy, Asma Nadia, Khilma Anis, dan tak lupa Najhaty Sharma.
Lewat novel Dua Barista yang berlatarkan pesantren dan bertema kehidupan pernikahan poligami, setidaknya Ning Najhaty berhasil mengupas dua hal sekaligus, yaitu kritik terhadap budaya feodalisme pesantren dan kritik atas konsep pernikahan poligami. Dengan bahasa santun tapi lugas, terselip dari dialog dan narasi-narasi, argumentasi tersampaikan dengan lembut. Begitulah gaya kepenulisan beliau.
Beliau menghadirkan tulisan religius, menyinggung persoalan fiqh, akidah, hingga sejarah Islam, tetapi tidak melupakan nilai-nilai modernitas di dalamnya. Beliau menyajikan dengan baik bagaimana perlunya keseimbangan antara keduanya; religi dan modern.
Sedikit ulasan dari novel Dua barista, beliau menggambarkan bagaimana beratnya berlaku adil pada pernikahan poligami. Pun, alasan poligami karena tidak dapat memiliki keturunan, beliau libas habis di dalamnya. Mengupas solusi-solusi lain dari bidang sains, sosial, hingga tauhid; berupa penerimaan terhadap takdir.
Sebagai seorang yang hidup di balik tembok pesantren, beliau cukup berani mengemukakan kritik atas ‘penerus pesantren’ yang harus berasal dari darah daging pendirinya. Hal ini terkesan eksklusif jika tanpa mempertimbangkan bagaimana takdir membawa seorang pasangan tidak dikaruniai seorang anak. Padahal masih ada solusi lain bisa diambil selain poligami.
Melalui karyanya, Ning Najhaty juga memberikan semangat bahwa perempuan bisa memiliki talenta yang beragam. Tokoh utama perempuan; Mazarina, bisa menjadi pengasuh santri-santri, designer, dan berkontribusi di lingkungan sosial. Berat memang, apalagi di lingkungan yang masih kental akan patriarki.
Novel Dua Barista menjadi jembatan antara pesantren dan publik luas, memperlihatkan wajah baru literasi yang reflektif dan relevan dengan zaman. Semoga di kemudian hari lebih banyak lagi karya yang terbit dari lingkungan pesantren. Menunjukkan bahwa lingkungan pesantren bukan hanya perihal mengaji dan mengkaji Al-Qur’an dan kitab klasik, melainkan mengintegrasikan dengan skill dan keilmuan yang modern.

1 Comment