BincangMuslimah.Com – Industri fashion atau busana tak kalah berkembangnya dari beberapa industri yang ada. Hal ini dikarenakan semakin banyaknya ide para tokoh perancang busana yang bersaing untuk menarik minat pasar. Salah satu tren yang dianggap menjadi trend center adalah pakaian hingga aksesoris yang terbuat dari kulit hewan seperti ular, buaya, anjing, dan sebagainya karena dianggap langka atau limited edition. Lalu bagaimana hukum memakai pakaian berbahan dasar kulit buaya dan hewan lainnya dalam Islam?
Dalam Alquran, pakaian disebutkan dengan bahasa Libas, Tsiyab, atau Sarabil yang beberapa diartikan sebagai penutup aurat, perhiasan, pelindung, baju perang, hingga makna majazinya yakni untuk menutupi yang lahir dan batin. Sebagaimana salah satu firman Allah swt:
يَابَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ (26)
Artinya: “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.”
Hakikatnya, syariat islam tidak melarang hal yang demikian sebagaimana kaidah fikih , الأصل في الأشياء الإباحة yakni hukum asal segala sesuatu adalah mubah, dilanjutkan dengan penjelasan: “jika tidak ada dalil syariat yang secara tegas mengharamkannya”.
Namun, beberapa pendapat ulama bermunculan terkait jika bahan yang digunakan berasal dari kulit bangkai hewan buas yang mana diharamkan oleh Islam untuk memakannya seperti ular, buaya, anjing, babi, dan sebagainya.
Beberapa ulama mengharamkan karena anjing dan babi termasuk najis mughaladzah. Beberapa lainnya membolehkan dengan dilakukannya penyamakan yang benar sesuai syariat Islam. Penyamakan sendiri merupakan proses mengubah kulit mentah hewan dan diolah menjadi awet, berwarna dan bisa digunakan untuk segala bentuk kerajinan. Syekh Muhammad bin Qasim dalam kitabnya Fathul Qarîb al-Mujîb fî Syarh Alfâdhit Taqrîb terbitan Beirut: Daar Ibn Hazm, halaman 28 menjelaskan:
(وجلود الميتة) كلها (تطهُر بالدباغ) سواء في ذلك ميتة مأكول اللحم وغيره
Artinya: “Semua kulit bangkai dapat suci dengan proses penyamakan, entah dari hewan yang boleh dimakan dagingnya maupun yang tidak”.
Dilansir dari NU Online, pendapat awal Imam Syafi’i adalah tidak membolehkan penyamakan hewan dan tidak bisa suci meskipun disamak. Nanum setelah berdiskusi dengan Imam Sufyan Ats-Tsauri, mereka mencari titik tengah bahwa tidak ada yang suci dari bangkai hewan, namun kulit dapat disucikan dengan cara disamak.
Mazhab Syafi’i sendiri menghukumi pemanfaatan bangkai dapat diklasifikasikan menjadi 2 bagian: yaitu kulit dan selain kulit. Pemanfaatan kulit bangkai hewan adalah boleh apabila telah disamak dengan benar-benar kering, tidak ada sisa-sisa kotoran dan sebagainya, maka kulit tersebut suci dan bisa dimanfaatkan. Adapun Mazhab Syafi’i tetap menghukumi haram pada kulit maupun bagian lain dari anjing dan babi meskipun telah disamak tetap dianggap najis dan tidak bisa dimanfaatkan sebagai objek usaha karena semua bagian tubuhnya sudah najis ketika masih hidup.
Pendapat lain muncul dari kalangan Hanbali dan Maliki yang mempunyai persamaan pendapat bahwa penyamakan kulit hewan bukan merupakan sesuatu yang dapat mensucikan, tetapi mereka memperbolehkan pemanfaatan dan penggunaan kulit hewan yang telah disamak dalam keadaan kering saja.
Adapun Mazhab Hanafi membolehkan pemanfaatan kulit hewan dan menganggapnya suci apabila memenuhi kriteria penyamakan. Meskipun kulit ular tapi penyamakannya tidak sesuai kriteria maka dianggap najis, sebaliknya meskipun anjing tapi menyamakannya benar maka suci. Namun, hal ini tidak berlaku untuk babi. Terakhir menurut Mazhab Zahiri, kulit anjing dan babi bisa dikatakan suci apabila telah disamak.
Dari beberapa pendapat di atas kita bisa ambil benang merah bahwa terdapat kebolehan menggunakan pakaian atau aksesoris dari kulit buaya atau hewan sejenisnya terkecuali anjing dan babi apabila telah melalui proses penyamakan sesuai dengan syariat Islam. Adapun keharaman atau ketidakbolehan memanfaatkan hewan yang disebutkan sebelumnya adalah memakan dagingnya walaupun melalui penyembelihan. Sebagaimana hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ وَجَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَاةً مَيِّتَةً أُعْطِيَتْهَا مَوْلَاةٌ لِمَيْمُونَةَ مِنْ الصَّدَقَةِ فَقَالَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلَّا انْتَفَعْتُمْ بِجِلْدِهَا قَالُوا إِنَّهَا مَيْتَةٌ قَالَ إِنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا
Artinya: “Dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anh ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menemukan bangkai domba yang diberikan kepada bekas budaknya Maimunah sebagai sedekah. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Kenapa kulitnya tidak engkau manfaatkan?’ Mereka berkata: Itu bangkai, wahai Rasulullah. Beliau menjawab: “Sesungguhnya yang haram itu hanya memakannya.” (Shahihul Bukhari).
Demikian penjelasan tentang hukum memakai pakaian berbahan dasar kulit buaya dan sejenisnya.
2 Comments