BincangMuslimah.Com – Usia 20 tahun ke atas seakan menjadi babak baru bagi setiap orang. Jika usia belasan masih terhitung sebagai remaja, maka umur 20-an dianggap telah cukup matang dan dewasa. Tentu banyak perubahan yang dirasakan setelah berusia 20 tahun ke atas. Tidak hanya dari hak dan kewajiban, tuntuan dan pandangan sosial pada masing-masing pribadi pun mulai berubah tiap porsinya.
Selain itu, perubahan usia ini pun memicu satu seperti sebuah ‘siklus’. Dimana anak-anak yang sebagian besar hidupnya diasuh oleh orangtua kini beranjak ‘dewasa’. Dan orangtua yang menyediakan rasa aman, kasih sayang dan pendidikan merasa sudah saatnya melepas anak-anak mereka untuk menghadapi dunia di luar sana. Bertemu pelbagai persoalan lalu menyelesaikannya secara mandiri dan penuh rasa tanggungjawab.
Hingga tibalah dimana mereka dirasa sudah cukup kuat secara finansial dan mental. Setelahnya akan ada anjuran untuk membangun sebuah keluarga baru dengan melakukan pernikahan. Laki-laki sudah mampu mencari nafkah dan perempuan dianggap telah cakap mengurus segala urusan domestik di dalam rumah tangga. Begitulah sebuah siklus seringkali terjadi.
Namun perubahan zaman dan pergeseran cara pandang membuat tiap individu selalu punya hal baru yang dijadikan sebagai target, selain melangsungkan pernikahan. Semua orang punya hak dan kewajiban walau berbeda gender. Masih ada hal lain yang bisa dikejar.
Semisal melakukan perjalanan, menata karir, mencari pengalaman sebanyak mungkin, atau menuntut ilmu ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Karenanya ada beberapa orang yang dirasa sudah cukup matang usianya menunda untuk melangsungkan pernikahan.
Menunda pernikahan tidaklah menjadi masalah jika punya alasan yang kuat. Seperti ingin mengaktualisasikan diri ke beragam kegiatan sosial. Atau memberi waktu untuk mempersiapkan diri menjadi pribadi yang baik dan matang secari rohani dan materi.
Tetapi masalahnya, ada dilema yang dihadapi bagi mereka yang menunda pernikahan, khususnya perempuan di Indonesia. Salah satunya yaitu perempuan tabu untuk ‘dilangkahi’ oleh adiknya untuk menikah.
‘Dilangkahi’ di sini adalah sang adik menikah lebih dahulu ketimbang si kakak. Beragam pandangan kurang mengenakkan akan muncul pada perempuan yang ‘dilangkahi’ oleh adiknya. Semisal muncul anggapan si perempuan tidak laku alias tidak ada yang mau. Sampai ada isu yang menyuarakan ia akan sulit menemukan jodoh di kemudian hari.
Karenanya ada aturan kuat yang mengharuskan adik harus menunggu kakak perempuannya untuk menikah terlebih dahulu. Dan jika hal pernikahan tetap ingin dilakukan, maka adik dari perempuan harus melakukan beberapa syarat khusus yang sudah ditetapkan.
Mungkin di daerah urban, stigma ini mulai memudar dan tidak lah menjadi masalah. Jika sudah siap, ya silakan saja. Namun di beberapa daerah di pelosok negeri, perempuan yang didahului adiknya menikah merupakan hal tabu.
Lantas bagaimana Islam menanggapi hal ini? Bagaimana hukum seorang perempuan didahului menikah oleh adiknya? Salahkah adik yang mendahului kakaknya menikah? Di dalam Islam sendiri tidak ada anjuran yang mengharuskan kakak untuk menikah lebih dahulu dan baru disusul oleh adik. Di dalam Islam yang utama adalah setiap calon yang ingin melakukan pernikahan haruslah siap secara mental dan materil.
Nabi Muhammad SAW sendiri yang menganjurkan untuk menyegerakan pernikahan untuk menghindari perbuatan maksiat.
“Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang telah mempunyai kemampuan dalam ba’ah, kawinlah. Karenanya sesungguhnya perkawinan lebih mampu menjaga pandangan mata dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu melaksanakannya hendaklah berpuasa karena sesungguhnya puasa menjadi tameng (gejolak hasrat seksual.” (HR. Bukhari)
Kata ba’ah di dalam hadis di atas memiliki beberapa pendapat dari beberapa ulama. Namun menurut Imam As-Suyuthi dalam Syarah as-Suyuthi li as-Sunan an-Nasa’i, ada dua artian dalam kata ‘mampu’ tersebut. Pertama mampu dalam aspek biologis (bersetubuh) dan kedua mampu menanggung beban pernikahan seperti menafkahi, memberikan kasih sayang, menjamin pendidikan pada anak dan sebagainya.
Jadi tidak menjadi masalah jika sang adik lebih dahulu melangsungkan pernikahan kalau sudah mempunyai kesiapan yang dibutuhkan. Selisih umur mestinya tidak menjadi patokan utama sehingga tidaklah menjadi alasan yang cukup kuat untuk menghalangi sebuah pernikahan. Dengan syarat si calon telah matang secara biologis, mental maupun materi.
Jika si adik sudah menemukan orang yang tepat dan telah matang semua hal yang dibutuhkan, kenapa pula harus menunda? Pandangan jika kakak perempuan ‘dilangkahi’ akan sulit mendapatkan jodoh mungkin sudah seharusnya dihilangkan. Karena segala urusan terkait rezeki, kesehatan, jodoh dan batas umur seseorang ada di tangan Allah SWT.