BincangMuslimah.Com – Dalam kehidupan bermasyarakat, perbedaan gender sangat sering menimbulkan ketidakadilan. Mengapa demikian? Berikut adalah beberapa alasannya, termasuk yang tercantum dalam buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial (1999) karya Mansour Fakih:
Pertama. Secara sederhana, dalam kehidupan sehari-hari, gender membedakan dengan tegas dua identitas yang termasuk di dalamnya: maskulin-feminin, rasional-emosional, agresif-lemah lembut, mandiri-tidak mandiri, eksploratif-pasif, dan lain sebagainya.
Penegasan perbedaan tersebut dilakukan secara tradisional. Masyarakat yakin bahwa identitas berbeda tersebut adalah bagian yang penting dalam identifikasi identitas jenis kelamin. Hal tersebut kemudian dianggap sebagai kodrat.
Karena itulah, mitos bahwa kodrat seorang perempuan adalah aktor di balik layar sering sekali muncul dalam kehidupan bermasyarakat. Perempuan hanya diposisikan sebagai pendukung karir suami.
Perempuan juga sering dibatasi perannya sebagai ibu rumah tangga yang berjasa besar dalam mengantarkan kesuksesan anak-anaknya. Tindakan-tindakan tersebut tentu saja melemahkan perempuan. Ditambah apabila seorang perempuan tumbuh dalam lingkungan partiarki.
Kedua. Gender yang sebenarnya adalah konstruksi sosial dan kultural tentang peran perempuan dan laki-laki dalam menjalani kehidupan sosial, secara sengaja diselewengkan oleh laki-laki sebagai kodrat Tuhan yang mesti diterima sacara taken for granted.
Sukidi mencatat dalam Teologi Inklusif Cak Nur (2001) bahwa hal tersebut bisa ditemukan dalam pola-pola pembagian peran kerja antara perempuan perempuan dan laki-laki. Ruang kerja menempatkan laki-laki di sektor publik, sementara perempuan ditempatkan di sektor domestik.
Mestinya, perbedaan gender atau gender differences tidak menjadi masalah krusial apabila tidak melahirkan struktur ketidakadilan gender atau gender inequalities. Sayangnya, perbedaan gender justru sering menimbulkan ketidakadilan.
Ketidakadilan tersebut lahir dalam berbagai bentuk. Ada dominasi, marginalisasi dan diskriminasi. Jika dilihat secara ontologis, ketidakadilan yang sering terjadi justru menjadi modus utama kekerasan terhadap kaum perempuan terutama oleh kaum laki-laki.
Kondisi tersebut akhirnya membentuk “kekuasaan laki-laki”. Kekuasaan laki-laki yang telah terbentuk akhirnya mendominasi perempuan. Kekuasaan tersebut tidak hanya berhasil melanggengkan budaya kekerasan, tapi juga telah melahirkan rasionalitas sistem patriarki.
Seperti yang kita ketahui bersama, ideologi patriarki adalah ideologi kelaki-lakian. Patriarki menempatkan laki-laki sehingga memiliki kekuasaan superior dan privilage ekonomi. Patriarki adalah akar masalah yang mendahului segala bentuk penindasan.
Hal inilah yang kemudian menjadi agenda feminis ke depannya. Feminisme memusatkan persoalan pada tuntutan tentang kesetaraan, keadilan, dan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Usaha inilah yang kemudian melahirkan sebuah kesadaran yang khas, yaitu kesadaran feminisme. Perlu dicatat bahwa feminis adalah orangnya, sementara feminisme merupakan paham atau ideologinya.
Dua tokoh feminis dari Asia Selatan, Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan menyatakan bahwa tidak mudah untuk merumuskan definisi feminisme. Definisi feminism tidak bisa tunggal sebab akan diterapkan kepada semua feminis dalam semua waktu dan di semua tempat.
Berikut adalah definisi feminism menurut Katherine Young yang bisa menjadi penengah:
“Feminisme tidak hanya sekadar sebuah kritik terhadap sistem patriarki, tetapi juga merupakan pengakuan positif atas kebutuhan yang sudah terpola sejak dulu dan sebagai masukan bagi kaum perempuan sebagai sebuah kelompok.
Dan pada kenyataannya kaum perempuan adalah sebuah kelompok yang dapat menunjukkan jati dirinya sendiri; yang mampu berperan dalam lingkungan masyarakat, seperti: pekerjaan, pendidikan dan kepemimpinan, serta memiliki kebebasan untuk memutuskan pola hidup mereka sendiri.
Garis dasar feminisme ini adalah fondasi bagi solidaritas perempuan sebagai kelompok. Kaum feminis telah membentuk sebuah partai politik bersama kelompok-kelompok lain yang tersubordinasikan atau terpinggirkan.”
Feminisme adalah jalan tengah yang mampu membuat perbedaan gender menjadi hal yang normal, bukan malah menimbulkan ketidakadilan.[]