Ikuti Kami

Diari

Resensi Buku: Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah

Judul               : Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah

Penulis            : K.H Husein Muhammad

Penerbit           : IRCiSCoD

Tahun Terbit   : Cet.I September, 2020

Tebal               : 234 Halaman

ISBN               : 978-623-6699-00-3

BincangMuslimah.Com- Ulama adalah sosok yang selalu menjadi panutan dan dihormati oleh berbagai kalangan. Lebih-lebih karena ulama memiliki keunggulan dalam ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan agama yang merupakan kebutuhan spiritual setiap umat beragama.

Jika kita diminta untuk menyebutkan nama ulama, tentu banyak sosok ulama yang akan kita sebutkan, baik ulama yang masih giat mengadakan majelis-majelis ilmu untuk berbagi ilmunya dengan kita maupun ulama yang hanya bisa kita baca karyanya.

Namun, saya yakin betul yang akan kita sebutkan adalah sosok ulama-ulama laki-laki, atau bahkan kita tidak sama sekali menyebutkan ulama perempuan. Atau malah kita tidak tau adanya perempuan yang menjadi ulama?

Berabad-abad kita mengetahui ulama hanya sebatas laki-laki. Bahkan rasanya sangat asing ketika kita mendengar sebutan ulama perempuan. Memang ada sebutan Kiyai-Nyai, Ustadz-Ustadzah, sebagai guru agama, tetapi sosok Nyai dan Ustadzah kalah pamor dengan Kiyai dan Ustadz. Hanya sedikit sekali perempuan yang memiliki peran sama seperti laki-laki menyiarkan ilmu agama, lalu namanya disebut-sebut.

Sebutan Nyai contohnya. Sering kali ditunjukan bukan karena perannya sebagai perempuan yang aktif  dalam syiar agama dan intelektual, tetapi karena diperistri oleh seorang Kiyai. Meskipun nyatanya sosok Nyai tersebut memiliki peran yang sama dengan Kiyai, identitas perempuan selalu disandarkan kepada laki-laki sebagai suaminya.

Budaya patriarki begitu telah memengaruhi segala sisi kehidupan kita, melekat kuat, dan makin nyata pula bias yang kita saksikan dan rasakan. Kekeliruan dalam mendefinisikan perempuan sebagai manusia yang lebih rendah dari laki-laki, manusia yang kurang akal, serta lemah, telah  menjadi dasar ketidakadilan yang dialami perempuan. Itulah mengapa begitu jarang kita dengar sebutan ulama terhadap perempuan.

Baca Juga:  Peringati 14 Tahun, AMAN Indonesia Luncurkan Buku “Reflective Structured Dialog”

Sebetulnya siapakah yang berhak menyandang gelar ulama itu?

Kata ulama sendiri jamak dari kata tunggal “alim”, yang bermakna orang-orang berilmu. Ulama tidak hanya seseorang yang ahli dalam ilmu agama saja (tafsir, hadits, fiqh, ushul fiqh, tasawuf dll.) tetapi ada juga yang ahli di bidang ilmu seperti, matematika, fisika, sosiologi, dan yang lainnya. Meskipun faktaya, makna ulama itu kini mengalami penyempitan, hanya dipahami sebagai seseorang yang ahli dalam ilmu agama.

Dapat kita pahami, siapa saja yang memiliki kemampuan dalam hal intelektual, dan mampu membimbing umat dalam kebaikan, entah itu laki-laki atau perempuan, bisa menyandang gelar ulama. Lalu apa ada dalam catatan sejarah ditemui sosok ulama perempuan?

Pertanyaan tersebut benar-benar dijawab oleh K.H Husein Muhammad dalam bukunya “Perempuan Ulama Di Atas Panggung Sejarah”. Tidak hanya menjawab pertanyaan itu, buku ini dengan terperinci menyebutkan tokoh-tokoh perempuan yang memiliki kapasitas intelektual layaknya laki-laki, atau bahkan melebihi laki-laki.

Setidaknya, beliau menyebutkan tiga puluh perempuan ulama dalam bab ke-tiga buku tersebut. Meski beliau dengan rendah hati mengatakan, masih banyak tokoh perempuan ulama yang tidak beliau hadirkan dalam bukunya karena segala keterbatasan.

Ada banyak ulama perempuan tetapi nama mereka tenggelam begitu saja, peran dan jasanya tidak pernah diperdengarkan seolah  tidak pernah hadir mengisi ruang keilmuan. Mungkin kita juga tidak pernah tau,  kalaulah dua ahli hadits terkemuka seperti al-Hafizh Ibnu al-Mundzir dan Ibnu Qayyim al-Zauziyah berguru pada ulama-ulama perempuan pada masanya.

Keterpakuan kita menempatkan satu jenis kelamin (laki-laki) terhadap gelar ulama, jelas itu salah satu warisan budaya patriarki yang menganggap perempuan tidak layak berdiri di posisi sama dengan laki-laki.

Baca Juga:  Zainab Ats-Tsaqafiyyah, Perempuan Karir yang Menafkahi Keluarganya

Dalam bukunya,  Kiyai Husein juga  merekam usaha  para tokoh ulama perempuan Indonesia beserta para aktivis perempuan yang menyuarakan kesetaraan gender berinisiatif  mendirikan Kongres Ulama Perempuan Indonesia, di Kebon Jambu pada 2017.

Forum tersebut juga yang meninjau ulang pemaknaan kata ulama yang terlanjur ditunjukan pada laki-laki saja, dan lupa bahwa banyak  perempuan yang juga  memiliki kapasitas keulamaan, intektual, dan memiliki peran dalam kemanusiaan.

Perempuan ulama seperti Nyai Badriyah Fayumi, Nyai Shinta Abdurahman Wahid, Nyai Nur Rofiah, dan masih banyak lagi, memperkuat eksistensi perempuan cendekia di Tanah Air. Dan tentunya diharapkan ulama perempuan ikut andil dalam merkonstruksi dan memaknai teks agama secara berkeadilan dengan pendekatan yang kritis, yang selama ini selalu jadi monopili laki-laki.

Buku “Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah”,  telah hadir untuk mematahkan anggapan bahwa tidak ada perempuan di posisi ulama. Buku ini memang bukan satu-satunya rujukan untuk menelusuri jejak ulama-ulama perempuan yang tesebar di seluruh penjuru bumi.

Tetapi setidaknya dengan kehadiran buku ini telah meluruskan makna dan sosok ulama yang sesungguhnya. Dan juga mengingatkan betapa kita telah melupakan kehadiran perempuan-perempuan intektual.

Rekomendasi

Apakah Nabi Juga Berijtihad? Apakah Nabi Juga Berijtihad?

Resensi Kitab: Al-Busyro fi Manaqib Al-Sayyidah Khadijah Al-Kubro

Resensi Buku Pernah Tenggelam Resensi Buku Pernah Tenggelam

Resensi Buku Pernah Tenggelam: Halu Berlebihan Menenggelamkan Keimanan?

Resensi Buku Feminisme Muslim di Indonesia

perempuan titik nol arab perempuan titik nol arab

Resensi Novel Perempuan di Titik Nol Karya Nawal el-Saadawi

Ditulis oleh

Mahasiswi UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Tertarik dengan isu gender

4 Komentar

4 Comments

Komentari

Terbaru

QS At-Taubah Ayat 103: Manfaat Zakat dalam Dimensi Sosial QS At-Taubah Ayat 103: Manfaat Zakat dalam Dimensi Sosial

QS At-Taubah Ayat 103: Manfaat Zakat dalam Dimensi Sosial

Kajian

Sedang Haid, Apa Tetap DiAnjurkan Mandi Sunnah Idulfitri Sedang Haid, Apa Tetap DiAnjurkan Mandi Sunnah Idulfitri

Sedang Haid, Apa Tetap DiAnjurkan Mandi Sunnah Idulfitri

Ibadah

Anjuran Saling Mendoakan dengan Doa Ini di Hari Raya Idul Fitri

Ibadah

Bolehkah Menggabungkan Salat Qada Subuh dan Salat Idulfitri? Bolehkah Menggabungkan Salat Qada Subuh dan Salat Idulfitri?

Bolehkah Menggabungkan Salat Qada Subuh dan Salat Idulfitri?

Ibadah

kisah fatimah idul fitri kisah fatimah idul fitri

Kisah Sayyidah Fatimah Merayakan Idul Fitri

Khazanah

Kesedihan Ramadan 58 Hijriah: Tahun Wafat Sayyidah Aisyah Kesedihan Ramadan 58 Hijriah: Tahun Wafat Sayyidah Aisyah

Kesedihan Ramadan 58 Hijriah: Tahun Wafat Sayyidah Aisyah

Muslimah Talk

Kapan Seorang Istri Dapat Keluar Rumah Tanpa Izin Suami? Kapan Seorang Istri Dapat Keluar Rumah Tanpa Izin Suami?

Ummu Mahjan: Reprentasi Peran Perempuan di Masjid pada Masa Nabi

Muslimah Talk

Puasa dalam Perspektif Kesehatan: Manfaat dan Penjelasannya Puasa dalam Perspektif Kesehatan: Manfaat dan Penjelasannya

Puasa dalam Perspektif Kesehatan: Manfaat dan Penjelasannya

Diari

Trending

Ini Tata Cara I’tikaf bagi Perempuan Istihadhah

Video

Ketentuan dan Syarat Iktikaf bagi Perempuan

Video

tips menghindari overthingking tips menghindari overthingking

Problematika Perempuan Saat Puasa Ramadhan (Bagian 3)

Ibadah

Tuan Guru KH Zainuddin Abdul Madjid Tuan Guru KH Zainuddin Abdul Madjid

Tuan Guru KH Zainuddin Abdul Madjid: Pelopor Pendidikan Perempuan dari NTB

Kajian

malam jumat atau lailatul qadar malam jumat atau lailatul qadar

Doa Lailatul Qadar yang Diajarkan Rasulullah pada Siti Aisyah

Ibadah

Anjuran Saling Mendoakan dengan Doa Ini di Hari Raya Idul Fitri

Ibadah

mengajarkan kesabaran anak berpuasa mengajarkan kesabaran anak berpuasa

Parenting Islami : Hukum Mengajarkan Puasa pada Anak Kecil yang Belum Baligh

Keluarga

Puasa Tapi Maksiat Terus, Apakah Puasa Batal?

Video

Connect