BincangMuslimah.Com – Kata Buya Husein Muhammad, “Mengharapkan semua orang senang dengan pikiranmu adalah utopis. Keragaman pikiran adalah keniscayaan yang indah”. Ungkapan beliau sangat cocok untuk memperingati Hari Toleransi Internasional yang jatuh pada tanggal 16 November kemarin.
Dulu saat SMA saya punya geng yang di dalamnya ada dua teman saya yang Kristen dan Protestan. Kami bersekolah di sekolah negri yang mayoritas muridnya adalah muslim tapi hanya sedikit yang berkerudung. Sudah berbeda dengan sekarang yang kebanyakan murid SMA sudah berkerudung meski bukan di sekolah Islam.
Saat Natal, kami bermain ke rumah teman saya karena pastinya banyak makanan. Begitu pula saat Idul Adha dan Idul Fitri, kita semua juga berkumpul. Pertemanan kami berjalan menyenangkan meski berbeda agama. Saya bertanya apa bedanya Kristen dan Protestan. Teman saya yang Kristen dan Protestan ini malah pernah mencoba memakai kerudung dan mukenah kami. Tidak ada yang tersinggung, tidak ada yang merasa dilecehkan. Kami yang muslim juga tidak menyalahkan mereka, dan mereka juga tidak merasa yang paling benar.
Saat kuliah saya punya teman diskusi yang cukup dekat. Saat Idulfitri dia akan mengucapkan selamat dan sekaligus ikut tradisi meminta maaf. Saat Natal, saya juga mengucapkan dan ikut bersukacita di penghujung tahun. Dia seorang Kristen yang taat dan obrolan kami tentang apapun selalu terbuka dan apa adanya. Dia pernah bertanya pada saya, “Kenapa ya Islam itu patriarkis sekali?”. Wah saya suka dengan pertanyaan semacam ini. Suka karena dia mau menanyakan hal yang mengusiknya dan saya suka karena punya kesempatan untuk membuka dialog.
Dengan pemahaman yang belum matang, saya mengatakan bahwa sebanarnya bukan agama Islam yang patriarkis tapi tafsirnya yang patriarkis. Saya berusaha menjelaskan dengan sesederhana mungkin dan dia dapat mengerti itu.
Saat ada pertanyaan yang sama di masa depan, mungkin saya akan menghadiahkan saja buku-buku Buya Husein Muhammad, Kyai Faqih, Bunyai Nur Rofiah dan Gus Dur. Seperti kata Bunyai Nur Rofiah, bahwa kita semua adalah anak kandung patriarki. Bahkan sebagai perempuan yang dilemahkan karena sistem itu, kita juga menginternalisasi sekalipun kita menyuarakan keadilan gender.
Selain itu teman saya bertanya mengapa Islam identik dengan poligami? Kemudian saya menjelaskan dengan keterbatasan saya bahwa poligami bukanlah anjuran, justru monogamy adalah sunnah. Saya banyak tercerahkan oleh buku Kyai Faqih yang berjudul “Sunnah Monogami”.
Keluarga besar saya dari Mama-Papa dan lingkungan tempat tinggal semuanya Nahdlatul Ulama. Jadi kami memiliki zona nyaman sehingga sampai sekarang saya tidak pernah disebut “bid’ah” atau dikafirkan karena melakukan hal-hal yang tidak diperintahkan secara langsung tapi juga tidak dilarang.
Saya tinggal di lingkungan yang cukup homogen dan kebanyakan tetangga saya adalah masyarakat kelas bawah. Saya terbiasa hidup berdampingan untuk saling membantu dengan tetangga, berbagi makanan dan juga memberikan bantuan fisik. Saat ada hajatan, memperbaiki rumah, merenovasi masjid, takziyah, pengajian, setiap orang mengambil bagian masing-masing semampunya.
Saya pikir bahwa setiap orang mengambil bagiannya masing-masing dalam masyarakat yang penuh keragaman ini. Meski hidup berdampingan dengan sesama warga Nahdlatul Ulama, tapi memiliki tingkat ekonomi, status sosial, tingkat pendidikan dan pendapat yang berbeda dalam banyak hal namun tetap saling menjaga keharmonisan.
Buya Husein pernah menuliskan bahwa prof. Dr. najib Burhani pernah mengatakan, “Menemani minoritas adalah menemani mereka yang hatinya luka”. Menurut Buya Husein, minoritas itu bukan hanya bermakna sedikit dalam jumlah tetapi juga bermakna mereka yang tersubordinasi, terdiskriminasi, termarjinalisasi atau tak dianggap ada.
Saya setuju bahwa monoritas bukan hanya tentang jumlah, tapi mereka yang hidup dan diperlakukan penuh ketidakadilan baik oleh sistem ataupun lingkungan sosial. Saya hidup bersama tetangga yang kadang setiap harinya tidak memiliki bahan atau uang untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Saya hidup berdampingan dengan anak-anak yang orangtuanya harus meminjam uang untuk uang saku atau membeli buku
Saya hidup bersama tetangga yang harus saling meminjamkan uang untuk modal warung dan saling memberi jika memiliki rejeki lebih. Saya bertetangga dengan yang memiliki anak-anak yang mengalami gangguan psikologis dan disabilitas. Saya berinteraksi dengan tetangga dengan berbagai macam pekerjaan, dengan status kepala rumah tangga berada pada laki-laki dan juga perempuan.
Saya bertetangga dan berteman dengan keragaman etnis, budaya, agama dan tingkat pendidikan. Tanpa toleransi dan keharmonisan, saya pikir kita akan susah menjaga perdamaian sekalipun di lingkungan terkecil yaitu keluarga.
Tugas manusia di Bumi adalah untuk memberikan kemaslahatan seluas-luasnya. Itu berarti setiap orang mengambil peran yang signifikan untuk kedamaian bersama. Selamat mengambil dan memaksimalkan peran untuk keadilan dan kesejahteraan sosial.