BincangMuslimah.Com – Apabila kita menyelami ucapan Zeitler tentang ‘masyarakat banjir informasi’ secara langsung membuka aib tentang krisis moral, kemanusiaan yang pudar dan etika masyarakat kita saat ini. Ya, moral kita sebagai manusia. Banjir informasi menyuguhkan hasil kerja para manusia yang mengusung kepentingan pribadi di atas segalanya. Produknya mudah ditemukan di sosial media yang kerap diakses manusia post-modernis saat ini.
Jika di masa modern saja, Seyyed Hossein Nasr mengatakan bahwa manusia telah kehilangan visi ketuhanan, yaitu dimensi transendental dari pada kehidupannya, maka di zaman post-modern ini manusia sangat mudah mengganti segala sesuatu dengan ukuran ‘nilai’ lebih tinggi.
Manusia kini barangkali hampir sudah tidak kenal tradisi, spiritualisme yang terus tergerus oleh rasionalisme berlebihan, hedonisme dan konsumerisme.
Kemanusiaan yang Tidak Ada pada Manusia
Seiring dengan prinsip post-modern khususnya dalam aspek media, bahwa semakin manusia larut dalam sebuah media maka ia akan menjadi sebuah realitas baru dan menggeser realitas budaya sebelumnya.
Fenomena ini telah banyak diambil peluangnya oleh manusia-manusia haus kuasa dan egois. Maka bermunculan berbagai isu dan fitnah untuk menabrakkan kubu-kubu yang ada.
Gunanya tak lain adalah memperkaya suatu golongan dan kepentingan tertentu tanpa diketahui pihak oposisinya.
Manusia kemudian sibuk mengomentari, memikirkan dan berjibaku pada masalah sepele yang sebetulnya sudah dirancang untuk mengganggu produktivitas mereka sehari-hari. Hal ini yang kemudian menjadi realitas baru, dan akan terus begitu dalam segala aspek dan platform.
Tidak jarang pula kita melihat antusiasme beberapa golongan manusia yang ‘merasa’ masih manusiawi dan menjunjung tinggi humanitas.
Manusia-manusia ini sibuk menggalang dana atau bantuan demi ‘kepentingan’ yang mereka anggap prioritas, meski konteksnya untuk membantu korban bencana atau perang di seberang lautan sana.
Ironisnya, manusia-manusia ini tidak menunjukkan antusiasme yang sama bagi korban yang sama pula dan bahkan (mungkin) lebih parah di lingkungan atau negaranya sendiri.
Pada akhirnya, mereka tak lebih dari sekedar buih yang sesuai dengan bunyi pepatah Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak.
Antusiasme manusia semacam ini pula hanya dilatar belakangi sebab suatu persamaan (entah karena merasa seagama atau seetnis saja).
Tanpa perlu disamakan dengan pepatah lama tadi pun, manusia seperti ini sudah menunjukkan betapa tak berartinya antusiasme yang mereka gaungkan itu.
Kemanusiaan kok pilih-pilih? Kemanusiaan kok tidak ada pada jiwa manusia itu sendiri. Mungkin karena mereka adalah manusia dengan kemanusiaan yang pudar.
Menghadirkan Cinta Melalui Sufistik dan Kebatinan, Menghadirkan Humanitas
Baik Islam Sufistik maupun Aliran Kebatinan sama-sama memiliki konsep yang menawarkan ‘kebahagiaan’ bagi para manusia.
Keduanya, Sufistik dan Kebatinan memiliki riwayat sejarah masuk ke Indonesia yang sangat kompleks. Proses akulturasi keduanya pun saling mempengaruhi, meski dalam pembicaraan ini topik tersebut tidak akan diperbincangkan.
Kebatinan misalnya, dari akar kata batin yang diserap dari Bahasa Arab bermakna ‘di dalam’ atau ‘yang tersembunyi’. Aliran ini memiliki formula etika yang sejak dahulu sudah diwariskan dan dijalani pengikut ataupun komunitas muslim abangan di tanah Jawa.
Niels Mulder (2005:64) mengatakan bahwa formula etika-etika tersebut di antaranya Sepi ing pamrih, rame ing gawe serta Mamayu Hayuning Buwono.
Formula yang sesungguhnya populer menjadi ungkapan bijak bagi masyarakat Jawa apapun agama mereka. Pada kalimat pertama, klausa pertama Sepi ing pamrih bermakna tidak egois, tidak didorong untuk memuaskan kepentingan pribadi.
Sebab menurut pandangan Jawa, kepentingan diri, tubuh dan ambisi seseorang seharusnya dapat diatasi atau ia akan menghambat pemenuhan jiwanya.
Jika seseorang sudah berhasil bersikap tuntas dalam memperbaiki etika dan mengatasi egonya, lingkungan akan mengikuti sebagai konsekuensi atas itu.
Atau seperti yang dikatakan Mulder, when people strive to better themselves, they improve worldly conditions as a result.
Klausa kedua, Rame ing gawe, dari kata gawe atau work bermakna aktif berbuat baik demi keberhasilan bersama. Seseorang diharapkan mampu menjadi pelayan bagi sekitarnya.
Menjadi orang yang sungguh-sungguh menjalankan perannya dengan baik. Mulder mengatakan, tak peduli seorang itu petani, pelayan bahkan seorang raja sekalipun.
Klausa kedua ini tidak menekankan inisiatif pada seseorang atau pada tanggung jawabnya namun bagaimana penerimaan tulus ia akan perannya dalam kehidupan fana ini.
Formula ketiga, Mamayu Hayuning Buwono yang secara elegan diterjemahkan Mulder sebagai menyejahterakan dunia adalah inti dari dua formula sebelumnya.
Formula ini sekaligus menolak pemikiran radikal pengikut Kebatinan yang berpikir bahwa mengalahkan rasa pamrih adalah suatu keuntungan namun gagasan selalu berpikir mistis agar dunia menjadi lebih baik adalah jelas kekeliruan.
Hal ini dikarenakan kebatinan pada dasarnya mencapai kesatuan dengan realitas yang lebih tinggi melalui pengendalian diri.
Secara holistik, formula-formula tersebut dapat diringkas menjadi sikap manusia dengan tidak punya maksud menguntungkan diri sendiri, selalu giat bekerja serta berupaya untuk menyejahterakan sesama di dunia ini.
Kebatinan dan Sufistik tentu dirasa sangat penting kehadirannya di dalam gejolak dunia post-modern saat ini.
Selo Sumardjan dalam simposium di UIN Syarif Hidayatullah mengemukakan bahwa apabila terjadi kegoncangan-kegoncangan yang luas dan lama di dalam kehidupan masyarakat, ilmu kebatinan dirasakan sekali keperluannya yakni saat masyarakat Indonesia mengalami tekanan jiwa yang meluas.
Ungkapan ini selaras dengan apa yang sebelumnya pernah diucapkan Seyyed Hossein Nasr bahwa sejak manusia kehilangan visi transendentalnya, manusia mudah dihinggapi perasaan kosong atau hampa dalam hidupnya.
Sindiran-sindiran tentang ‘kekosongan batin’ manusia modern dan terlebih post-modern kini bahkan sudah digalakan pegiat sastra sejak masa modern.
Kuntowijoyo misalnya, sebagai salah satu penulis sufistik dan mistis, dengan menghadirkan novel Khotbah di Atas Bukit (Abdul Hadi W.M, 1999:35) memunculkan sosok Poppy.
Sosok Geisha Jawa cantik yang melambangkan daun opium (candu) dan menyimbolkan betapa kehidupan hedonis material adalah semacam opium, hanya akan berakhir pada kesia-siaan.
Maka dari itu, tak berlebihan kiranya menyebut Sufistik dan Kebatinan sebagai kearifan lokal bangsa kita. Keduanya sama-sama memiliki tujuan mulia dan cintaSeyyed Hossein Nasr juga menambahkan bahwa dengan Tasawuf dan Spiritualitas Timur yang lain, mampu hadir sebagai alternatif pembebasan manusia dari keterkungkungan pandangan serba rasional dan materialistis. Tidak ada salahnya jika kita mau belajar dari nilai-nilai sufistik dan kebatinan.
“People must learn to hate, and if they can learn to hate, they can be taught to love, for love comes more naturally to the human heart than its opposite,”
-Rolihlahla ‘Nelson’ Madiba Mandela, Long Walk to Freedom–
Sebagai salah satu pejuang kemanusiaan, Nelson Mandela pernah berujar tentang relasi benci dan cinta. Menurutnya, jika manusia telah dan bisa belajar untuk membenci, tentu manusia mampu belajar mencintai.
Sebab, cinta hakikatnya datang lebih alami bersemayam di lubuk hati manusia dibandingkan rasa benci. Cinta juga merupakan dasar bagi dakwah-dakwah Sufistik seperti yang diungkapkan ibn Arabi dalam syairnya, al-chubbu dini wa imani (cinta adalah agamaku dan keyakinanku).
Konsep cinta untuk kembali menghadirkan sisi-sisi humanitas dalam diri manusia tidak serta merta baru diusung para sufi. Rasulullah Saw sebelumnya sudah menegaskan bahwa cinta adalah dasarnya Islam, al-chubbu asasi.
Cinta merupakan aspek paling dasar dalam hidup manusia. Jika konsep cinta sudah mengakar pada batin orangtua, mereka akan tahu bagaimana sikap bijak dalam mendidik anak-anak mereka tentang bersosial media.
Jika konsep cinta sudah diyakini oleh masyarakat kita, berita-berita hoaks dan ujaran kebencian tidak akan menjadi konsumsi sehari-hari. Jika konsep cinta sudah mendarah daging di dalam jiwa manusia, zaman apapun yang akan ia tempuh tidak akan menyingkirkannya dari realitas dirinya untuk menjadi manusia seutuhnya. Dengan cinta, seperti yang dikatakan Raden Ajeng Kartini, orang lain akan menerima cinta itu kembali.
*Artikel ini pernah dimuat BincangSyariah.Com
Pingback: Antara Cinta, Sufistik dan Kebatinan untuk Kemanusiaan yang Pudar | mira world web
Pingback: Antara Cinta, Sufistik dan Kebatinan untuk Kemanusiaan yang Pudar | Alhamdulillah Shollu Alan Nabi #JumatBerkah - Ajeng .Net