BincangSyariah.Com – Setiap syariat yang diturunkan untuk umat manusia, sekalipun dari zaman Nabi Adam hingga Rasulullah saw. pasti memiliki hikmah yang menjadi tujuannya. Demikian pula terdapat hikmah dari disyariatkannya puasa di bulan Ramadhan yang juga menjadi waktu turunnya Alquran.
Hubungan Puasa Ramadhan dan Nuzulul Alquran
Sebagaimana dalam Alquran, Allah berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُۗ
Artinya: “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda. Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu…” (QS. Al Baqarah: 185)
Alquran merupakan kitab yang memiliki dua kali fase turun, yaitu fase turun inzali (turun secara langsung dari lauhul mahfuz ke langit dunia) dan fase turun tanzil (turun secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun).
Menurut at-Thabari (3/188), turunnya Alquran dari Lauhul Mahfuz ke langit dunia (Baitul Izzah) dalam jumlah dan bentuk yang utuh yaitu pada pada malam Lailatul Qadar, tepatnya pada 24 Ramadhan. Sementara pada 17 Ramadhan, dalam riwayat yang masyhur dikatakan bahwa penurunan Alquran terjadi pertama kali kepada Rasulullah.
Bulan Ramadhan yang diturunkannya Alquran, menurut Ibn Katsir (1/501), adalah sebagai bentuk pujian dari Allah bahwa bulan Ramadan memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan bulan-bulan lainnya, salah satu keutamaan tersebut adalah syariat puasa di dalamnya. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh as-Shabuni dan para ahli tafsir lain, bahwa sebab Ramadan sebagai paling mulianya bulan, sesungguhnya puasa dikhususkan pada waktu tersebut (bulan diturunkannya Alquran).
Puasa disyariatkan pada bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan Alquran sebenarnya mengindikasikan bahwa keduanya memiliki hubungan yang signifikan. Kaitan ini dapat dijumpai pada pernyataan ayat tersebut bahwa Alquran diturunkan tiada lain untuk memberikan petunjuk dan penjelasan kepada manusia. (Tafsir Ayat-ayat Puasa, 61)
Salah satu petunjuk dimaksud adalah mengatur manusia bagaimana seharusnya bersikap kepada Allah, juga untuk mengatur bagaimana seharusnya manusia berakhlak kepada sesamanya dan seluruh makhluk di alam semesta.
Untuk mewujudkan nilai-nilai akhlak qurani ini, maka Allah juga memberikan seperangkat fasilitas yaitu melalui ibadah. Di antara sekian banyak ibadah yang ditawarkan, maka ibadah puasa paling cepat dalam membangun akhlak qurani yang dimaksud. Hal ini disebabkan bahwa ibadah puasa berkaitan dengan persoalan jasmani dan ruhani sekaligus, serta berkaitan pula dengan persoalan Allah dan kemanusiaan.
Sehingga puasa di bulan Ramadhan mengajarkan manusia dan membiasakannya untuk selalu bersabar dan berjuang di jalan Allah dengan menanggung penderitaan dan beratnya puasa seperti menahan lapar, dahaga, dan hawa nafsu. Puasa membimbing shaimin sebagaimana disebutkan dalam Alquran, untuk mencapai derajat takwa.
Perintah Puasa dan Predikat Takwa
Ali ash-Shabuni menerangkan bahwa puasa memiliki segudang manfaat. Secara khusus ia menerangkan beberapa hikmah ruhani sebagai tujuan asasi disyariatkannya puasa, yaitu dalam rangka mendidik manusia supaya memiliki bakat takwa, membiasakan diri tunduk dan menghambakan diri sepenuhnya dalam menjalankan perintah yang Maha kuasa. (Tafsir Rawai’ al-Bayan, 1/158)
Sebagaimana pada akhir ayat 183 QS. Al Baqarah, disebutkan secara tegas tentang tujuan puasa yaitu tercapainya derajat takwa.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Albaqarah: 183)
Makna ayat tersebut menurut al-Jazairi dalam Aysar al-Tafasir 1/161, bahwa Allah telah menyiapkan satu sarana kepada orang-orang mukmin untuk bertakwa yaitu dengan melakukan puasa. Sarana ini diyakini sangat efektif karena puasa dapat mendekatkan diri kepada Allah.
Puasa merupakan sarana yang paling potensial menuju takwa dan kedekatan dengan Allah sebab ketika seseorang berpuasa, seluruh jiwa dan raganya akan menciptakan konsistensi perilaku yang membuatnya merasa selalu dalam pengawasan. Sehingga enggan untuk melakukan tindakan yang dapat mengurangi pahala atau membatalkan puasa tersebut.
Selain melibatkan jiwa dan raga, ibadah puasa memiliki rentang waktu yang cukup lama, pelaksanaannya selama sebulan penuh (Ramadan) dan rentang waktu setahun untuk masuk pada bulan puasa berikutnya. Melalui rentang waktu tersebut ini mudah disadari apakah puasa yang dilakukan sudah menyentuh nilai-nilai takwa atau belum.
Dampaknya pada Pribadi Shaimin
Hasilnya, puasa akan mentransformasi pelakunya yang dampaknya akan mewujud dalam dimensi spiritual transendental dan sosial sekaligus. Mereka yang berhasil dengan puasanya akan selalu merasakan kebersamaan dan kehadiran Tuhan (Yang Maha hadir) di setiap langkah dan tarikan nafasnya. (QS. Albaqarah: 186)
Kesadaran seperti ini akan menjadikannya selalu terproteksi dari perbuatan yang tercela. Sebaliknya, sebagaimana pendapat Tabbarah dalam kitab Ruh ad-Dinul Islam, bahwa penderitaan dalam berpuasa akan memunculkan sifat rahmah dalam diri shaimin. Dirinya akan bertingkah laku dengan sifat penyayang, pemaaf, dan pemurah (takhallaq bi akhlaqillah), sebab perilakunya adalah refleksi kesucian jiwanya yang baru saja terbentuk oleh puasa Ramadhan.
Dengan demikian, kebaikan-kebaikan yang terdapat dalam puasa adalah untuk kepentingan manusia itu sendiri. Sebagaimana hikmah dan tujuan disyariatkannya ibadah puasa tiada lain untuk mendidik jiwa dan raga seorang mukmin selama sebulan penuh pada Ramadhan sebagai bulan diturunkannya Alquran, agar menjadi hamba yang bertakwa dalam pengabdian kepada Allah dan juga hubungannya dengan manusia lain. Wallahu a’lam.[]
2 Comments