BincangMuslimah.Com – Dalam gelaran Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS+) 2025 di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), guru besar Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Eka Srimulyani, memaparkan hasil penelitiannya tentang gerakan eko-feminisme Islam di Aceh yang berjudul “Women’s Psychological and Eco-Feminism Movement in Aceh”.
Dalam forum yang dihadiri oleh lebih dari 300 akademisi dari 31 negara tersebut, Eka menyoroti bagaimana kiprah para aktivis Muslimah dalam kelompok Perempuan Beutong Bersatu menjadi garda terdepan menjaga lingkungan Aceh, termasuk menjadi mediator ketika terjadi demonstrasi.
“Ketika ada perusahaan yang ingin membuka tambang emas, perempuan menjadi garda terdepan. Mereka menjadi mediator antara demonstran dan perusahaan,” jelas Eka, Rabu (29/10).
Menurutnya, demonstrasi tersebut bukan berarti masyarakat Aceh menolak perkembangan ekonomi daerah, melainkan kritik terhadap aksi perusahan yang seringkali merusak lingkungan sekitar.
“Saya bertemu dengan salah satu aktivis, dan mereka mengatakan, ‘kami tidak menolak investasi, tapi tolong jangan ganggu ruang hidup kami,’’ jelas Eka.
Hubungan antara Perempuan dan Alam
Menurut penulis buku Berjuang untuk Seimbang ini, hubungan perempuan dengan alam sangat erat sejak dulu. Perempuan Aceh telah lama menjadi pelindung alam yang sekaligus penjaga tradisi dan kesejahteraan komunitas. Dalam catatan sejarah, perempuan dianggap sebagai empu uten atau penjaga hutan.
“Secara historis, perempuan adalah penjaga hutan atau empu uten dalam istilah Acehnya,” jelasnya.
Selain aksi lapangan, para ulama perempuan Aceh, yang dikenal sebagai Teungku Inong, juga mengintegrasikan isu lingkungan dalam kegiatan dakwah. Mereka menulis modul yang mengintegrasikan isu lingkungan dengan nilai-nilai Islam untuk dipakai di majelis taklim. Salah satu modulnya berjudul Perlindungan Satwa Liar dalam Perspektif Syariat Islam dan Kearifan Lokal Aceh yang juga ditulis oleh perempuan.
“Semuanya penulisnya adalah perempuan, dan semuanya memiliki majelis taklim. Dengan ini mereka melakukan dakwah ekologi melalui majelis taklim,” terang Eka.
Perempuan kelahiran Latong ini mengaskan, aktivitas para perempuan Aceh menunjukkan bahwa mereka memiliki andil besar dalam berbagai isu. Selain menjadi garda terdepan dalam pelestarian lingkungan, mereka juga turut menjaga kesejahteraan masyarakat Aceh.
“Usaha mereka menunjukkan agensi ekologi perempuan, yang menunjukkan bahwa perempuan bukan hanya penjaga tradisi, tetapi juga penjaga lingkungan dan kesejahteraan masyarakat,” tegasnya.
Tantangan bagi Aktivis Perempuan dalam Pelestarian Lingkungan
Dalam forum tersebut, alumi Universitas Teknologi Sydney ini juga menegaskan pentingnya melihat gerakan perempuan Aceh dalam konteks global. Ia menyebut bahwa meskipun istilah eko-feminisme jarang digunakan di tingkat akar rumput, praktik dan nilai yang dijalankan oleh para perempuan ini sejalan dengan semangat eko-feminisme global.
“Sebenarnya mereka tidak melabeli diri dengan eko-feminisme, karena hal ini termasuk istilah yang asing. Namun, aksi mereka sangat merepresentasikan hal itu,” ungkapnya.
Meskipun berperan besar dalam pelestarian lingkungan, Eka menyayangkan bahwa para aktivis perempuan masih menghadapi tantangan struktural dalam menjangkau ranah kebijakan. Sering kali mereka dihadapkan para birokrasi yang berbelit ketika mengkonsolidasikan masalah yang mereka hadapi.
“Kami sebut bola-bola. Tidak mudah memang bagi perempuan untuk menyuarakan pendapat dalam pengambilan kebijakan,” ungkap Eka.
Tantangan lain muncul dalam ranah sosial dan politik. Menurutnya, tantangan ini membatasi gerak dalam isu lingkungan. Eka juga menerima banyak curhatan dari para aktivis tentang bagaimana mereka kerap dianggap sebagai musuh oleh masyarakat sekitar.
“Ketika saya mewawancarai, ada yang mengatakan, ‘satu kali saya bergerak, seribu orang jadi musuh saya.’ Hal ini menjadi bukti bahwa perjuangan mereka bukanlah hal yang mudah,” pungkasnya.

30 Comments