BincangMuslimah.Com – Syekh Ahmad Thayyib sebagai Imam Besar Azhar tentunya mempunyai keistimewaan dalam beberapa pemikirannya. Dalam pemikirannya, beliau yang berlatarbelakang akidah dan filsafat Islam tentunya melihat segala hal dari sudut pandang dari sudut lain. Pemikiran-pemikiran beliau inilah yang menjadikan angin segar bagi Azhari khususnya. Beberapa hasil pemikiran beliau terkumpul dalam buku, fatwa-fatwa, majalah, dan masih banyak lagi.
Karena kegemarannya dalam menulis, beliau dijuluki sebagai ulama moderat yang selalu menggaungkan persatuan, persamaan, dan ideologi Islam yang rahmatan lil alamin. Dikutip dari The Muslim 500: The World’s Most Influential Muslims, Syekh Ahmad Thayyib dinobatkan sebagai sosok yang mempunyai pengaruh pada tahun 2017-2018.
Salah satu bentuk pemikiran beliau yang sedang dikaji baru-baru ini adalah gebrakan beliau dalam mendobrak adat, tradisi, dan budaya yang mengikat perempuan dengan mengatasnamakan agama. Sering kali kita mengalami diskriminasi terhadap kaum perempuan dengan embel-embel agama. Seperti diperbolehkan memukul perempuan, perempuan dilarang keluar rumah tanpa izin suami, tidak adanya hak waris, dan masih banyak lagi. Kemudian, banyak dari masyarakat memahami bahwasannya mereka melakukan hal-hal tersebut berdasarkan perintah Allah.
Untuk menjawab keresahan tersebut, Imam Ahmad Thayyib dalam Sout al-Azhar, yang dikeluarkan pada 16 Februari 2022 mendobrak hal-hal yang bertolak belakang dengan visi dan misi agama. Berikut akan kami rinci pemahaman yang salah dengan mengatasnamakan agama.
Islam Melarang Adanya Kekerasan Terhadap Perempuan
Dari realitas yang ada, perempuan seringkali menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Di Indonesia, periode Januari-Juni 2023 dalam catatan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPPA) mendapati bahwa kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) memegang angka 48,04 persen atau 7.649 kasus yang tercatat di Indonesia.
Catatan KDRT terhadap perempuan juga terjadi di Mesir. Dilansir dari Al-Arabiyah, jumlah KDRT di Mesir mengalami penurunan, dari 28 persen di tahun 2006 ke 23 persen di tahun 2023. Meski 17 tahun mengurangi penurunan yang lambat, menyuarakan hak-hak perempuan harus terus digaungkan.
Imam Ahmad Thayyib, dalam tulisannya melarang keras adanya kekerasan dalam rumah tangga, khususnya perempuan dan anak-anak. Setelah ditelisik lebih lanjut, perempuan rawan menjadi korban KDRT karena beberapa orang memahami Alquran secara tekstual seperti penggalan ayat dalam Q.S An-Nisa [4]: 34 berikut,
وَٱلَّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا۟ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Dari pemahaman ayat tersebut, lafal وَٱضْرِبُوهُنَّ seringkali dipahami perempuan boleh dipukul ketika tidak taat kepada suami, dengan penggalan ayat di atas cukup meyakinkan bahwasannya perempuan diperbolehkan dipukul sesuai dengan apa yang terkandung dalam Alquran.
Dalam tafsirannya, Syekh Ahmad Thayyib meluruskan pemahaman keliru yang mengakar di masyarakat. Lafal وَٱضْرِبُوهُنّ bukan dimaknai secara mentah-mentah memukul istri, akan tetapi dimaknai secara balaghah. Karena lafal tersebut tentunya bertentangan dengan ayat-ayat Alquran lainnya, seperti وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوف (menggauli dengan baik), وَلَا تُضَآرُّوهُنَّ (jangan menyusahkan perempuan), dan masih banyak lagi.
Selain itu, perlu digaris bawahi, Nabi sebagai role model muslim tidak pernah memukul istrinya barang sekalipun. Bahkan, ketika istri beliau sedang marah, beliau tidak segan-segan meminta maaf, bukan memarahi atau memukul.