BincangMuslimah.Com – Perempuan kerap kali dianggap menjadi sumber fitnah. Narasi itu sering diucapkan orang tertentu untuk mendeskreditkan perempuan. Untuk mendukung wacana ini, di ketengahkan teks-teks agama, berupa hadis Nabi. Mengutip gagasan feminisme Islam, Fatimah Mernissi, menyebutkan sebagai misoginis perempuan. Teks misoginis itu untuk menancapkan cakar pandangan bahwa perempuan adalah sumber pelbagai masalah.
Pendapat itu dituturkan oleh Lies Marcoes, aktivis perempuan dan juga pejuan Islam dan gender dalam acara launching buku berjudul Perempuan (bukan) Sumber Fitnah, karya Kyai Faqihuddin Abdul Kodir. Dalam kesempatan itu juga, Lies memberikan apresiasi terkait lahirnya buku tersebut. “Metode yang ditawarkan Fakih (penulis), pembacaan perempuan sebagai subjek,” katanya, Rabu, (01/9).
Nur Rofiah, akademisi dan tokoh perempuan muslim Indonesia menilai bahwa akar ketidakadilan terhadap perempuan itu berakar dari cara pandang yang salah pada perempuan. Cara pandang itu melihat perempuan sebagai sumber fitnah. Sehingga apapun yang dilakukan perempuan dianggap sebagai fitnah. “Perempuan serba salah, termasuk korban perkosaan, dan korban pemukulan suami. Itu semua salah perempuan,” katanya, dalam apresiasi atas launching buku Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah yang diterbitkan oleh Penerbit Afkaruna.
Padahal faktanya, pelbagai ayat Al-Qur’an menjelaskan bahwa derajat manusia sama di hadapan Allah. Persamaan sebagai manusia; laki dan perempuan. Perempuan seutuhnya seperti halnya juga laki laki. Tak ada perbedaan antara pria dan perempuan. Semuanya jadi subjek. Adapun perbedaan itu hanya dalam biologis semata. “Laki dan perempuan sumber fitnah juga. Dan sumber anugerah,” katanya.
Cendikiawan Muslim dan Founder Ngaji Ihya Online, Kyai Ulil Abshar Abdalla melihat fenomena perempuan dianggap menjadi sumber fitnah sudah lama berkembang di masyarakat Indonesia. Perempuan pihak yang selalu disalahkan. Tubuh perempuan adalah sumber fitnah. Suara perempuan adalah fitnah juga.
Kendati demikian, dalam beberapa dekade terakhir pandangan sinis terhadap perempuan sudah mulai berubah di kalangan pesantren klasik. Kran pemikiran perempuan sudah mulai terbuka. Peran perempuan pun kian mewarnai khazanah pesantren klasik.
Sayangnya, fenomena mendiskreditkan perempuan justru sebaliknya— berkembang di muslim kota—, ada gerakan ke arah sebaliknya. ”Justru yang tradisional berkembang, yang muslim kota kembali ke awal. Yakni menganggap perempuan sumber fitnah,” katanya. Tentu ini menjadi semacam tantangan dalam kajian dan gerakan femenisme ke depan.
Hadir juga sebagai narasumber Akademisi dan Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Inayah Rohmaniyah menilai pendekatan metodologi mubadalah yang dilakukan penulis buku (Fakihuddin Abdul Kodir) memberikan celah baru dalam kajian gender di perguruan tinggi. “Mubadalah merupakan metodologi yang praktis yang bisa jadi alternatif pendekatan studi Islam kontemporer,” tuturnya dalam zoom yang dihadiri lebih dari 800 perserta.
Sakdiyah Makruf yang merupakan Stand Up Komedi perempuan berjilbab pertama di Indonesia mengatakan buku ini sejatinya adalah harapan orang muda dari berbagai kalangan. Sebagai Komika yang berkecimpung di dunia komedi—yang menyuarakan keadilan gender bagi perempuan—, ia menilai buku ini layak menjadi sumber referensi. “Ini bakalan jadi referensi saya, kyai,” tuturnya.
Terakhir, KH. Husein Muhammad menuturkan sosok Faqihuddin Abdul Kodir merupakan murid beliau yang sangat pintar. Ia seorang yang menguasai pelbagai bahasa asing, terutama Arab dan Inggris. Sehingga ia mampu menguasai khazanah keilmuwan yang mempuni. Terlebih metodologi Mubadalah yang ia tawarkan. “Mubadalah adalah metode masa depan yang menjanjikan bagi peneliti-peneliti ilmu keislaman. Saya melihat mubadalah the golden rule” puji beliau.
Lebih lanjut, KH Husein juga menilai bahwa yang jadi fitnah bukan saja perempuan. Dan laki-laki juga menjadi fitnah bagi perempuan. Daya tarik itu bisa lahir dari mana pun. Bisa dari laki-laki ke perempuan. Atau sebaliknya, juga bisa dari perempuan ke laki-laki. “Semua bisa sebagai sumber fitnah,” katanya.
Kyai Faqihuddin Abdul Kodir sebagai penulis buku mengucapkan apresiasi dan terima kasih atas sambutan hangat dari para hadirin yang hadir. Ia menyebutkan buku ini lahir berkat dorongan dan sokongan pelbagai kolega beliau. Ia juga melanjutkan, metodologi qira’ah mubadalah ini terbilang awal, butuh kajian lanjutan. “Metode mubadalah bila diteruskan dalam kajian fikih misalnya, akan relevan dengan konteks zaman , baik itu relasi gender dan sosial,” tutupnya.
*Tulisan ini pernah diterbitkan di Bincangsyariah.com
7 Comments