BincangMuslimah.Com – Diriwayatkan, Imam Malik dan Imam Syafi’i memiliki pandangan yang berbeda terkait asal muasal dan makna rezeki. Keduanya meyakini bahwa rezeki setiap makhluk sudah dijamin oleh Allah SWT. Tidak ada satu makhluk pun di dunia yang tidak diatur rezekinya oleh Allah SWT. Sebagaimana Allah SWT. berfirman dalam surat Hud ayat 6 yang berarti “Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin oleh Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauḥ Maḥfuẓ).”
Adapun Imam Malik berpendapat bahwa bagaimanapun usaha manusia, tetap yang menentukan besar kecil rezekinya adalah Allah SWT. Hakikat rezeki setiap makhluk turun sebab rahmat Allah SWT bukan atas dasar usaha makhluknya. Sehingga dengan hanya tawakal, seseorang pun akan dihampiri rezekinya dengan jalan yang sudah Allah SWT. tentukan. Pendapat Imam Malik ini juga berlandaskan hadis Rasulullah SAW. yang berbunyi
لو توكلتم على الله حق توكله لرزقكم كما يرزق الطير تغدو خماصا وتروح بطانا رواه الترمذي وابن ماجه
“Jika kamu bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenarnya, niscaya Allah akan memberi rezeki kalian sebagaimana burung diberi rezeki. Dia pergi pagi dalam keadaan perut lapar dan pulang sore dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmizi dan Ibnu Majah)
Menariknya, dengan berlandaskan hadis yang sama Imam Syafi’i justru memandang berbeda. Beliau meyakini sekalipun rezeki setiap makhluk ada di tangan Allah SWT, tetap rezeki tersebut harus dikejar. Sebagaimana burung yang bepergian ke tempat satu dan tempat lain, dan di tempat itulah ia menemukan makanan. Artinya, rezeki tidak lantas datang begitu saja dan harus dicari. Oleh karenanya, manusia pun perlu ada usaha untuk menjemput rezeki tersebut.
Hingga dikisahkan suatu hari Imam Syafi’i bertemu dengan seorang kakek tua yang membawa sekantong kurma. Kakek tersebut terlihat kewalahan saat membawa sekantong kurma yang cukup berat tersebut. Lantas Imam Syafi’i membantu membawa kurma kakek tersebut. Hingga tiba di rumahnya, kakek tersebut memberi seikat buah anggur kepada Imam Syafi’i sebagai imbalan atas bantuannya.
Sebab kejadian tersebut, Imam Syafi’i sangatlah gembira. Beliau mendapat kebenaran dari apa yang diyakini. Yakni beliau menerima sebuah rezeki yang berupa buah kurma sebab telah menolong seorang kakek tua. Artinya, rezeki seseorang pasti ada sebab usaha dibaliknya. Menyadari hal tersebut, Imam Syafi’ bergegas menemui sang guru, Imam Maliki untuk menyampaikan cerita tersebut dengan membawa seikat anggur yang beliau peroleh.
Setibanya di rumah Imam Malik, Imam Syafi’i meletakkan buah anggur yang ia bawa di depan sang guru. Lantas beliau bercerita. Mendengar ceritanya, Imam Malik tersenyum sambil mengambil buah anggur yang dibawa Imam Syafi’i dan menikmatinya. Lalu Imam Malik berkata, “Kamu datang membawakan rezeki untukku tanpa aku bersusah payah.”
Dalam kisah di atas, bisa kita lihat bagaimana dua sosok ulama yang alim dan cerdas memiliki dua pandangan yang berbeda sekalipun landasan yang digunakan adalah hadis yang sama. Bukan tentang mana yang benar dan salah. Akan tetapi kita dapati sebegitu luasnya pengetahuan mereka. Juga tentang bagaimana keduanya menyikapi perbedaan pendapat satu sama lain. Saling menghargai dan menghormati, tanpa menjatuhkan satu sama lain.
Semoga kecerdasan, kesantunan serta kebijaksanaan yang digambarkan dari dialog Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang makna rezeki dapat kita warisi dan kita tiru. Sehingga wajah Islam yang tersebar di tengah era modern ini adalah Islam yang santun, ramah dan membawa perdamaian.
1 Comment