BincangMuslimah.Com – Kehidupan kini bergerak secara dinamis. Tidak hanya teknologi yang berkembang, namun juga prinsip dan cara berkehidupan. Khususnya dari segi kepemimpinan. Dahulu perempuan dianggap tidak mampu memimpin suatu kaum karena dianggap tidak punya kredibilitas, terlebih lagi berdalih bahwa pandangan Islam terhadapa kepemimpinan perempuan adalah haram.
Tidak sedikit yang memandang perempuan dianggap selalu mengikuti emosi atau perasaan. Sehingga riskan untuk berbuat arif lagi bijaksana. Tidak bisa tegas karena punya sikap yang mudah iba. Selain itu kerap disangka bimbang mengambil keputusan karena dianggap hanya memiliki setengah akal.
Meski Indonesia telah ada perempuan yang berada dalam kursi kepemimpinan, masih ada pandangan miring yang ditemukan. Sedikit banyaknya mungkin pernah mendengar seseorang yang ngedumel seperti perempuan sih yang jadi ketua organisasi ini. Makanya jadi begini dan begitu.
Atau secara terang-terangan ada yang meragukan kredibilitas perempuan dalam untuk menjadi pemimpin, seperti ‘oh yang jabat perempuan. Pantaslah seperti ini’ dan sebagainya. Pandangan ini lantas tidak terhapuskan. Meski ada seorang perempuan yang memiliki kapasitas kecerdasan dan sukses karena hasil usahanya sendiri.
Padahal di dalam sejarah, walau tidak sering terbaca, banyak perempuan yang mejadi tokoh politik dan menjadi seorang pemimpin. Indonesia punya seorang Ratu yang memimpin kerajaan Aceh pada 1641-1675. Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Syah Johan Berdaulat.
Selama pemerintahannya, Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul Alam berusaha keras membangung kemegahan dan kedaulatan Kerajaan Aceh. Lalu ada Ratu Sinuhun Palembang, Sumatera Selatan. Ia terkenal sebagai pembuat hukum lalu menuliskannya menjadi Kitab Simbur Cahaya.
Dalam dunia Islam sendiri tentu tidak bisa lepas dari sosok Khadijah bin Khuwalid yang sukses menjadi seorang pembisnis kaya raya. Lalu ada Aisyah bin Abu Bakar yang meriwayatkan ribuan hadis.
Mengintip sejarah di atas, lantas haruskah kredibelitas kepemimpinan seseorang diragukan karena ia berjender perempuan? Menurut Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya berjudul Perempuan Bukan Sumber Fitnah menyatakan bahwa orientasi kepemimpinan perempuan adalah mewujudkan kesejahteraan, kemaslahatan seluruh rakyat yang dipimpin.
Orientasi ini tidak melihat laki-laki atau perempuan. Namun kapasitas seseorang dalam memimpin. Sampai saat ini memang masih banyak yang berpegang pada satu hadist bahwa ‘bangsa yang dipimpin perempuan tidak akan sejahtera’.
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ، حَدَّثَنَا عَوْفٌ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ أَبِي بَكْرَةَ، قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ، رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَيَّامَ الْجَمَلِ، بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ “ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً ”.
“Dari Abu Bakrah r.a berkata: aku telah memperoleh mamfaat dari Allah dengan sebuah pernyataan yang aku dengar dari Rasulullah Saw pada saat berkecamuk perang Jamal padahal hampir saja aku bergabung dengan pasukan jamal yang dipimpin Aisyah r.a dan berperang bersama mereka. Ketika datang baerita kepada Rasulullah Saw bahwa bangsa Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai ratu mereka, lalu Rasul Saw bersabda “Tidak akan sukses (sejahtera) suatukaum yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka kepada seorang perempuan (Shahih al-Bukhari, Kitab al-Maghazi no 4425).
Faqihuddin, masih dalam buku yang sama menyatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh sahabat Abu Bakhra r.a yang memiliki keterkaitan sosial politik. Sehingga teks perlu dilihat dari konteks tidak secara umum.
Di sisi lain, perempuan yang diriwayatkan pada hadis di atas dianggap sebagai orang secara sosial tidak memiliki kapasitas sebagai seorang pemimpin. Menurut Hibah Rauf Izzat, profesor kajian politik Islam, dalam bukunya al-Mar’ah wa al-A’mal al-Siyasi: Ru’yah Islamiyyah (1195) halaman 132-135, menyatakan hadis di atas bersifat kasuistik.
Bersifat bercerita, bukan menetapkan sebuah hukum. Hadis ini, dalam penjelasan Izzat adalah sebuah ramalan sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang putri raja yang masih belum cukup umur. Raja dari putri tersebut, adalah raja Kisra yang menyobek surat dari Nabi Saw.
Karena bersifat informasi, maka hadis ini menurut Faqihuddin tidak dapat dijadikan sebagai landasan pelarangan perempuan sebagai pemimpin. Sehingga anggapan perempuan tidak punya kredibelitas ketika menjadi seorang pemimpin pun terbantahkan.
Tidak sedikit perempuan yang cemerlang dalam memimpin suatu negara dan lembaga. Kalau pun ada ditemukan perempuan berkekurangan, maka hal ini dapat disebabkan situasi sosial yang tidak memberikan kesempatan.
Kesempatan pada perempuan untuk mendapatkan wawasan dan pelatihan untuk mengatur pola pikir. Hal ini pun berlaku pada laki-laki. Jika tidak mendapatkan kesempatan untuk menempa diri dan cara berpikir, maka akan kekurangan dalam berpikir.
Oleh karena itu, antara laki-laki dengan perempuan bisa memiliki kemampuan serupa jika diberikan kesempatan yang sama. Agama tidaklah melarang seorang perempuan untuk menjadi pemimpin pada suatu negara jika mempunyai kriteria sebagai pemimpin. Yaitu bertanggungjawab, kuat, melayani, dan memberikan kesejahteraan pada masyarakat.