BincangMuslimah.Com – Ilmu dalam mencari ketenangan, menyucikan jiwa dan menjernihkan akhlak serta hanya bergantung pada Allah adalah perilaku yang diterapkan oleh para sufi. Menurut pandangan Harun Nasution hal semacam ini dalam Islam disebut tasawuf yaitu suatu ilmu pengetahuan untuk mempelajari cara jalan bagaimana seorang muslim dapat berada sedekat mungkin dengan sang Khalik.
Tasawuf ini termasuk pada mistisisme dalam Islam, dimana para sufisme adalah hanya manusia tertentu yang mengalami kesadaran akan adanya komunikasi serta dialog antara roh manusia dengan Tuhan caranya adalah mengasingkan diri dan merenungi hal-hal diluar duniawi. Salah satu tokoh sufisme yang sangat berpengaruh dan mempunyai peranan penting dalam dunia tasawuf serta perempuan sufi yang dijuluki sebagai ibu dari sufi yaitu Rabi’ah al-Adawiyah.
Hadirnya Rabi’ah al-Adawiyah membawa suasana baru pada dunia tasawuf Islam, sebelumnya selain para sufi yang hanya laki-laki dan membawa perubahan dari yang asketisme dengan rasa takut dan pengharapan yang keras berubah menjadi asketisme yang penuh dengan rasa cinta.
Dalam tulisan Abu Wafa al-Ghanimi al-Taftazani pada bukunya tentang tasawuf Islam banyak menceritakan tentang kesalehan dari ibadah Rabi’ah al-Adawiyah dan menjadi sangat terkenal terutama kesufian pada sang Khalik melalui cinta yang murni. Berasal dari keluarga yang bisa dibilang kekurangan ayah dari Rabi’ah termasuk muslim yang taat. Dilahirkan pada malam ketika gelap gulita Rabi’ah lahir perkiraan pada tahun 99 H atau 717 M. Lahir di perkampungan yang dekat dengan kota Basrah di Irak Rabi’ah juga wafat di kota tersebut pada tahun 185 H atau 801 M.
Nama lahirnya yaitu Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah al-Bashriyah Al-Qaisiyah. Hidup dari keluarga yang kekurangan membuat masa kecil dari Rabi’ah penuh dengan tangis dan duka. Kendati demikian, keluarganya adalah keluarga yang taat pada agama yang menurun pada Rabi’ah. Seolah-olah Allah menjawab ketaatan dan ketekunan Rabi’ah dalam berdoa dan beribadah, ia terbebaskan dari hal-hal sengsara.
Kemudian tinggal seorang diri, Rabi’ah mengikuti sebuah majelis dan mengembangkannya sampai akhirnya dikunjungi banyak murid, inilah awal dari perjalanan ke sufian dari Rabi’ah. Dari sini lahirlah ajaran-ajaran yang fundamental yaitu cinta murni kepada Allah dan mengesampingkan segala urusan tentang dunia. Syair-syair cinta Rabi’ah al-Adawiyah pun mulai lahir, tak lain syair ini berisi tentang rasa cinta yang begitu besar nan murni yang ia ucap dan tulis hanya kepada Allah sahaja.
Dalam praktik ibadah ketasawufannya Rabi’ah menjunjung rasa cinta murni kepada sang Khalik atau mahabbatullah yaitu tidak menyukai adanya kesenangan dunia dan mengkritik yang lain apabila sering dikunjungi banyak orang karena kealimannya, karena Rabi’ah memandang ini sebagai kesenangan atau kesanjungan pada duniawi saja.
Puncak dari ketasawufan Rabi’ah al-Adawiyah adalah cinta murni kepada sang Khalik. Melakukan banyak kegiatan ibadah, bertaubat, menjauhi kehidupan duniawi serta menolak segala bentuk bantuan materi dari orang lain. Bahkan isi doa dari Rabi’ah sebagai bentuk perwujudan cinta dan rindu kepada Tuhannya, tidak ada baginya nafas dan detak jantung kecuali hanya untuk merindu mendambakan pertemuan dengan sang Khalik.
Pada doa-doa yang sering dipanjatkan pun Rabi’ah tidak pernah sama sekali meminta hal-hal yang menjurus kepada materi dari Tuhannya. Menurut Dr. H. Abuddin Nata, MA., dalam bukunya filsafat dan tasawuf menceritakan bukti rasa cinta Rabi’ah al-Adawiyah yang murni kepada sang Khalik, Rabi’ah sampai pada menolak lamaran untuk menikah karena baginya hati dan seluruh yang ada pada dirinya hanya milik Tuhan yang dicintainya dan bagi siapapun yang ingin memilikinya harus meminta izin kepada Tuhannya. Rabi’ah tidak ingin menikah karena tidak mau cintanya yang murni kepada sang Khalik harus terbagi dan baginya cinta murninya tidak dapat disandingkan dengan apapun yang ada di dunia ini.
Dijelaskan di dalam buku dari Dra. Hj. Ummu Kalsum Yunus, M.Pd.I., tentang ilmu tasawuf bahwa meskipun banyak laki-laki yang meminangnya bahkan para tokoh terkenal Rabi’ah tetap bertekad untuk menyendiri dan beribadah kepada Allah sebagai bukti cinta murninya sampai pada akhir hayatnya.
Ketasawufan Rabi’ah tentang konsep cinta murni pada sang Khalik ini berpengaruh besar pada perkembangan sufisme dunia. Termasuk pada syair-syair cintanya juga mempengaruhi tokoh-tokoh besar seperti al-Ghazali dan Jalaluddin Rumi. Jika ingin mendapatkan tingkat tasawuf yang tinggi terhadap sang Khalik harus memberikan seluruh cinta dalam diri kepada-Nya tanpa mengharapkan balasan dari rasa cinta tersebut seperti yang dilakukan oleh Rabi’ah al-Adawiyah.