Ikuti Kami

Kajian

Tindik Telinga pada Bayi dan Pandangan Islam Terhadapnya

Tindik Telinga pada Bayi
gettyimages.com

BincangMuslimah.Com – Tindik telinga pada bayi perempuan sudah jamak dilakukan oleh para orang tua. Berbagai alasan dikemukakan, tapi yang paling umum adalah agar segera dipasangkan anting sebagai perhiasan dan tidak merasakan sakit jika ditindik saat dewasa. Ada ragam perspektif untuk melihat kebiasaan ini, dari sisi sejarah dan pandangan fikih.

Diskusi mengenai tindik telinga pada bayi sempat ramai di media sosial karena salah satu pengguna Twitter, Naufil Istikhari mengungkapkan alasannya mengapa bayi perempuannya tidak ditindik. Ia mengemukakan alasan dari segi sosiohistoris dan pandangan ulama fikih terhadapnya. Alasannya diulas dalam sebuah artikel yang ia bagikan di akun Twitternya.

Jika menilik sejarah tindik telinga, berdasarkan buku Women and Gender in Islam; Historical Roots of Modern Debate (1992) karya Leila Ahmed, tradisi tindik telah muncul pada era peradaban bangsa Asyyiria yang menempati hulu sungai Tigris jauh pada 1.200 sebelum Masehi. Tradisi ini ternyata menunjukkan subordinasi perempuan yang memberlakukan tindik kepada perempuan sebagai hukuman dari suaminya. Ketetapan itu dibuat dan diberlakukan sebagai undang-undang negara.

Sedangkan pada masa sesudahnya, tindik telinga pada perempuan menjadi simbol perhiasan. Bahkan pada abad-abad berikutnya, tindik teling dilakukan pada perempuan saat mereka masih bayi. Dalih yang dikemukakan oleh para orang tua adalah memudahkan atau mempercepat pemasangan perhiasan pada bayi. Atau bahkan meminimalisasi rasa sakit saat ditindik. Padahal, saat bayi atau sudah besar tentu rasa sakit saat ditindik tetap ada.

Jika kita memandang dari perspektif fikih, mayoritas ulama membolehkan tindik pada perempuan karena bertujuan untuk memasang perhiasan dan hal itu tidak dilarang dalam agama. Adapun tindik dalam bahasa Arab adalah Tsaqbu al-Udzun (ثَقْبُ الأُذُن) atau Takhrimu al-Udzun (تَخْرِيمُ الأُذُن). Sejarah tindik dalam Islam pertama kali dilakukan oleh Hajar, istri Nabi Ibrahim dan ibunda Nabi Ismail.

Baca Juga:  Benarkah Nabi Membolehkan Istri untuk Bersujud pada Suami?

Dalam kitab an-Nawadir karya Syekh  Syaikh Abu Muhammad bin Abu Zaid al-Qairowani, diceritakan bahwa Sarah sangat cemburu kepada Hajar, istri kedua Nabi Ibrahim yang dinikahinya. Lantas, Sarah bersumpah akan memotong tiga bagian tubuh Hajar. Akan tetapi, Nabi Ibrahim tidak ingin membiarkan perbuatan itu terjadi tapi juga tidak mau Sarah melanggar sumpahnya. Maka Nabi Ibrahim menyiasatinya dengan membolehkan Sarah menindik kedua telinga Hajar dan menyunatnya sebagai ganti dari sumpah Sarah yang ingin merusak bagian tubuh Hajar.

Jika kita melihat sejarah tindik dari kisah Sarah dan Hajar, tentu kita tahu bahwa tindik pada masa itu bukan bertujuan untuk berhias, melainkan untuk menyakiti. Karena pada masa itu pasti teknologi belum secanggih saat ini. Sehingga proses menindik pasti dengan cara yang menyakitkan. Sedangkan pada masa kini, sakit yang dilakukan saat proses menindik telinga tidak begitu menyakitkan bahkan tidak mengeluarkan darah. Akan tetapi, dampak setelahnya seperti bengkak, bernanah, bahkan gatal-gatal yang berkepanjangan berbeda setiap orang. Maka itulah perlu ada pengawasan dan tinjauan dari dokter sebelum melakukan tindik pada perempuan apalagi pada bayi.

Ulama fikih mayoritas membolehkan menindik telinga yang diperuntukkan untuk menghias diri. Seperti mazhab Syafi’i, Hanbali, Maliki, dan Hanafi. Hal tersebut diterangkan dalam kitab Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar al-Haitami dan al-Kharasyi karya Muhammad al-Kharasyi, ulama dari kalangan mazhab Maliki. Begitu juga dalam kitab Tabyin al-Haqa`iq Syarh Kanzu Daqa`iq karya Ahmad Syalbi juga disebutkan,

يجوز ثقبُ آذانِ البنات لا الأطفال؛ لأنَّ فيه منفعةً وزينةً، وكان يُفعَلُ في زمنه صلى الله عليه وسلم إلى يومِنا هذا من غير نكير

Dibolehkan menindik telinga anak perempuan, bukan laki-laki karena di dalamnya terdapat tujuan untuk berhias. Tindik telinga juga dilakukan (oleh para perempuan) di zaman Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallama hingga saat ini dan tidak dibantah.

Baca Juga:  Pergulatan antara Ahlul Hadits dan Ahlur Ra’yi

Landasan para ulama bahwa menindik telinga bagi perempuan yang bertujuan untuk dipasang perhiasan, seperti anting-anting adalah merujuk pada hadis Nabi saat melakukan khutbah shalat Id. Pada kala itu Nabi Muhammad menasihati bahwa kebanyakan perempuan masuk neraka dikarenakan tidak mau bersedekah, lalu setelah itu, para perempuan menyodorkan perhiasannya, termasuk anting-anting untuk disedekahkan. Begini redaksinya,

 عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، ” أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ الْفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا، ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ وَمَعَهُ بِلَالٌ فَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ، فَجَعَلْنَ يُلْقِينَ تُلْقِي الْمَرْأَةُ خُرْصَهَا وَسِخَابَهَا

Dari Ibnu Abbas, “sesungguhnya Nabi Shallallhu alaihi wa sallama shalat Id dua rakaat dan tidak melakukan shalat baik sebelumnya atau sesudahnya. Kemudian Nabi mendatangi perempuan dan ditemani oleh Bilal. Lalu Nabi memerintahkan para perempuan itu untuk bersedekah, maka para perempuan itu lalu melemparkan anting-anting mereka dan kalung-kalung mereka (kepada Bilal). (HR. Bukhari no. 964)

Dalam bahasa Arab, خَرْصُ  berarti perhiasan yang dikenakan oleh perempuan di telinga mereka dan سخَابٌ adalah perhiasan yang dikenakan di leher mereka. Setelah Nabi menasihati para perempuan untuk bersedekah, lantas perempuan-perempuan itu menjadikan perhiasan-perhiasan mereka sebagai barang yang disedekahkan. Perhiasan berupa anting dan kalung menunjukkan bahwa pada masa itu, keduanya merupakan perhiasan yang biasa dikenakan oleh para perempuan.

Tapi sebagian ulama lain juga melarang tindik telinga pada perempuan karena hal tersebut dianggap tidak bermanfaat dan justru menyakiti diri sendiri. Seperti Ibnu al-Jauzi dan Ibnu ‘Uqail yang pendapatnya dikutip dalam kitab Mughni al-Muhtaj karya Syekh Khatib Syarbini yang merupakan ulama dari kalangan mazhab Syafi’i.

ولا يجوز تثقيبُ الآذان للقُرْطِ؛ لأنه تعذيب بلا فائدة

Tidak diperbolehkan menindik telinga untuk dipasangkan anting karena hal tersebut terdapat unsur menyiksa yang tidak ada manfaatnya.

Baca Juga:  Tiga Perempuan yang Pernah Rasulullah Ceraikan

Sedangkan Imam Ghazali dalam kitab Ihya` Ulumuddin juga senada dengan dua ulama yang melarang tindik telinga,

“فإنَّ هذا جُرْحٌ مُؤْلِمٌ مُوجِبٌ لِلقِصاص، فلا يجوز إلا لحاجة مُهِمَّة، والتزين بالحلق غير مهم

Sesungguhnya hal tersebut (menindik telingat) menyakitkan dan berkonsekuensi qishah (untuk pelakunya), maka tidak diperbolehkan kecuali jika ada kebutuhan. Sedangkan berhias dengan anting tidaklah penting.

Demikian pandangan tindakan tindik telinga pada perempuan dari perspektif sejarah dan ulama. Semua keputusan menindik kembali pada masing-masing individu. Alangkah baiknya, memang tindik telinga diserahkan saja kepada pemilik tubuh yaitu sang bayi perempuan jika nanti dewasa. Dan juga tindik telinga bukanlah perkara yang wajib.

 

 

Rekomendasi

Toleransi Tidak Terbatas untuk Non-Muslim Toleransi Tidak Terbatas untuk Non-Muslim

Pentingnya Sikap Toleransi dalam Kajian Hadis Nabi

Perempuan Datang dalam Rupa Setan Perempuan Datang dalam Rupa Setan

Kajian Hadis: Perempuan Datang dalam Rupa Setan

Ipar adalah Maut dalam Kajian Hadis Ipar adalah Maut dalam Kajian Hadis

Ipar adalah Maut dalam Kajian Hadis

Perempuan Pelaku Fitnah Pertama Perempuan Pelaku Fitnah Pertama

Kajian Hadis: Perempuan Pelaku Fitnah Pertama

Ditulis oleh

Sarjana Studi Islam dan Redaktur Bincang Muslimah

Komentari

Komentari

Terbaru

Sekjen IIFA: Syariat Islam Terbentuk Dari Fondasi Kemaslahatan Sekjen IIFA: Syariat Islam Terbentuk Dari Fondasi Kemaslahatan

Sekjen IIFA: Syariat Islam Terbentuk Dari Fondasi Kemaslahatan

Berita

Prof. Dr. Nasaruddin Umar: Syariah Bukan fenomena Agama Tetapi Fenomena Ekonomi Juga Prof. Dr. Nasaruddin Umar: Syariah Bukan fenomena Agama Tetapi Fenomena Ekonomi Juga

Prof. Dr. Nasaruddin Umar: Syariah Bukan fenomena Agama Tetapi Fenomena Ekonomi Juga

Berita

Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A. : SHARIF 2024 Membahas Prinsip Syariah yang inklusif Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A. : SHARIF 2024 Membahas Prinsip Syariah yang inklusif

Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A. : SHARIF 2024 Membahas Prinsip Syariah yang inklusif

Berita

Apakah Komentar Seksis Termasuk Pelecehan Seksual?

Diari

Jangan Insecure, Mari Bersyukur

Muslimah Daily

Pentingnya Self Love Bagi Perempuan Muslim

Diari

Mengenal Ingrid Mattson, Cendekiawan Muslimah dari Barat Mengenal Ingrid Mattson, Cendekiawan Muslimah dari Barat

Mengenal Ingrid Mattson, Cendekiawan Muslimah dari Barat

Muslimah Talk

anjuran menghadapi istri haid anjuran menghadapi istri haid

Haid Tidak Stabil, Bagaimana Cara Menghitung Masa Suci dan Masa Haid?

Ibadah

Trending

Jangan Insecure, Mari Bersyukur

Muslimah Daily

anjuran menghadapi istri haid anjuran menghadapi istri haid

Haid Tidak Stabil, Bagaimana Cara Menghitung Masa Suci dan Masa Haid?

Ibadah

Siapa yang Paling Berhak Memasukkan Jenazah Perempuan Ke Kuburnya?

Ibadah

keadaan dibolehkan memandang perempuan keadaan dibolehkan memandang perempuan

Adab Perempuan Ketika Berbicara dengan Laki-Laki

Kajian

Pentingnya Self Love Bagi Perempuan Muslim

Diari

Sya’wanah al-Ubullah: Perempuan yang Gemar Menangis Karena Allah

Muslimah Talk

anak yatim ayah tiri luqman hakim mengasuh dan mendidik anak anak yatim ayah tiri luqman hakim mengasuh dan mendidik anak

Hukum Orangtua Menyakiti Hati Anak

Keluarga

ayat landasan mendiskriminasi perempuan ayat landasan mendiskriminasi perempuan

Manfaat Membaca Surat Al-Waqiah Setiap Hari

Ibadah

Connect