BincangMuslimah.Com – Hukum waris Islam adalah salah satu topik yang menarik untuk diperbincangkan ketika membahas isu kesetaraan gender. Sebagian aktivis feminis, baik dari luar Islam, atau bahkan dari kalangan muslim terpelajar sendiri beranggapan bahwa hukum waris Islam merupakan bentuk nyata dari marginalisasi kaum perempuan. Pembagian harta warisan antara laki-laki dan perempuan dengan rasio 2:1, dianggap sebagai hukum yang diskriminatif dan bias gender.
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta.” (QS. An-Nisa; 11)
Perlu diingat kembali bahwa sejatinya Allah Swt telah menyelipkan hikmah di balik hukum waris. Hikmah inilah yang mungkin tak dicoba untuk ditelaah oleh kalangan yang hanya memaknai kata adil dengan sama banyak, hingga seolah nalar manusia lebih mampu mengukur keadilan, dibanding wahyu terkait hukum waris yang sudah secara eksplisit menyuratkan masing-masing bagian harta warisan untuk ahli waris.
Padahal, jika mau menyisihkan dan mengorbankan sedikit saja waktu untuk merenungkan secara tenang, jernih dan berimbang, akan ditemukan filosofi hukum waris Islam yang sangat fitri. Sejumlah ulama sejak zaman klasik hingga kontemporer telah mengerahkan upaya mereka untuk menyingkap hikmah-hikmah di balik pembagian waris antara laki-laki dan perempuan dengan rasio 2:1.
Muhammad ‘Ali al-Shabuni misalnya, seorang pakar Tafsir Ahkam kontemporer, dalam karyanya Al-Mawaarits fi al-Syarii’ah al-Islaamiyyah ‘ala Dhaui al-Kitaab wa al-Sunnah menyebutkan bahwa hikmah atau filosofi hukum waris yang memberikan bagian laki-laki dua kali lipat lebih besar dibandingkan bagian perempuan, adalah mengingat kebutuhan laki-laki terhadap harta jauh lebih besar dibandingkan harta yang dibutuhkan perempuan.
Di antara kebutuhan tersebut adalah untuk membayar mahar dan untuk menafkahi anak, istri dan keluarga yang masih dalam tanggungannya. Sementara kebutuhan dan nafkah perempuan ditanggung oleh anak laki-lakinya, atau ayahnya, atau saudara laki-lakinya, atau kerabat laki-laki yang lain. Perempuan tidak diberi kewajiban untuk menafkahi siapapun, bahkan ia dinafkahi orang lain. Berbeda dengan laki-laki yang diberi tanggung jawab menafkahi keluarganya.
Sebab itulah, laki-laki memerlukan biaya lebih banyak, seiring dengan berat dan banyaknya kewajiban dan tanggung jawab yang ia pikul. Berbeda dengan perempuan yang secara hukum tidak diwajibkan menafkahi siapapun, maka kebutuhannya terhadap harta lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Artinya, secara filosofis, hukum waris Islam merefleksikan tanggung jawab laki-laki yang dua kali lebih besar dari perempuan.
Hikmah senada dengan yang diungkap oleh Muhammad ‘Ali al-Shabuni tersebut juga telah disebutkan oleh beberapa ulama lainnya, seperti Ahmad Musthafa al- Maraghi dalam karyanya Tafsir al-Maraghi, Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi dalam karyanya Al-Fatawa, Mahmud Syaltut dalam Al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, dan sejumlah ulama lainnya.
Dari hikmah yang telah disingkap tersebut, dapat diidentifikasi bahwa makna keadilan dalam hukum waris Islam bukanlah adil dengan makna sama besar dan sama banyak. Akan tetapi, adil yang dimaksud adalah dengan memberikan bagian harta warisan berdasarkan besar-kecilnya beban tanggung jawab. Bila dihubungkan dengan teori keadilan menurut Aristoteles, maka keadilan seperti ini disebut sebagai keadilan distributif, yaitu perlakuan kepada seseorang sesuai dengan jasa-jasa yang telah dilakukan.