BincangMuslimah.Com – Awal kisah cinta dua orang mulia ini bermula pada tahun ke tujuh Hijriah dimana pasukan muslimin berhasil memenangkan pertempuran Khaibar melawan Yahudi. Perempuan-perempuan kaum Yahudi ditawan. Termasuk di dalamnya puteri sang pemuka. Huyay Ibn akhtab.
Wajahnya cantik tak tertandingi. Imam Ibn Qayyim dalam kitabnya Zad al-Ma’ad menyebutkan bahwa ia termasuk perempuan yang sangat cantik di dunia. Kehormatan dan kebangsawanannya tak perlu ditanya lagi. Ialah puteri seorang pembesar Yahudi. Seorang pejuang pemberani dan terpelajar.
Maka, yang tadinya Rasulullah akan menikahkannya dengan Dihya ibn Khalifah al-Kalbi, seorang sahabat yang paling rupawan, seorang sahabat yang lain tak terima.
“Wahai Rasul, apakah kau yakin akan memberikan Shafiyah pada Dihyah? Sesungguhnya, ia adalah perempuan terhormat bani Quraidzah dan Bani Nadhir. Ia hanya pantas bersanding dengan engkau”.
Maka, Rasulpun memerintah Dihyah memilih tawanan lainnya. Sedangkan Shafiyyah, beliau pilih untuk dinikahi sendiri.
Dalam Shahih Bukhari dikisahkan bahwa Rasulullah melemparkan selendang beliau kepada Shafiyah. Lalu dikatakan kepadanya “Jika kau memilih agammu, kami tak akan memaksa. Namun, jika kau memilih Allah dan Rasul-Nya, aku sendiri yang akan menikahimu.”
Shafiyah menunduk tanda setuju. Rasulullah menikahinya dengan mahar kemerdekaannya.
Pesta pernikahan digelar. Dihadiri oleh kaum muslimin yang ikut perang Khaibar karena walimah dilaksanakan dalam perjalanan menuju Madinah. Rasulullah meminta Ummu Sulaim merias paras indahnya. Ruang riasnya amat sederhana, hanya dua helai kain wol yang diikatkan di pohon. Tapi begitu bermakna, karena ini adalah pernikahan manusia terbaik dari bangsa Arab dan tuan puteri jelita keturunan Yahudi yang sekarang menjadi seorang muallaf.
Di malam pertama, masih di dalam tenda karena perjalanan menuju Madinah masih cukup panjang, Rasulullah memandangi lekat-lekat istri barunya itu. Ditatapnya perempuan cantik di hadapannya kemudian beliau bersabda “Ya Shafiyah, aku masih memberimu pilihan. Jika kau yakin pada agama ini, kau tetap menjadi istriku. Jika kau khawatir atas agama dan keluargamu, aku akan memerdekakanmu dan mengembalikanmu pada kaummu.”
Shafiyah tersenyum menatap nabi, lalu sedetik kemudian ia mantap menjawab “Duhai Rasul, aku benar-benar telah jatuh cinta pada agama ini. Aku mempercayaimu bahkan sebelum kau masukkan aku dalam hidupmu. Apa yang harus ku khawatirkan degan Yahudi? Apa yang harus ku khawatirkan dengan orang tua dan keluargaku, sedang kau telah menarikku dari kekufuran pada Islam yang mencerahkan. Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya lebih aku cintai daripada kebebasan dan kepulanganku pada kaumku.”
Rasulullah lega. Rasulullah bahagia mendapat kepastian bahwa Shafiyah masuk Islam dengan keihklasan penuh. Bukan hanya karena menginginkan kebebasan dan dipersunting oleh baginda, manusia paling sempurna yang pernah ada.
Untuk beberapa lama, hanya hening yang terdengar. inilah bulan madu terindah. Malam dimana dua insan terbaik menghabiskan malam memadu kasih di tenda. Saling melempar senyum dan menatap penuh cinta satu sama lain. Dijaga oleh sahabat Abu Ayyub al-Anshari yang semalaman terbangun memastikan Rasul dan Shafiyyah baik-baik saja. Wallahu A’lam bis shawab…