BincangMuslimah.Com – Perdebatan soal pilihan perempuan bekerja dan menjadi ibu rumah tangga tidak akan pernah selesai. Hal ini dikarenakan terdapat dua pendapat berbeda di tengah masyarakat. Sebagian masyarakat mendukung perempuan bekerja, sebagiannya lagi mendukung perempuan menjadi ibu rumah tangga. Tapi sering kali, perempuan shalihah didefinisikan dengan perempuan yang mendedikasikan hidup sepenuhnya untuk menjadi ibu rumah tangga saja, merawat dan mengurus keperluan suami dan anak-anak di rumah.
Memang pendapat yang dianut sangat bergantung dengan lingkungan, latar belakang pendidikan dan budaya serta agama yang dianut. Secara garis besar, perempuan selalu berada dalam dikotomi:
pertama, ada perempuan yang mendedikasikan hidupnya dalam kedudukan yang mulia dan memutuskan menjadi ibu, lantas menempatkan diri sebagai pusat kasih sayang di mana dunia mendapatkan ketenteraman. Julukan terhormat bagi ibu rumah tangga membuat para perempuan merasa dihargai. Para ibu dianggap mendidik dan membentuk—dengan kasih-sayang—generasi bangsa. Kesalehan perempuan, terutama dalam Islam, diukur dengan menjadi ibu rumah tangga.
Kedua, ada perempuan yang memutuskan untuk menjadi wanita karir. Alasannya beragam, umumnya karena persoalan ekonomi. Sayangnya, masyarakat terlanjur memandang perempuan bekerja dengan stigma “bukan ibu yang baik” atau “bukan istri yang shalihah”. Sebab ia dianggap tak mendedikasikan seluruh waktunya untuk mengurus keluarga, menjadi naungan bagi suami dan anaknya. Perempuan yang bekerja dianggap jauh dari “shalihah” sebab lebih mementingkan diri sendiri ketimbang keluarganya.
Padahal, ada perempuan yang bekerja karena ingin mewujudkan cita-citanya. Ia ingin menjadi dokter, guru, dosen, pilot, peneliti, pengusaha, dan lain sebagainya. Pilihan hidup yang dipilih tak serta merta menjadikannya “bukan ibu yang baik”, apalagi “bukan istri shalihah” Di luar sana, telah banyak perempuan membuktikan bahwa ia bisa menjadi ibu serta istri yang baik sekaligus perempuan dengan karir cemerlang.
Sayangnya, stigma ibu yang bekerja terpatri kuat dalam benak masyarakat sebagai sesuatu yang tidak sempurna. Menjadi ibu rumah tangga yang penuh dianggap hal yang baik. Padahal, baik menjadi ibu rumah tangga atau perempuan karir, keduanya adalah hak perempuan untuk memilih, bukan masyarakat yang menentukan. Pun dengan keshalihan perempuan, bukan hak masyarakat yang mengukurnya, tapi hanya Allah Swt. yang berhak.
Dalam bukunya yang berjudul Pesan Islam Sehari-hari (Penerbit Laksana, 2018) pada salah satu esai berjudul Perempuan dan Kesalehan, K.H. Ahmad Mustofa Bisri atau biasa disapa Gus Mus menulis: Perempuan Muslim, seperti juga pria Muslim, mempunyai miqyas, ukuran kepatutannya sendiri sesuai dengan pedoman yang dimilikinya. Maka sebenarnya, bukan hak masyarakat untuk menentukan mana yang terbaik bagi kehidupan seorang perempuan, akan tetapi perempuan sendirilah yang berhak menentukan jalan hidupnya.
Gus Mus melanjutkan: apabila Muslimat—juga Muslim—menggunakan miqyas lain atas dasar pedoman lain, kiranya hanya ada dua penyebabnya: ia tak merasa atau tak tabu pedoman dan miqyasnya sendiri, atau ia terlalu rapuh dan silau menghadapi kemilau pedoman dan miqyas “orang lain”. Untuk menghadapi itu semua, tentu saja ia harus kembali kepada pedomannya sendiri. Kembali mengkajinya mendapatkan cukup kekuatan untuk tidak saja nienggunakannya, tapi juga untuk menepis tawaran menggiurkan pedoman-pedoman lain yang justru berakibat buruk di kemudian hari.
Al-Qur’an adalah pedoman hidup umat Islam. Pedoman hidup adalah yang utama. Tapi, pilihan hidup adalah hak individu, bukan masyarakat. Mestinya, masyarakat mendukung apa-apa yang dilakukan oleh para perempuan yang memilih menjalani hidup sesuai dengan miqyasnya, bukan malah menghakimi mereka. Dalam akhir tulisan, Gus Mus mengingatkan kita bahwa pada akhirnya, kita perlu menyimak lagi firman Allah Swt. dalam kitab suci-Nya, yakni Qur’an Surat Al-Hujurat Ayat 13:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujurat: 13)
Keshalihan perempuan tidak bisa diukur dalam dikotomi sempit antara ibu yang baik dan bukan ibu yang baik atau ibu rumah tangga dan ibu yang bekerja. Dikotomi tersebut dibentuk oleh masyarakat, bukan dibentuk Tuhan. Dalam Al-Qur’an, ketakwaanlah yang menjadikan seseorang, baik perempuan maupun laki-laki dinyatakan saleh atau tidak, bukan dari stigma yang melekat dalam dirinya.[]